Oleh: Stefanus Akim
Hampir setiap pagi, kecuali Minggu atau hari libur saya mengantarkan kedua anak saya di kompleks sekolah Bruder Jalan AR. Hakim Pontianak. Karena bertemu setiap hari, pagi dan siang hari maka banyak diantara kami yang saling kenal bahkan ngobrol ngarul-ngidul.
Topiknya pun beragam, mulai hal seputar sekolah, les anak, pemilihan gubernur dan wakil gubernur atau hanya sekedar acara say hello.
Obrolan agak berbeda terjadi Senin kemarin. Saat saya, Alfred Julius, dia senior saya di Seminari Menengah St. Paulus Nyarumkop – Singkawang dan kini dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Widya Dharma Pontianak. Kemudian ada Sarimun, Koko – panggilan abang untuk orang China – begitu kami memanggil bos karet asal Kabupaten Sekadau dan Aleks. Tiga nama terakhir kebetulan mempunyai nasib sama seperi saya. Sama-sama menemukan satu tulang rusuk yang hilang pada perawat di Rumah Sakit Umum Santo Antonius.
”Sudah bayar belum?” tiba-tiba suara bariton agak pelat khas Bahasa Indonesia logat Belanda mengalahkan ha hi hi suara kami.
”Apa dia yang bayar Bruder. Perasaan tiap bukan bayar terus uang sekolah,” sambar Alfred sembari tertawa.
”Bukan...Maksud saya parkir. Saya biasanya tanya begitu dengan anak-anak,” kata suara yang pelat tadi juga sambil tertawa.
***
Jalannya agak terseok. Kaki sebelah kanannya agak diseret dan sedikit pincang. Namun ia tetap penuh semangat dan tak pernah berhenti berjalan. Dia Bruder Alexandro MTB, supervisor pembangunan ordo Maria Tak Bernoda di Kalbar. Hampir semua bangunan milik Keuskupan Agung Pontianak di bawah pengawasannya. Mulai dari gereja, bira, asrama atau rumah sakit.
Terakhir ia membangun aula SMA St Paulus Pontianak berlantai dia. Lantai dasar atau semacam basement untuk tempat parkir, toilet dan ruang ganti. Di lantai dua digunakan sebagai aula dan tempat pertemuan dengan kapasitas bisa mencapai 700 hingga 1.000 orang.
Sejak bangunan itu jadi, semua motor atau mobil pengantar siswa TK dan SD tak boleh masuk lebih jauh dan parkir di halaman. Alasannya sederhana, bisa nyerempet anak-anak yang hilir mudik. Memang kadang-kadang orang tua yang datangnya terlambat atau buru-buru kerja ngebut. Pagi-pagi sekali Alexandro sudah ”pasang badan” di jalan masuk utama menjadi tukang parkir. Sebuah tulisan besar dari tripleks bekas ”PANGANTAR/PENJEMPUT PARKIR DISINI” dipasang di tengah jalan. Ia tak segan-segan nyerocos khas orang barat jika ada yang coba-coba melewati ”brikade” itu.
***
Obrolan kami berlanjut.
”Tadi saya suruh tukang minta bongkar dinding. Sebab kosong, kalau dipukul kedengaran dan itu tak kuat,” sambung Alexandro.
Ia memang tak segan-segan membongkar bagian bangunan yang kualitasnya rendah. Meskipun sudah diplester atau dipasang porselen. Kualitas bagi dia nomor satu, sementara model saya nilai tak terlalu utama. Sebab model bangunan kali ini pun tak terlalu modern atau model yang lagi trend saat ini – konsep minimalis begitu orang banyak menyebutnya.
“Tak ada model,” komentar istriku suatu waktu.
***
Masih dengan suara bariton, Bahasa Indonesia logat Belanda Alexandro kembali berujar.
”Dulu waktu di Sekadau depan asrama saya banyak tambal lubang jalan. Tapi ada orang Dinas PU yang marah, mereka bilang mengapa tambal lubang,”
Alexandro mengaku heran ada pikiran seperti itu. Yang ia lakukan tak ada maksud lain, hanya ingin lubang yang menganga di jalan itu ditutup dan jalan kembali mulus. Pengguna jalan bisa berjalan dengan aman tanpa khawatir celaka karena jatuh dari kendaraan.
”Bagusnya Bruder jadi Kepala Dinas PU. Biar kualitas bangunan di Kalimantan Barat ini bagus dan tak cepat rusak,” aku menimpali dan bermaksud mengolok.
”Oh...tidak. jadi gubernur saja nomor lima,” timpalnya tak mau kalah.
”Kalau saya gubernur saya tambal semua lubang di jalan-jalan itu. saya panggil Dinas PU. Hei...Dinas PU ayo kerja jangan malas-malasan. Jangan sampai orang celaka karena lubang jatuh,” kali ini ia tampak serius.
Dengan APBD yang dimiliki pemerintah, menurut Alexandro banyak infrastruktur yang mestinya bisa dibangun. Bukan menunggu proyek baru dibangun. Dan membangunnya pun dengan kualitas yang bagus bukan asal-asalan.
Ia membandingkan di negara-negara barat. Jika pemerintah tak benar melaksanakan tugasnya masyarakat bisa menggugat. Ia mencontohkan jalan dan listrik.
”Kalau disini listrik mati-hidup terus. Di barat ini bisa digugat dan mereka harus bayar mengganti kerugian yang dialami masyarakat,” kata dia.
Bahkan jika ada anak ayam mati di lip karena kesalahan pengelola gedung pun bisa diperkarakan. Sebatas punya bukti yang kuat.
***
”Pulang...pulang”
Suara Sarimum memecahkan kesunyian. Sementara Bruder Alexandro juga sudah berlalu sejak 2 menit lalu.
Jam di pergelangan tangan menunjukkan pukul 07.15. Tugas lain menanti. Hari ini – Senin pukul 08.00-09.00 aku harus memimpin penugasan dan rapat perencanaan untuk wartawan.
Aku pun berlalu, menstrater RX King merahku yang mulai usang.
Ah...seandainya civil society di Kalbar juga bisa berdaya seperti di negara barat. Pemerintah tak akan semaunya, bekerja hanya dengan orientasi terima gaji setiap awal bulan dan jaminan hari tua dengan dana pensiun.□
Apa Susahnya Nutup Lubang
di 12:47 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 komentar:
makanya banyak yg mau jadi pegawai negeri...biar gaji ga terlalu besar tapi ada dana pesniun :p
urusan pekerjaan masa bodoh yg penting dapet gaji...
btw kalaupun lubang itu ditutup (diaspal lagi) paling juga pake aspal yang aspal (asli tp palsu) yg sebulan kemudian hancur lg
Post a Comment