Sudagung, Mengurai Pertikaian Madura-Dayak di Kalbar

Oleh: Stefanus Akim

Sejak berdiri hingga sekarang Untan sudah memiliki 38 guru besar atau profesor. Dari jumlah tersebut delapan diantaranya sudah meninggal dunia. Mereka adalah Prof H Mahmud Akil SH (Hukum), Prof Dr Syamsudin Djahmat M.Sc dan Prof Drs M Landawe (Ekonomi), Prof Dr Hendro Suroyo Sudagung (Fisipol), Prof Dr Mochtaruddin M.Pd, Prof Drs H Jawadi Hasid, Prof Dr H Azwar (FKIP) dan Prof Ir Sakunto MS (Kehutanan).

Mereka berkarya dengan ilmu masing-masing untuk kemajuan dunia pendidikan di Universitas Tanjungpura dan masyarakat Kalbar. Kini, meskipun mereka sudah meninggal namun karya mereka tentu saja masih dikenang oleh generasi saat ini. Para profesor itu tentu saja menghasilkan karya-karya ilmiah yang menyumbangkan kemajuan untuk dunia pendidikan utamanya di Kalbar.

Prof H Mahmud Akil SH, putra Kalbar kelahiran Darit Kabupaten Landak ini pernah menjabat sebagai Rektor Untan tahun 1991-1999. Sebelumnya selama dua periode menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Untan. Sebelum era reformasi, Mahmud Akil pernah mencalonkan diri untuk menjadi gubernur Kalbar periode 1998-2003. Namun akhirnya yang terpilih oleh H Aspar Aswin.

Sumbangan pemikiran, baik berupa hasil penelitian maupun bentuk lain tentu saja juga disumbangkan oleh Prof Dr Syamsudin Djahmat M.Sc yang mengabdikan dirinya di Fakultas Ekonomi Untan, Prof Drs M Landawe juga di Fakultas Ekonomi, Prof Dr Mochtaruddin M.Pd, Prof Drs H Jawadi Hasid serta Prof Dr H Azwar di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Termasuklah dan Prof Ir Sakunto MS di Fakultas Kehutanan.

Hendro Suroyo Sudagung misalnya melakukan penelitian tentang pertikaian etnik Kalbar. Ia menulis soal Migrasi Swakarsa Etnis Madura ke Kalimantan Barat yang diterbitkan oleh Institut Studi Arus Informasi (ISAI) April 2001.

Guru besar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Untan ini dilahirkan di Ngawi, Jawa Timur 16 Mei 1933 dan wafat 2 September 1998 di Surabaya. Ia meninggalkan seorang istri dan tujuh orang anak.

Ia menuntut ilmu di SMP di Ngawi, masuk SMA Bagian B/Ilmu Pasti (jurusan IPA) di Surabaya. Ia kemudian menimba ilmu di Universitas Gadjah Mada (UGM). Yogyakarta. Ia mendapatkan tiga gelar sarjana muda dari tiga fakultas, masing-masing Hukum, Ekonomi, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol). Gelar sarjana penuh diraihnya dari jurusan Fisipol UGM tahun 1962. Gelar doktor Sosiologi diraihnya di almamaternya di UGM dengan disertasi berjudul: Migrasi Swakarsa Orang Madura di Kalimantan Barat. Hendro meniti karir sebagai dosen Fisipol Universitas Tanjugpura (Untan) Pontianak. Ia pernah menjadi dekan Fisipol Untan (1968-1971 dan 1975-1979). Kemudian menjadi Pembantu Rektor I (1991-1994). Jabatan Guru Besar Sosiologi disandangnya pada 1987 dengan pidato pengukuhan berjudul: Pembinaan Bangsa dan Karakter Bangsa Melalui Hubungan Antar Suku Bangsa.

Hasil penelitian Sudagung ini banyak dikutip oleh penulis atau peneliti yanga akan menulis tentang konflik etnik di Kalbar. Bahkan sudah menjadi semacam rujukan, sebab bisa dikatakan dia lah yang secara serius melakukan penelitian tersebut. Penelitian tak hanya dilakukan di Pontianak namun juga di seluruh kabupaten yang ada saat itu. Sudagung juga melakukan penelitian di Jawa Timur yaitu di Sampang dan Bangkalan Madura.

Studi yang dilakukan oleh Sudagung bertujuan untuk menemukan pola migrasi swakarsa orang Madura. Pola migrasi swakarsa yang dimaksud meliputi proses perpindahan mulai dari tempat asal hingga tujuan. Termasuk didalamnya alat angkut dan sarana saat itu, pembiayaan dan lain-lainnya. Selanjutnya cara-cara mereka memperoleh pekerjaan, status sosial ekonomi orang Madura yang bermigrasi dan apa yang menyebabkan migrasi tersebut.

Sudagung menulis, orang Madura sejak lama mempunyai kebiasaan bermigrasi melampaui wilayah etnisitasnya, baik secara perorangan maupun kelompok. Van Gennep memperkirakan migrasi itu telah berlangsung sejak abad ke-13. Namun pengetahuan mengenai penyebaran suku Madura masih sangat terbatas.

Di zaman pemerintahan Hindia Belanda, trasmigrasi terhadap orang Madura telah dilakukan empat kali. Saat itu transmigrasi disebut kolonialisasi dan orang Madura pertama kali dikirim ke Madurejo, Kalimantan Selatan. Pada tahun 1938 dilakukan dua kali kolonisasi, pertama sebanyak 100 keluarga dan kedua 200 keluarga. Tahun berikutnya kembali dikolonisasikan dua rombongan. Yang pertama berjumlah 194 keluarga, kedua 116 keluarga. □

[ read the rest of this entry » ]

Tuesday, July 31, 2007 |

Komunitas Blogger Pontianak Terbentuk

Belasan para pencinta blog di Pontianak kini sudah membuat wadah untuk saling berbagi ilmu dan informasi. Mengusung nama Borneo Blogger Community (BBC), wadah ini secara resmi dibentuk, Sabtu (28/7) di Pontianak.

Para blogger Pontianak yang berkumpul sangat antusias dengan wadah tersebut. Bahkan jika sebelumnya hanya kenal lewat dunia maya kini bisa bertatap muka langsung satu sama lain. Ternyata kegiatan blogger di Pontianak tak kalah dari daerah luar. Misalnya Aries sudah aktif sejak tahun 2004. ”Tahun 2004 saya aktif menulis, terutama membuat puisi. Seminggu minimal ada tujuh sampai delapan tulisan. Namun setahun terakhir saya vakum, mungkin karena kesibukan,” kata kontributor Media Indonesia ini.

Ia mengaku saat terakhir membuka kemajuan blog sangat pesat. ”Tampilannya wah sudah sangat beragam dan bagus-bagus. Sekarang postingnya saya lihat lebih mudah dan cepat, kalau dulu ribet dan lama sekali,” Aries berbagai pengalaman.

Sementara Yaser, adalah juga blogger yang sudah cukup lama berselancar di dunia ini. ”Saya sekitar akhir tahun 2004 mulai aktif. Meskipun ndak setiap hari posting namun minimal membaca karya teman-teman,” kata dia yang juga salah seorang pengagas.

Usahawan bidang IT (information technology) yang menyebut dirinya berjuang meletuskan ide menjadi aksi. Melalui blog sederhana berusaha membagi ide-ide kecil yang mudah-mudahan dapat menjadi inspirasi, minimal bagi diri, mengatakan soal nama silahkan usulan dari semua pihak.

Blogger lain adalah Erwin Affandi yang sudah mulai ikut-ikutan sejak tahun 2005. Namun juga sudah lama tidak posting. ”Dengan terbentuk wadah seperti ini dan melihat antusias teman-teman Insya Allah akan aktif lagi,” kata dia yang mendapat aplus dari teman-teman.

