Menguak Pola KKN Soeharto dan Habibie

Oleh: Stefanus Akim

Kamis, 21 Mei 1998 mata dunia tertuju ke Jakarta. Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun menyerahkan estafet kepemimpinannya kepada Prof Dr Ing Burhanuddin Jusuf Habibie. Angin kencang reformasi berembus dari Senayan hingga ke pelosok negeri. Perubahan politik dan kepemimpinan itu apakah membuat pratek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) selama ini ikut berhenti?

George Junus Aditjontro melihat pemerintah Habibie hanyalah kelanjutan dari pemerintahan Soeharto. Ia menilai kedua pemimpin bangsa itu memikul tanggungjawab besar terhadap krisis moneter yang berakar pada krisis kedaulatan rakyat. Mereka adalah orang pertama yang secara moral harus mengencangkan ikat pinggang dan mengembalikan sebagian besar kekayaannya, agar rakyat bisa makan dan menghirup udara kebebasan kembali.

Seperti umumnya karya-karya George Junus Aditjontro, buku ini pun disertai dengan data-data yang membuat kita tercengang. Terdapat juga beberapa rujukan literatur baik dalam maupun luar negeri. Sesungguhnya sebuah karya investigasi yang ditulis dengan apik.

Aditjondro melakukan investigasi terhadap harta kekayaan kedua pejabat baik yang dikelola yayasan maupun perusahaan-perusahaan berikut milik kroni-kroninya. Ia mengakui kesulitan melacak kekayaan semua yayasan itu karena tumpang-tindihnya kekayaan keluarga Soeharto dengan kekayaan sejumlah keluarga bisnis yang lain, misalnya tiga keluarga Liem Sioe Liong, keluarga Eka Tjipta Widjaya, dan keluarga Bob Hasan.

Ternyata keluarga Soeharto tak hanya senang menggunakan pengusaha-pengusaha keturunan Cina sebagai operator bisnisnya. Sebab bisnis keluarga Soeharto juga sangat tumpang tindih dengan bisnis dua keluarga keturunan Arab, yakni Bakrie dan Habibie.

Harta kekayaan keluarga Soeharto bertumpang-tindih dengan kekayaan keluarga Habibie, yang berkongsi dengan Tommy dan Bambang dalam berbagai bisnis mereka di Pulau Batam, termasuk ekspor babi hidup ke Singapura dan dengan Tutut dalam bisnis telekomunikasi dan pemetaan udara.

Yayasan adalah salah satu mesin uang bagi Soeharto dan konco-konconya. Aditjondro mengelompokkannya menjadi enam kelompok yayasan. Pada bagian pertama berupa yayasan-yayasan yang diketuai Soeharto sendiri. Kedua, yayasan-yayasan yang diketuai Nyonya Tien Soeharto di masa hidupnya.
Ketiga, yayasan-yayasan yang diketuai Soeharto secara tidak langsung lewat Habibie dan Bob Hasan. Keempat, yayasan-yayasan yang diketuai para anak dan menantu Soeharto.
Kelima, yayasan-yayasan yang diketuai atau dikelola para besan Soeharto beserta anak serta sanak-saudara mereka. Dan keenam, yayasan-yayasan yang diketuai atau dikelola sanak-saudara Soeharto dan Nyonya Tien Soeharto dari kampung halaman mereka di Yogyakarta dan Surakarta.

Terkadang karya-karya sosial yang sekilas nampak tak ada cela diluarnya namun memiliki maksud lain di belakang. Misalnya keinginan Tutut untuk mendirikan satu perguruan tinggi di Timor Leste. Namun di balik semuanya ada keinginan untuk mendapatkan tenaga kerja berpendidikan tinggi. Rencana itu juga berbau politis: perguruan tinggi swasta yang sudah ada, Untim, sudah berkembang menjadi basis perlawanan pemuda-pemudi Maubere terhadap pendudukan Indonesia, menyusul adik-adik mereka di SLTA. Berarti, setelah gagal menggemboskan perlawanan para siswa SLTA, Tutut kini berusaha merambah ke benak para lulusan SLTA.

Siapa George Junus Aditjondro. Ia dilahirkan pada 27 Mei 1946 di Pekalongan, Jawa Tengah adalah seorang sosiolog asal Indonesia. Sekitar tahun 1994 dan 1995 Aditjondro menjadi dikenal luas sebagai pengkritik pemerintahan Soeharto mengenai kasus korupsi dan Timor Timur. Karena kritik-kritik kerasnya lah ia harus meninggalkan Indonesia ke Australia dari tahun 1995 hingga 2002 dan dicekal oleh rezim Soeharto pada Maret 1998. Di Australia, Aditjondro menjadi pengajar Sosiologi di Universitas Newcastle. Sebelumnya saat di Indonesia ia juga mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana. Saat hendak menghadiri sebuah workshop di Thailand pada November 2006, ia dicekal pihak imigrasi Thailand yang ternyata masih menggunakan surat cekal yang dikeluarkan Soeharto pada tahun 1998.

Memang jika dilihat sekilas cover buku ini kurang menarik. Pucat. Dicetak dengan kertas koran warna kecokelatan usang pula. Saya tak sengaja mendapatkannya di rak buku loak (bekas) di deretan toko souvenir, buku dan koran di jalan Patimurra dua tahun lalu. Harganya hanya Rp2.500. Hem…sebuah buku menarik untuk dibaca. Meskipun usianya tak muda lagi dan susah didapatkan di toko-toko buku.□

Data Buku:
Judul Buku : Dari Soeharto ke Habibie; Guru Kencing Berdiri Murid Kencing Berlari
Pengarang : Dr. George Junus Aditjontro
Penerbit : MIK-Pijar Indonesia
Cetakan : Kedua Oktober 1998
Halaman : xii + 160, soft cover
Presensi : Stefanus Akim

Saturday, November 17, 2007 |

0 komentar:

Kategori

Powered By Blogger

Total Pageviews