”Saya tahu blog justru dari komik Sincan. Dimana Yosinaga ibu gurunya Sinchan membuat blog ingin mempromosikan dirinya. Amun ternyata tak satupun ada yang membaca blognya,” kata Icha, mantan aktivis mimbar Untan yang kini menjadi wartawan.

Sementara Nur Iskandar melihat begitu pentingnya blog. Media masa, kata dia, terus mengalami perkembangan dan mencari bentuk yang memudahkan bagi pembacanya. ”Mungkin inilah salah satu jawaban media massa kedepan,” papar jurnalis yang baru saja menginisiasi Flores Pos selama dua minggu bersama Swisscontac dan Pantau Fondation.

Ditegaskan Nuris, meskipun menggunakan nama Borneo namun tak bermaksud menggunakan nama Borneo Tribune. Sebab nama Borneo sendiri adalah terlalu indah untuk dilupakan begitu saja. Borneo adalah romantisme masa lalu yang herus terus diingat dan dihidupkan. ”Kalau kita berselancar kedunia maya atau membuka literatur-literatur tua maka Borneo lebih terkenal dibandingkan Kalimantan,” ungkapnya.

Nanangsyah, mahasiswa Universitas Muhamaddiyah Pontianak, mengaku terus belajar menulis lewat blog. Sebab inilah sarana paling efektif dan murah. ”Saya belum spesialisasi mau menulis apa. Namun buat saya yang penting belajar menulis,” kata dia.

Muhlis Suhaeri melihat begitu besar manfaat blog dan internet secara keseluruhan. Penulis buku Benyamin S Muka Kampung Rezeki Kota dan Dibalik Novel Tanpa Huruf R ini mengatakan setidaknya ini menjadi salah satu alat untuk mendokumentasikan hasil tulisan. ”Gue tak mau terulang kedua kalinya jika tulisan-tulisan tak terdokumnetasi dengan baik dan akhirnya hilang,” ujarnya.

Blog juga bisa menjadi sarana untuk berlatih dan mengasah kemampuan menulis seseorang. Bahkan untuk penulis-penulis lepas menjadi sarana untuk mempromosikan diri dan mempublikasikan tulisannya. Sesungguhnya seorang jurnalis dalam artian luas bukan hanya orang yang bekerja di media massa namun mereka yang melakukan kegiatan jurnalistik dengan menggunakan prinsip-prinsip jurnalistik. Sebaliknya mereka yang berprofesi sebagai jurnalis namun tidak melakukan prinsip-prinsip jurnalistik bukan jurnalis.

Usai pembentukan dilanjutkan dengan meluncurkan weblog bersama yaitu http://borneobloggercommunity.com. Setiap anggota dipersilahkan mengirimkan tulisan berikut nama blognya kepada administrator dengan alamat borneobloggercommunity@gmail.com. ”Silahkan teman-teman yang mungkin belum sempat bergabung untuk bergabung. Ini sangat terbuka sekali untuk siapapun blogger di Pontianak bahkan Borneo,” tutur A.A. Mering yang didaulat teman-temannya menjadi salah satu administrator. Sementara Yaser membuatkan milis sebagi sarana komunikasi dan diskusi serta juga salah seorang administrator bersama Aries dan yang lainnya.

Mereka yang ikut tergabung dan membentuk BBC adalah Yaser, Erwin Affandi, Ishaq, Nanang, Agus, Maulisa, Arthur OA, Aries, Muhlis Suhaeri, A.A. Mering, Nur Iskandar, Tanto, Hairul dan Stefanus Akim.

[ read the rest of this entry » ]

Sunday, July 29, 2007 |

Piala Asia, Deadline dan Sumpah Serapah

“Ha…ha…awas…oh…..”
“Bodoh tak mau bagi teman…”
”Serangan tu telos”
”Ha...ha...ha...kakinya tejuntai”
”Tengok-tengok celana telorot. Hik...hik...hik...”
”Dah, penalti. Penalti. Serangan terakhir. Ayoh golkan”

Suara riuh rendah. Tepukan tangan, hentakan kaki, teriakan. Sumpah serapah beradu dengan kletak-kletok bunyi jari-jemari mengetuk keyboard komputer.

Suasana ruang redaksi Borneo Tribune, sepekan terakhir semarak. Para wartawan yang sudah selesai mengetik berita tak mau cepat-cepat pulang. Mereka memilih menonton pertandingan bola-piala Asia. Malam tadi sekitar pukul 17.20 ’ritaul’ nonton bola itu kembali terulang untuk menyaksikan pertandingan semifinal antara Irak melawan Korea Selatan. Acara ini disiarkan langsung oleh GlobalTV. Mereka adalah Hanoto, Budi Rahman, Andre. Ada juga bagian pracetak seperti Fahmi Ichwan, dan redaktur Olahraga Tanto Yakobus serta banyak lagi yang lain.

Sementara pemandangan kontras berjarak hanya dua hingga tiga jengkal dari tv ukuran 24 inci. Sejumlah wartawan, pracetak dan redaktur lain sibuk dengan komputer masing-masing. Diantara mereka bukan tidak gibol-gila bola seperti yang lain, namun tuntutan deadline harus memaksa mengerjakan pekerjaan.
Wartawan cewek: Aulia Marti, Endang Kusmiyati, Maulisa. Redaktur Safitri Rayuni dan Pracetak Atika Ramadhani memilih diam dan sibuk dengan komputer masing-masing. Suara merdu Anggun C Sasmi terdengar lirih di sudut ruangan lain yang dikeluarkan sound system Fitri.

”Mane Basem. Basem. Ayo tembak,” terdangar lagi suara keras nyaris memekik persis di belakangku. Suaranya keras dan menendang-nendang gendang telinga. Suara itu milik Hanoto, wartawan yang sehari-harinya meliput teknologi.

”Saya sendiri dukung Korsel. Tak apa yang lain dukung saja Irak tuh,” kali ini suara serak dan mendengking memenuhi ruangan yang dinding-dindingnya dicat hijau. Itu milik Tanto Yakobus. Redaktur Olahraga, khususnya bola.

”Berita selesai belum nih. Jangan nonton jak,” kali ini Dek-Hairul Mikrad menimpali dengan setengah berteriak.

Diam. Semua sibuk dengan urusan masing-masing. Yang nonton tetap nonton, mengehentakan kaki, tertawa. Tertawa lagi hingga tubuh mereka terguncang-guncang.

”Kitak nih baru pandai nonton dah teriak,” Muhlis ikut menimpali.
”Buktikan Sabtu besok dengan melawan Ponianak Post. Jangan tak datang...” Yusriadi nyambung perbincangan yang tak ada moderator itu.

”Pucat dah Liong Jai nih,” kata Andre, saat pertandingan akan berlanjut dengan penalti. Liong Jai adalah penjaga gawang Korea Selatan

Tak lama. Cun Soo dari Korsel melesatkan tendangan ke arah gawang Irak. Tendangan pertama ini mulus merobek gawang ’negeri seribu satu malam’ itu.

”Satu dah. Diam Irak kan?” kata Tanto yang tertawa-tawa.
”Hooohhhh...,” teriakan lebih nyaring saa Hawar, dari Irak balas ngegol.

Teriakan, tertawaan dan hentakan kaki serta tepuk tangan makin meninggi menjelang pertandingan usai. Apalagi saat tendangan Sungwoo, kena tiang gawang. Irak memenangkan tendangan pelanti melawan Korsel dengan skor, 4-3.

”Hidup Irak”
”Mampus kau Korsel”
”Nyaman kao Korsel, makanya jangan kalahkan Indonesia”

Malam tadi Irak memastikan diri maju di babak final setelah menggulung salah satu raksasa bola Asia, Korsel. Negeri ginseng itu bertekuk lutut lewat adu penalti, setelah sebelumnya imbang. Irak akan menghadapi pemenang sesudahnya antara Arab Saudi melawan Jepang.

Kini setelah pertandingan usai, masing-masing sibuk dengan urusan masing-masing. Wartawan, redaktur dan pracetak yang belum selesai kembali menghadap komputer. Yang sudah selesai berkemas siap-siap pulang. Sementara yang lain ada yang sekedar buka email, baca berita, edit weblog atau browsing.

Begitupun aku kembali tenggelam memelototi kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf. Menyambungkan logika dan merangki kata-kata jika ada yang masih amburadul.

Sementara itu 10 jengkal di belakangku terdengar suara riuh-rendah dan teriakan-teriakan. Kali ini bahasanya beda jika tadi Melayu kini Inggris dan bahasa kumbang. Sengau...tak jelas apa yang dimaksud. Suara yang keluar dari tv 24 inci itu adalah para penonton di tribune dan komentator yang menyaksikan langsung pertandingan antara Arab Saudi melawan Jepang di lapangan hijau.

Minggu, 29 Juli pukul 17.20, dua negara minyak-Irak dan Arab Saudi-akan berebut sebagai kampium raksasa sepak bola Asia. Pertandingan tersebut akan digelar di Stadion Gelora Utama Bung Karno yang kembali disiarkan langsung GlobalTV. Tepukan tangan, hentakan kaki, teriakan, sumpah serapah, kletak-kletok bunyi jari-jemari mengetuk keyboard komputer kembali akan beradu. □

[ read the rest of this entry » ]

Thursday, July 26, 2007 |

Ada dua aturan dalam menulis:
Pertama tak ada aturan sama sekali;
Kedua tak ada toleransi untuk tulisan jelek.

Daoed Joesoef



[ read the rest of this entry » ]

Wednesday, July 25, 2007 |

Peserta Kursus Jurnalisme Sastrawi Angkatan ke-12



Peserta Kursus Jurnalisme Sastrawi Angkatan ke-12 berfoto bersama pengampu kursus, Janet Steele dan Andreas Harsono di Yayasan Pantau pada saat hari terakhir, Jumat (29/7). (Foto: Eva Danayanti/Pantau)

[ read the rest of this entry » ]

|

Pantak Nek Intong, Quo Vadis Dayak?

Masyarakat Dayak tempo doeloe memiliki kebiasaan dan tradisi untuk mengenang tokoh yang sudah meninggal dengan membuat pantak. Pantak adalah sejenis patung kayu yang wajahnya mirip dengan wajah tokoh dimaksud.

Di Kecamatan Sungai Ambawang salah satu yang memiliki Pantak adalah Nek Intong yang lokasinya di ‘Bingkuakng’ yang masuk dalam wilayah Desa Durian-Duriatn. Berjarak sekitar setengah jam perjalanan dengan menggunakan motor air dari Ambawang Kuala.

Konon Nek Intong adalah seorang tokoh dukun yang sangat sakti, ia juga seorang pengalangok yang gagah berani. Pangalangok sebutan lain untuk panglima perang Dayak Kanayatn-Kendayan. Kala itu sepanjang sungai Ambawang masih banyak sekali buaya. Daun jatuh saja ditangkap, apalagi orang yang akan melintasi sungai itu. Hutannya masih rimbun dan dari seberang ke seberang masih nyambung. Binatang yang hidup di pohon seperti monyet, orang utan, tupai dan lainnya mudah saja pindah dari seberang ke seberang lainnya.

Dengan situasi seperti itulah ia menunjukkan kemampuan dan kesakiannya. Sehingga banyak yang bergantung dan mengharapkan kekuatannya.

Nek Intong juga berprofesi sebagai dukun Baliatn. Ia tak hanya mengobati manusia namun juga mengobati binatang yang hidup di sekitarnya. Suatu hari datang seekor burung Kulang Kulit yang sakit di pelataran rumah Nek Intong. Ia yang mengerti bahasa burukng menanyakan apa yang terjadi dan diinginkan oleh Kulang Kulit. ”Aku nian tek sakit. Dapat gek kao mantok aku, more aku,” kata Kulang Kulit yang artinya aku ini sakit. Dapat ndak kamu nolong saya, mengobati saja.

Ia yang menolong tanpa pamrih itulah akhirnya mengobati Kulang Kulit. Diambilnya babi di padulangan-kandang, ayam di kataraatn-kandang ayam, telur ayam, baras poe baras sunguh, pinang gamer timako rokok, dan paramu berobat lainnya. Termasuk darah asuk-anjing. Selesai baliatn, Kulang Kulit pun sembuh. Ia berjanji jika ada anak cucu keturunan Nek Intong yang diganggu maka sebut saja namanya. Di masyarakat Dayak, Kulang Kulit yang suaranya menggema pada malam hari semacam burung hantu yang menakutkan. Maka jika bersuara ada upaya yang dilakukan dengan nyampakng-ngingatkan bahwa manusia adalah keturunan Nek Intong.

”Ame kita’ ngaco kami. Kami nian panganak ucu Nek Intong,” itu kata ibuku jika ada suara Kulang Kulit. Artinya jangan kalian menganggu kami, sebab kami ini anak cucu Nek Intong.

Aku masih ingat saat tinggal di Nilas, sebuah kampung yang kini masuk di antara Parit Banjar dan Parit Baru, Desa Kubu Padi Kecamatan Kuala Mandor B. Jika ada suara burung itu sudah mulai riuh maka almarhum nenekku dan ibuku akan cepat-cepat nyampakng Kulang Kulit. Kampung yang dialiri Sungai Nilai yang tembus ke Desa Kopiang Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak itu memang terbilang sepi. Hanya ada tiga buah rumah yang jaraknya masing-masing sekitar 100 meter.

Di pantak biasanya orang membayar niat. Atok adalah salah seorang yang membayar niat. Bersama keluarga besarnya ia mengunjungi Pantak Nek Intong karena kelahiran anak pertamanya yang sehat sekitar tahun 1980, 3 tahun usia anak pertamanya. Anak pertamanya itu adalah aku yang kini menulis artikel Nek Intong, Quo Vadis Dayak?

Kembali ke Nek Intong, setelah ia meninggal anak cucunya membuatkan pantak untuknya. Untuk membuat itu bukan perkara mudah. Puluhan ekor babi, ayam, beras dan lain-lain disiapkan.

Kayu yang dipilih juga bukan sembarang kayu, namun kayu yang ’mau dan setuju’ untuk dijadikan pantak. Caranya dengan memotong sedikit kayu tersebut sambil berujar. ”Kami maok manjuat tak pantak Intong. Kita’ setuju gek ina’” artinya Kami akan membuat pantak untuk Intong, apakah setuju atau tidak.

Jika kayu setuju dan berjodoh maka ia akan mengeluarkan darah yang keluar dari bekas kulit tersebut. Jika tidak maka tidak akan keluar darah. Untuk mencari kayu seperti ini dibutuhkan waktu berhari-hari, masuk keluar hutan dengan rombongan yang tidak sedikit.

Saat merencanakan, memilih kayu, membuat, hingga selesai proses itu menggunakan upacara adat. Jika dilakuakn saat ini mungkin bisa membutuhkan dana ratusan juta rupiah.

Siapa saja yang bisa dibuatkan pantak? Kategorinya adalah pagalar, pangaya, pangalangok-orang bergelar, orang kaya dan panglima perang. Pagalar diantaranya timanggong, pasirah, pangaraga (anak raga), singa, dukun dan lain-lain. Mereka umunya pengurus adat yang tanpa cela.

Pangaya adalah orang kaya yang sejarah kehidupannya baik, bersih dan jujur tidak ada cela. Ia memperoleh kekayaan dengan cara yang beradat.

Sedangkan pangalangok adalah kelompok panglima perang, orang yang memiliki kesaktian yang tak dimiliki oleh sembarang orang. Punya kemampuan lebih dari orang lain.

Dari semua pantak, yang cukup terkenal dan dipercaya memiliki kekuatan gaib adalah pantak Mamo-pantak Nek Mamo. Ia terletak di salah satu desa di Banyuke yang aku tak tahu persis lokasinya. Pantak tersebut yang sudah ratusan tahun bertunas dan hidup. Jika kita datang di lokasi dan mengatakan ingin mendapatkan berkah, rezeki atau kesaktian jika beruntung maka salah satu bagian pantak hidup itu akan jatuh. Misalnya daunnya, ranting atau bahkan ada hewan yang menghantarkan. Misalnya tikus yang tiba-tiba keluar dari lobang dan membawa ranting yang membawanya dekat kita.

Ada juga patung masyarakat Dayak Kanayatn yang mirip dengan pantak. Namun ia dibuat bukan berdasarkan tokoh. Ia umumnya dikenal dengan Nek Ampagok.

Salah satu contoh Ampagok adalah yang terletak di Kuala Retok atau Ambawang Kuala serta Koala Ampaning.

Ampagok umumnya digunakan untuk meminta berkah selama proses tanam padi. Mulai dari ngawah-melihat lokasi, nyumbat lubakng tugal-setelah habis nugal, hingga bahanyi-panen yang diakhiri dengan makatn nasi baharu-makan nasi baru. Tempat ampago biasanya dikenal dengan Pantulak atau Paburungan.

Kini keberadaan situs masyarakat Dayak Kanayatn tersebut terancam oleh tangan-tangan jahil. Banyak pencuri yang mengicarnya sebab harganya cukup mahal dan mungkin saja ada sebuah proses ’penghilangan’ sistematis agar generasi muda sekarang tercerabut dari akar budayanya. Quo vadis Dayak?-mau kemana Dayak? Semua tergatung kepada generasi muda saat ini.

Pencurian dan pengerusakan Pantak dan Ampago di ’Sunge Ambawang’ sudah berlangsung sejak lama. Bahkan sejak tahun 1970-an. Misalnya saja di Koala Babatakng, sekarang Desa Kubu Padi Kecamatan Kuala Mandor B ada misionaris Kristen yang menggesek pantak. Ia mengatakan itu adalah berhala, orang Kristen dilarang menyembah berhala. Pantak yang digesek itu kemudian ditenggelamkan di Sungai Babatakng.

Tahun 1990-an misalnya Ahua seorang tokoh Dayak yang rumahnya berjarak sekitar 50 meter dari Ampago Kampokng Ampaning terpaksa harus menarik senapan lantak. Ia melihat ada segerombolan orang yang mencoba mencuri Ampago dengan menggunakan speed boat namun digagalkan oleh Ahua.

Kasus terbaru tahun 2005, puluhan pantak dan ampago berhasil diamankan oleh Polisi Kota Besar (Poltabes) Pontianak dan Polisi Sektor (Polsek) Pontianak Timur dari salah seorang kolektor di Pontianak Timur. Ternyata situs bersejarah tersebut berasal dari Kecamatan Manyuke-Banyuke. Andreas Lani, politisi Partai Golkar yang kini anggota DPRD Kalbar asal Kabupaten Landak memastikan bahwa barang langka tersebut berasal dari tempatnya. Apalagi ia membawa tokoh adat dan orang kampung untuk memastikannya.

Di Kampokng, Desa Kubu Padi persisnya di muara sungai kecil dulu tahun 1980-an aku masih sering melihat ada ampago di muara sungai tersebut. Kondisinya tak terawat dan berada di tengah hutan sagu. Kini tak tahu persis mungkin saja sudah dicuri juga.

Di Sungai Ambawang ada sebuah bentuk inkulturasi dan akulturasi antara kepercayaan masyarakat Dayak dan Cina. Misalnya di Ambawang Kuala yang persis di pertigaan sungai Landak-Sungai Ambawang Pekong (tempat ibadah Cina) dan Pantulak (tempat Ampago Dayak) dibuat satu rumah. Lokasinya hanya dibedakan oleh sekat atau kamar. Begitupun di Kuala Retok, Kuala Mandor B. Bahkan banyak orang Cina yang membantu membangun Pantak untuk orang Dayak.

Meskipun pantak, ampago dicuri namun kepercayaan dan spiritnya tak akan pernah hilang. Ada kepercayaan ’karamat man panunggu aik tanah’-yang menunggu air dan tanah atau roh sakti tak pernah akan pergi dari tempatnya. Ia akan mencari media lain dan kesaktiannya tak akan pernah ikut dengan tubuhnya-patung.□

[ read the rest of this entry » ]

Sunday, July 22, 2007 |

Kuala Mandor B Akankan Lebih Baik

Oleh: Stefanus Akim

Disahkannya Kabupaten Kubu Raya menjadi kabupaten baru, Selasa (17/7) tentu saja menjadi harapan baru bagi kecamatan Kuala Mandor B. Selama ini kecamatan ini seakan menjadi ‘anak tiri’ bagi kabupaten Pontianak. Lihat saja sekolah setingkat SMA baru tahun ini berdiri dan dipusatkan di Kuala Mandor.

SMP negeri untuk kecamatan Kuala Mandor B juga sama memprihatinkannya. SMP negeri pertama terletak di Parit Cahaya Utara dibangun beberapa tahun silam. Belakangan dibangun SMP di Desa Sungai Enau yang kini memasuki tahun kedua dan SMP di Retok yang tahun ini terima murid baru namun gedungnya belum dibangun. Selama ini peran SMP swasta yang dikelola oleh warga setempat yang peduli dengan modal pas-pasan sangat besar. Diantaranya SMP Titi Raya di Retok, SMP Putera Budi Mas di Ampaning dan SMP Sriwijaya di Parit Sriwijaya.

Sehingga untuk melanjutkan sekolah banyak anak-anak yang harus ke Pontianak yang fasilitasnya lebih memadai. Namun tentu saja dana menjadi kendala.

Infrastruktur jalan juga sama. Masih jalan tanah, antar kampung satu dengan kampung lain tak ada jalan darat. Jika ingin berhubungan mesti menggunakan kendaraan air. Mulai dari sampan, speed boat hingga motor air. Jika pun ada maka jalan tanah dan paling banter hanya rabat beton.

Sekolah Dasar juga masih banyak bangunannya yang rusak bahkan roboh. Maret 2007, SD Inpres No 11 Ampaning yang ketiban sial. Bangunan yang dibangun sejak tahun 1979 itu roboh dan rata dengan tanah. Untungnya saat itu sudah sore dan proses belajar-mengajar sedang tidak dilakukan. Salah seorang guru, Herman, seperti sudah punya firasat. Hari sebelumnya ia dengan dibantu murid-murid laki-laki yang besar mengangkut bangku yang masih mungkin digunakan. Benar saja, sehari sesudahnya bangunan itu roboh dan mengagetkan orang sekampung.

Jalan agak memadai baru sampai di desa Mega Timur yang notabene ibukota kecamatan. Selebihnya dari Pontianak atau sebaliknya masih jalan tanah. Jika hujan, becek dan tak dapat dilalui. Jika musim kemarau maka penuh debu.

Pertanyaannya miskinkah Kecamatan Kuala Mandor B? Saat ini mungkin ia. Sebab tak ada lagi hasil hutan yang sangat memadai. Namun jika dilirik tahun 1970-an ratusan triliun uang hasil kekayaan alam mungkin mengalir ke Jakarta. Saat itu belasan perusahaan kayu mengobok-obok hutan di Kuala Mandor B. Masyarakat tak mendapatkan apa-apa, paling-paling sebagai tukang tebang kayu dan setelah hutan habis dijarah meninggalkan kemiskinan.

Saat ini masyarakat mengusahakan pertanian berupa padi, sayur-mayur, keladi, jagung dan lainnya. Sektor perkebunan didominasi kebun karet, sebagian kecil kelapa. Sektor perikanan umumnya udang dan arwana didominasi oleh pengusaha-pengusaha kaya dari kota. Masyarakat mengusahakan peternakan skala kecil. Warga Muslim umumnya mengusahakan sapi dan kambing. Sementara yang Kristen selain keduanya juga mengusahakan babi.

”Kita kurang dilibatkan dalam pengambilan kebijakan. Seakan pembangunan dilakukan top down dari atas ke bawah. Sementara usulan hampir tak ada ruang,” kata Adrianus, Kepala Dusun Ampaning belum lama ini.

Ia mencontohkan jalan setapak antara Desa Retok dan Dusun Ampaning sudah ada sejak puluhan tahun silam. Masyarakatnya membuka jalan, menggali parit bahkan pemilik tanah yang dilewati merelakan kebun karet ditebang dan tanahnya diambil untuk dibangun jalan. Namun apa lacur, kini pemerintah membuat jalan dengan format baru yang menggunakan peta dan skema mereka.

Apa keinginan masyarakat? “Kami butuh pendampingan pertanian dan bibit karet unggul serta ternak,” kata Blasius Daeki, warga Ampaning saat ditanya apa harapannya dengan pemerintah.

Sejumlah tokoh adat, pemuda dan tokoh pemuda desa seminggu lalu mengadakan diskusi informal dan sederhana dan berbincang soal Kecamatan Kuala Mandor B kedepan. Mereka adalah Fransiskus Ajong, Sahadin, Atis, Amat, Imus, Jungki, Adrianus AT, Tibi, Bayok, Agustinus Akin, pak Sukinah, Blasius Daeki serta masih banyak yang lain. Salah satu kesimpulannya bahwa pemerintah mesti lebih memperhatikan Kecamatan Kuala Mandor B. Utamanya masyarakat adat Retok dan Ampaning, jangan sampai terjadi marjinalisasi. Pemerintah mesti tahu keunggulan daerah masing-masing dan sektor mana saja yang mesti dibangun. Jangan terulang pembangunan infrastruktur menumpuk di kota sementara desa ditinggalkan.

Kini setelah Kabupaten Kubu Raya terbentuk dan Kuala Mandor B masuk di dalamnya, akankan nasib daerah ini masih seperti dahulu kala. Jawabnya tentu saja tergantung kebijakan pemerintah daerah yang baru. □

*Diterbitkan Borneo Tribune, 22 Juli 2007

[ read the rest of this entry » ]

|

Kisah Perempuan Berani yang Menyerang Tradisi Barbar

Judul Buku : In The Name of HONOR (A True Story):
Atas Nama Kehormatan
Pengarang: : Mukhtar Mai
Editor : Aisyah (edisi terjemahan bahasa Indonesia)
Penerjemah : M. Lukman Sadikin
Penerbit : Pustaka Alvabet, Jakarta, 204 halaman, 12,5 x 20 cm
Cetakan pertama : Maret 2007
Peresensi : Stefanus Akim

Buku ini merupakan sebuah kisah nyata dari seorang perempuan janda berusia 35 tahun. Dia tinggal di perkampungan kecil, Meerwala, selatan Punjab, Pakistan. Dia adalah salah satu dari 100 tokoh paling berpengaruh versi majalah Time tahun 2006.

Mukhtar Mai seorang yang buta aksara, namun berkat bantuan Marie-Therese Cuny, dari Prancis yang tertarik nasib tragisnya kisahnya berhasil ditulis dan dibukukan. Teks asli buku ini berbahasa Prancis; Deshonoree.

Perjuangan Mukthar Mai mendapat pujian dari sejumlah kalangan, salah satunya Nicholas Kristoff, dari The New York Times. ”Mukthar Mai adalah seorang pahlawan. Dia telah mengalami pemerkosaan dan kebrutalan pengadilan. Atas kejadian itu dia meyakinkan kita kan pentingnya pendidikan-dan harapan”.

Saat kejadian itu, ia adalah seorang perempuan miskin Pakistan berusia 32 tahun. Pada 22 Juni 2002, Muktar Mai dijatuhi hukuman oleh Dewan Adat di desanya dengan cara diperkosa. Dia dipegangi oleh empat orang laki-laki, ditelanjangi dan kemudian diperkosa beramai-ramai. Lalu, ia diperintahkan untuk berjalan pulang dalam kondisi setengah telanjang di hadapan 300-an penduduk desa. Dengan cara dipertontonkan dan dipermalukan di depan umum, Mai harus melakukan itu demi ’membayar’ suatu tindak kejahatan yang tanpa bukti, yang dituduhkan kepada adik laki-lakinya.

Adik laki-laki Mai, Abdul Syukur (12 tahun), dituduh memiliki affair dengan seorang gadis dari kasta yang lebih tinggi. Dewan adat akhirnya menjatuhkan hukuman kepada Muktamar Mai dengan cara diperkosa. Menjelang menit-menit pelaksanaan hukumannya, Mukatamr Mai meminta belas kasihan, memohon agar adiknya dibebankan dan membaca Al-Quran-satu-satunya bacaan yang dihafalnya.


Ia berasal dari kasta rendah Gujar dan harus berhadapan dengan klan lokal yang sangat berpengaruh dan agresif. Mereka adalah para petani dari kasta Mastroi yang kuat. ”Atas nama keluargaku aku harus memohon pengampunan dari mereka,” kata Muktar Mai yang ditulis dalam bentuk aku.

Meskipun ia seorang yang buta huruf, namun ia adalah seorang yang pemberani. Ia bahkan menjadi perempuan pertama di negaranya yang berhasil merebut kembali kehormatannya dengan cara menyerang balik tradisi barbar yang hampir saja membinasakannya.

Dalam buku ini, Mukhtar Mai dengan runut bercerita soal kejadian yang menimpanya. Sementara Marie-Therese Cuny dengan sabar mendengarkan dan mencatat apa yang diceritakan oleh Mukhtar Mai, ia dibantu pula oleh Naseem Akhtar, sepupu Mukhtar Mai sendiri. Ia tak menyangka kata-katanya telah dibukukan dan mengantarkan dirinya untuk bertemu dengan Menteri Luar Negeri Prancis pada Januari 2006. Dia berkesempatan berbicara mengenai hak-hak perempuan di sebuah tempat yang didedikasikan untuk perjuangan hak-hak asasi seluruh umat manusia: Place des Droits de l’Homme, Prancis.

Selain perjuangan seorang perempuan yang gagah berani untuk menyerang tradisi barbar dari buku ini dapat pula dilihat sistem hukum yang lemah dan mudah dibeli. Di kantor polisi misalnya, ia, diminta membuat cap jempol blangko kosong oleh seorang pemeriksa yang juga ’kaki tangan’ klas Mastroi dengan alasan demi kebaikan sendiri. Blangko itu ternyata berisi pernyataan yang menyebutkan jika ia tidak diperkosa dan hanya mengarang cerita. Untungnya saat sudah disidangkan di pengadilan ada seorang hakim yang masih memiliki hati nurani. Hakim itu bahkan meminta akar Mukhtar Mai untuk tegar dan menceritakan semuanya tanpa takut. ”Cerita yang kau ceritakan kepadaku berbeda dengan yang kau ceritakan kepadaku,” ujar hakim kepada Mukhtar Mai

Secara umum buku ini cukup menarik dan isinya bisa memompa semangat kaum tertindas untuk melakukan perlawanan. Hanya saja kadang-kadang kalimatnya sulit dipahami. Mungkin karena buku ini dibuat berdasarkan penuturan Mukhtar Mai, bukan hasil tulisan langsung. □

*Dipublikasikan Borneo Tribune 15 Juli 2007

[ read the rest of this entry » ]

Tuesday, July 17, 2007 |

Kisah Dahsyat Ketimbang Fiksi

Judul Buku: Frank Sinatra Kena Salesma:
Kisah Terhebat yang Pernah Diceritakan
Editor: Yusi Avianto Pareanom (edisi terjemahan bahasa Indonesia)
Penerbit: Banana Publisher, Depok, 130 halaman, 19 cm
Cetakan pertama: Oktober 2005
Peresensi: Stefanus Akim

Karya jurnalistik tidak selamanya kering, membosankan atau hanya disajikan dengan 5W+H atau paling banter feature. Dengan new journalism, karya jurnalistik dapat dibuat seperti novel namun sangat menyucikan fakta. Ada adegan, plot, karakter, konflik, akses penulis dengan sumber, emosi rasa cinta benci dan sebagainya, perjalanan waktu dan unsur kebaruan. Semua itu ada dalam buku kecil ini.

Buku ini terbagi dalam tiga bagian (judul) berbeda. Ada Frank Sinatra Kena Salesma pada bagian pertama yang merupakan karya Gay Talese, Demam Anggrek karya Susan Orlean, dan Ali Kini karya Cal Fussman.

Pada bagian pertama kita bisa melihat Frank dalam jangkauan yang dekat sekali. Kita seakan bisa melihat dengan mata, meraba dengan tangan, mengecap dengan lidah dan mencium dengan hidung siapa dia sebenarnya.

Frank punya segalanya: karir hebat, wanita-wanita cantik, serta keluarga dan kawan-kawan yang mencintainya. Ia adalah Il Padrone, sang bos besar. Tetapi berada di puncak juga berarti menjadi yang terdepan saat badai datang. Bagian pertama ini bercerita problem kekuasaan yang dialami salah satu bintang terkondang di dunia. Kisah ini medapat sambutan luar bisa ketika terbit pertama kali pada tahun 1966.

Kisah ini adalah salah satu pelopor jurnalisme baru-new journalism, narasi nonfiksi, setia menghadirkan fakta, tetapi hidup karena gaya bercerita yang pada waktu itu hanya dipakai dalam wilayah fiksi.


Anda juga siap-siap terharu membaca Ali Kini di bagian ketiga. Bagian ini akan membuka mata bahwa kisah nyata tak kalah kaya, memikat, ganjil, dan ajaib ketimbang fiksi. Malhan dalam beberapa kasus bisa lebih.

Ali Kini bercerita tentang mengisahkan kehidupan kehidupan mantan juara tinju dunia Muhammad Ali setelah terbekap penyakit Parkinson. ”Masihkan ia orang yang sama dengan orang yang sekain puluh tahun lalu berdiri di pojok jalan menumumkan keberadannya di depan kamera televisi setelah menerima ancaman pembunuhan”? Anda akan menemukannya setelah membaca tuntas.

Siap-siap pula untuk terkagum-kagum menyimak kegilaan pencinta sejadi Demam Anggrek yang menjadi inspiransi film Adaptation yang memenangi Oscar. Anda akan menemukan deskripsi yang sangat memikat pada bagian ini. ”Satu spesies terlihat seperti anjing gembala Jerman dengan lidah terjulur, spesiesnya lainnya tampak seperti bawang. Satu spesies terlihat seperti gurita, sementara yang lain tampak seperti hidung orang. Ada satu yang terlihat seperti sepatu gaya yang biasa dipakai raja-raja, satu lagi tampak seperti monyet”.

”Sebagai orang pertanian dan jurnalis saya malu jika tak dapat menulis buku-Demam Anggrek-seperti ini. Sangat sederhana sekali namun sangat memikat,” komentar Nur Iskandar.

Memang untuk melakukan jurnalisme sastrawi atau narattive memerlukan ambisi si wartawan, yang tak dibebani rutinitas redaksi. Ia harus membangun, dan memegang, kontak personal dengan pembacanya. Liputan yang dilaporkannya harus jadi pengalaman unik yang personal sifatnya. Ia tak hanya mengenali subyek liputan sebagai materi jurnalistik akan tapi mengenali mereka dengan keintiman orang yang memang dekat. Dari paragraf awal sampai akhir, ia menyajikan pengalaman tersebut kepada pembaca, dalam gaya yang laporan yang tetap terkontrol, matang, dan terkadang lucu. □

*Diterbitkan Borneo Tribune, 8 Juli 2007

[ read the rest of this entry » ]

Friday, July 13, 2007 |

Majalah Sidus-Nyarumkop

Saya masih ingat pernah ‘mengelola’ majalah Sidus. Majalah ini milik para siswa asrama Widya (seminari) St Paulus Nyarumkop, Singkawang. Saya juga pernah menjadi Ketua Asrama tahun 1994 (Kelas 2 SMA), Ketua Seksi Liturgi tahun 1993 (Kelas 1) dan Ketua Majelis Permusyarawatan Kelas (MPK) tahun 1994.

Saat itu konsultan Sidus bapak Drs. Hendrikus Clement. Beliau guru Bahasa Inggris alumni Sanata Dharma, Yogyakarta dan juga alumni Nyarumkop. Sempat menjadi Ketua DPRD Kota Singkawang dari Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan (PDI-P) dan kemudian karena pemekaran, menjadi anggota DPRD Bengkayang. Terakhir saya dengar sebagai dosen di STIE Bumi Sebalo, Bengkayang.

Majalah itu ukuran buku tulis biasa dengan sampul kuning dan isi foto copy. Isinya macam-macam, mulai dari cerita humor, artikel, kartun dan lain-lain. Yang nulis selain siswa seminari menengah juga para guru dan biarawan.

Terakhir saya dengar sudah tidak terbit karena kekurangan dana dan mungkin juga kekurangam human recourses. Saya & beberapa alumni berpikir untuk menghidupkan kembali, sebagai sarana adik-adik menuangkan gagasan dan melatih diri. Bagi para alumni yang berkeinginan berkomitmen mungkin bisa kontak saya di stefanusakim [et] gmail [dot] com.

Mungkin perlu direview, kami pernah membuat paguyuban dengan nama Ikatan Alumni Persekolahan Katolik Nyarumkop (IMAPKN) antara tahun 1999-2001. Saya tak ingat persis, sebab sudah lama & tak tahu siapa pengurus sekarang. Saat itu beralamat di Komsos Keuskupan Agung Pontianak di jalan Imam Bonjol.

Tahun 2006 IMAPKN, pernah membuat kegiatan bernama Latihan Kepemimpinan Siswa (LKS)-mirip di Sanata Darma dengan basis latihan kontemplasi St Iqnatius De Loyola. Salah satu yang bekerja keras Yosafat Aus S.Ag dan kawan-kawan. Saya sempat hadir pada hari penutupan. Awal berdiri melakukan sosialisasi perguruan tinggi di Pontianak, meggelar tryout penerimaan mahasiswa baru dan kegiatan lain.

Ada rasa bersalah jika majalah ini mati suri. Soal dana mungkin kita bisa patungan dulu dan tidak membebani keuangan persekolahan atau yayasan.

Regards,
Stefanus Akim

[ read the rest of this entry » ]

Sunday, July 8, 2007 |

Pelatihan Jurnalistik Mahasiswa Sungai Ambawang

Ada rasa ingin tahu yang cukup besar dari sejumlah mahasiswa Sungai Ambawang yang tergabung dalam Ikatan Persaudaran Mahasiswa Sungai Ambawang-disingkat IPMSA terhadap dunia jurnalistik.

Untuk itulah maka Tata-ketua saat ini, meminta kami bertiga-Tanto, Aleks dan Akim untuk memberikan materi singkat tentang jurnalistik kepada mereka. Dipilihlah, Gedung Serba Guna Korek yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Pontianak. Sebab selain sedang tak digunakan gedung ini cukup representatif dan lokasinya mudah ditempuh. Ada 13 mahasiswa yang hadir dari 16 yang direncanakan oleh pengurus IPMSA. Jumlah tersebut aku pikir masih minim namun cukup ideal untuk sebuah pelatihan dan diskusi. Aku ingat, saat masih menjadi pengurus tahun 2002 lalu, terdaftar 80 lebih mahasiswa Sungai Ambawang termasuk kecamatan Kuala Mandor yang merupakan hasil pemekaran.

Pelatihan berjalan santai dan akrab. Kami duduk di sebuah ruangan yang cukup besar dengan kursi kayu yang mirip kursi gereja. Peserta duduk menghadap white board dan pemateri menghadap ke arah peserta. Bangunan ini bersebelahan dengan Gereja Santa Anna, Paroki Sungai Ambawang dan SMA Talino.

Seperti umumnya mahasiswa, mereka cukup kritis dengan materi yang kami sampaikan. Tak hanya soal teknis seperti reportase, menulis berita dan membuat sudut pandang serta bahasa jurnalistik yang ditanyakan. Diantara mereka ada yang mempertayakan soal amplop dan wartawan bodrek. Mengutip pernyataan Goenawan Mohamad aku berujar kepada mereka bahwa menulis itu adalah laku moral dan harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan Tuhan.

Wah pikirku, cukup kritis juga mereka ini dan disini lah masa depan jurnalisme di tanah Borneo. Mengingat usia mereka yang masih cukup muda.

Kami bertiga umumnya memberikan materi yang sederhana, teknis dan umum serta menceritakan pengalaman masing-masing selama menjadi wartawan. Aku memotivasi mereka agar belajar dan terus belajar. Sebab penulis-wartawan yang baik adalah mereka yang mau terus belajar. Upaya itu dapat ditempuh dengan membaca dan membaca terus, reportase dan reportase terus, dikusi dan teruslah menulis.

Almarhum Romo Mangun, mengutarakan menulis ibarat orang mengisi botol. Botol itu diisi terus hingga penuh dan meluber, yang meluber itulah hasil tulisan. Untuk mengisi botol itu harus dengan membaca.

Kami memberikan materi umum mulai pukul 09.00 dan berakhir menjelang pukul 13.00. setelah itu kami bubar dan akan dilanjutkan hingga Sabtu dan Minggu.

Pada pelatihan itu teman-teman mahasiswa menyediakan white board berikut spidol dan penghapus. Saat jam istirahat kami disuguhkan makanan ringan berupa kue, teh dan kopi. Sedangkan istri Aleks yang rumah orang tuanya berhadapan dengan tempat pertamuan dipisahkan jalan Trans Kalimantan menyediakan kami bertiga makan siang. Satu tampah nangka yang ranum serta manggis disuguhkan kepada kami. Sebagai penutup ada tuak dari Sekadau....hem nikmat sekali.

Tuak sejenis minuman beralkohol, rasanya manis dan baunya harum. Ia dibuat dari hasil permentasi beras pulut dicampur ragi. Dalam jangka waktu tertentu permentasi tersebut dibuka dan airnya diperas. Biasanya disuguhkan saat ada pesta atau upacara adat.

Di Sungai Ambawang juga ada beberapa tempat penyulingan arak yang dikerjakan olah masyarakat. Kadar alkoholnya saya tidak tahu persis, namun jika disimpan dalam cawan atau gelas bakar sedikit dengan api maka akan menyala. Persis seperti spritus.

Sebelum pelatihan, saat Tata ke kantor aku minta ia menemani aku liputan soal arak. Bagaimana proses pembuatannya, peningatan ekonomi dan lapangan kerja, pemasan dan lain-lain. Namun dengan halus mahasiswa Universiras Tanjungpura ini menolak dengan alasan masih belum kondusif.

"Polisi masih razia (arak) bang, ame dolo. Ahe agik ade' kita nang atakng, payah. Ade' dah ina' ada ahe-ahe aku pane ngantat," kata dia dengan bahasa Dayak Kanayatn yang artinya: Polisi masih razia (arak) bang, jangan dulu. Apa lagi kalau abang yang datang, repot. Kalau sudah tak tak ada apa-apa aku akan antarkan.

Aku juga membagikan foto copy beberapa buah contoh tulisan sederhana dan naratif serta memberikan sedikit pengantar jurnalistik yang diharapkan dapat mereka baca jika ada waktu senggang. □

[ read the rest of this entry » ]

Saturday, July 7, 2007 |

Materi Pelatihan Jurnalistik

Jurnalistik*
Stefanus Akim**

Dunia penulisan selalu menarik. Selalu menjadi dunia yang unik dari masa ke masa. Banyak penulis dan pengarang yang muncul dan kemudian menghilang. Banyak penulis sukses (wartawan juga penulis) dan ada pula yang tidak. Mengapa? Ada satu hambatan penyebabnya. Salah satunya kita agak enggan belajar, malas, tidak terus mengasah kemampuan dan lamber.

Untuk itu seorang penulis harus rajin membaca buku. Baik itu jurnal, terbitan berkala, kamus, novel, cerita pendek, kitab suci dan seteusnya. Asah dan asah terus. Menulis dan menulis terus. Belajar dan belajar terus. Jangan berhenti!

Apa itu Jurnalisme:
Jurnalisme memiliki ciri-ciri diantaranya:
- skeptis: Tom Friedman dari New York Time mengatakan skeptis adalah sikap untuk selalu mempertanyakan segala sesuatu, meragukan apa yang diterima dan menangapi segala sesuatu kepastian agar tidak mudah ditipu. Seorang yang skeptis akan berkata, “Saya pikir itu tak benar. Saya akan mengeceknya,”
- bertindak cepat: seorang wartawan atau penulis tak akan menunggu sampai sebuah peristiwa terjadi. Ia akan memprediksi dan menulis lebih awal. Minimal melakukan reportase, riset atau pengamatan dari awal sebelum kejadian itu benar-benar terjadi.
- Mendorong perubahan ke arah yang lebih baik.
- Jurnalisme itu seni dan profesi

Ada 9 prinsip Jurnalisme:
- Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran
- Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat
- Intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi
- Praktisi jurnalisme harus menjaga independensi terhadap sumber berita terhadap sumber berita.
- Jurnalisme harus menjadi pemantau kekuasaan
- Jurnalisme harus menyediakan forum kritik maupun dukungan masyarakat
- Jurnalisme harus berupaya keras untuk membuat hal yang penting menarik dan relevan
- Jurnalisme harus menyiarkan berita komprehensif dan proporsional
- Praktisi jurnalisme harus diperbolehkan mengikuti hati nurani

Sayarat seorang wartawan:
- tahu yang menarik
- ingin selalu tahu
- mampu observasi
- dan lain-lain

Berita dan Nilai
Ada 6 unsur berita:
apa, siapa kapan dimana, bagaimana dan mengapa (5W+H: what, who, when, where, why, how). Saat ini ada satu unsur lagi so what: lalu apa?

Nilai berita ada 5: (CHoPPT)
Consequnces; besar kecilnya dampak peristiwa pada masyarakat
Human interest; menarik atau tidak dalam segi ragam atau kehidupan manusia
Prominence; ketokohan dalam sebuah peristiwa
Proximity; jauh dekatnya lokasi peristiwa dari orang yang mengetahui berita
Timeliness; baru tidaknya atau penting tidaknya saat peristiwa itu terjadi.

Seorang wartawan harus mempunyai vitalitas:
1. menemukan peristiwa dan jalan cerita
2. cek, ricek dan tripel cek jalan cerita
3. memastikan sudut berita
4. menentukan lead atau intro
5. menulis berita

*Bahan Pelatihan Jurnalistik untuk Ikatan Persaudaraan Mahasiswa Sungai Ambawang, 6 Juli 2007
** Redaktur Borneo Tribune Pontianak

Sumber:
1. Vedemakum Wartawan, Reportase Dasar KPG 1997
2. Sembilan Elemen Jurnalisme: Bill Kovach & Tom Rosenstial
3. Seandainya Saya Wartawan Tempo: pengantar Goenawan Mohamad; ISAI dan Yayasan Alumni Tempo 1997
4. Jurnalisme Dasar: Luwi Ishwara; Penerbit Buku Kompas, Desember 2005
5. Penulis yang Sukses: Wilson Nadeak; Sinar Baru Bandung 1983

[ read the rest of this entry » ]

|

Lestarikan Budaya Lewat Pameran Batik

Oleh: Stefanus Akim

Selama seminggu, 28 Juni-5 Juli Wastraprema, Lembaga Pencinta Kain Adati Indonesia menggelar pameran batik dan wayang di Museum Textil, Jakarta. Puluhan lembar kain batik maupun wayang ditampilkan dalam pameran tersebut. Para ibu-ibu pencinta batik turut menampilkan batik yang dibuat tahun 1928.

Nian Djoemena, pemerhati batik mengatakan, pameran batik bermotif wayang ini cukup unik karena batik bermotif wayang memang tidak biasa. Sebagian besar batik yang dipamerkan memang didesain untuk koleksi dan pajangan. Ada beberapa berupa kain panjang. Batik pun tak harus berwarna kusam karena di pesisir muncul warna cerah dan pilihan motif beragam. “Di kawasan ini batik dipengaruhi Hindu Jawa tetapi tidak mendalam,” kata Nian Djoemena, penulis buku Kaligrafi on Batik yang akan mengadakan seminar batik di Jepang.

Menurut Nian, batik yang pertama ada di Sumatera adalah di Jambi, bukan Bengkulu seperti sangka banyak orang. Dari keluarga bangsawan di Jambi-lah batik muncul dalam bentuk kaligrafi halus. “Lebih halus daripada kaligrafi Jogjakarta.”

Batik Jambi yang memakai kaligrafi ini sempat tidak muncul karena Belanda memukul mundur bangsawan Jambi yang menguasai proses pembatikan. Sejak itu batik kaligrafi Jambi tak lagi banyak ditemui. Tetapi masih ada keluarga bangsawan yang mempertahankan. Inilah yang diangkat Nian Djoemena dalam bukunya.

Pada pameran batik tersebut puluhan batik dan wayang ditampilkan dan dipajang. Para pecinta batik betah berlama-lama untuk melihat tekstur, gambar maupun warna batik.
Diantaranya ditampilkan juga batik ukuran 9 x 2 meter yang memperoleh penghargaan Museum Rekor Indonesia sebagai batik terpanjang di dunia. Angka 9 diartikan sebagai sembilan wali sedangkan angka 2 diartikan sebagai dua kalimat syahadat.

Batuk yang terbuat dari katun ini bermotif cerita wayang alas amer. Cerita ini diambil dari wayang Babat Alas Wanamarta, dimana dicritakan tentang pendirian negara amerta mulai dari penebangan hutan Amer. Untuk membuatnya dibutuhkan waktu enam bulan oleh 17 orang pembatik Trusmi Cirebon. Saat ini batik ini menjadi koleksi Bapak Kastura, seniman asli Trusmi Cirebon yang teah banyak menciptakan dan mengkreasikan motif Cirebon.

Jika ditilik, kata batik berasal dari bahasa Jawa "amba" yang berarti menulis dan "titik". Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan "malam" (wax) yang diaplikasikan ke atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna (dye), atau dalam Bahasa Inggrisnya "wax-resist dyeing".

Situs Wikipedia Indonesia menyebutkan, batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya batik cap yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini.

Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak mega mendung, dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki.

Ragam corak dan warna Batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing. Awalnya, batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan juga pada akhirnya, para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh orang Cina, yang juga mempopulerkan corak phoenix. Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik, dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru. Batik tradisonal tetap mempertahankan coraknya, dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan masing-masing. □

[ read the rest of this entry » ]

Friday, July 6, 2007 |

Tajau Naga Singkawang Hiasi Museum Keramik

Oleh: Stefanus Akim

Tajau (tempayan) naga dari Singkawang sudah menjadi salah satu ciri khas daerah yang terletak sekitar 145 kilometer sebelah utara Pontianak. Minggu lalu selama seminggu digelar pameran dan workshop di Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta, 21-28 Juni. Saya berkesempatan mengunjungi tempat tersebut dan melihat-lihat koleksi yang dipamerkan.

Puluhan tajau dengan motif naga menghiasi ruang pameran. Sayangnya pengunjung tidak diperbolehkan untuk mengabadikan dengan menggunakan kamera. Alasan pengelola museum, jika ini dilakukan maka karya tersebut dapat ditiru. Sementara kilatan blitz dapat merusak komposisi warna dan ketahanan tajau. Kegiatan ini dirangkai dengan seminar dan workshop.

Puluhan pengunjung tampak memadati ruangan dan melihat dari dekat tajau-tajau yang indah-indah tersebut. Bahkan sebuah tajau yang tak sempurna karena salah bakar justru menarik perhatian. Tajau tersebut mulutnya tidak rata dan justru miring, sementara bagian lehernya juga mengkerut. Meskipun demikian bagian tubuh tajau terlihat bagus, baik warna maupun komposisinya.

Kepala Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta, Indra Rimawan, mengatakan kegiatan ini terselenggara berkat kerja sama antara mitra museum yaitu pihak sentra industri ’Borneo Lentera Prima’, ’Dinamis’, para kolektor serta museum Provinsi Kalimantan Barat.

Di tempat ‘kelahirannya’, tajau tersebut dilahirkan di tungku naga atau dragon klin yang telah dikenal sejak abad ke-10 Masehi di negara asalnya, Cina daratan. Mungkin itu pula yang menyebabkan barang-barang keramik tradisional yang diproduksi secara tidak disengaja, mempunyai kemiripan dengan keramik-keramik Cina yang dibuat pada masa Dinasti Tang, Song, Yuan dan Ming, meliputi abad ke tujuh sampai ke tujuhbelas Masehi.
Umumnya kemiripan terdapat pada cara pengolahan bahan, pembentukan, warna glasir, hiasan dan hasil pembakaran.

Tajau naga tersebut diproduksi di dusun Sa Liung yang terletak 6 kilometer di selatan Kota Singkawang. Saliung sendiri berarti padang pasir dan di Singkawang tempat tersebut sangat terkenal. Di Saliung para pengerajin hingga kini masih bekerja membuat tajau. Pabrik mereka menjadi unik, sebab diprakarsai para imigran keturunan Tionghoa yang konon datang dari Cina Selatan. Mereka pulalah yang membangun tungku-tungku raksasa untuk membakar keramik pada suhu yang tinggi.

Kurator Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta, Sonny Chr. Wibisono, mengungkapkan, tajau mas adalah sebuah nama yang dipilih Liaw Hai Leng menamai usaha kerajinan keramik peninggalan ayahnya Liaw A Tjiu. Saat dipegang bapaknya, pabrik ini bernama Yu Hua, artinya tempayan emas. Dikisahkan ayahnya saat itu berusia 18 tahun ketika tiba di Singkawang dari Kanton (Guangdong). Liaw A Tjiu mengikuti kawan-kawannya sesama imigran Cina di kampung Sa Liung pinggiran Kota Singkawang setelah tahu tempat itu banyak mengandung bahan baku melimpah dan cocok untuk membuat keramik. Semula Liaw A Tjiu masih awam soal perkeramikan, pada saat itu ia pun magang denga kawannya yang mendirikan pabrik keramik pertama di Singkawang.

Naniek H Wibisono dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, mengatakan, berbagai bentuk keramik tiruan yang betul-betul seindah aslinya ini dapat diperoleh di
Singkawang. Bahkan kalau mau tempayan antik yang sudah aus atau retak-retak, juga dapat mereka lakukan.
Tentu saja dengan harga yang jauh di bawah harga keramik kuno yang
sesungguhnya. Bahkan jika mau memperbaiki keramik antik yang
sudah aus, mereka sanggup menghipnotisnya menjadi indah
kembali.

Dituturkan, keramik tersebut didirikan oleh para imigran Cina yang datang di Indonesia pada tahun 1927-30an di Indonesia dari Cina Selatan (Canton) melalui Singapura dan bekerja
sebagai kuli pelabuhan. □

*Diterbitkan Borneo Tribune, 4 Juli 2007

[ read the rest of this entry » ]

Wednesday, July 4, 2007 |

Masa Depan Media Cetak di Narrative Reporting

Hari ini hampir tak ada warga yang mendapatkan breaking news dari suratkabar. Mereka mendapatkannya kebanyakan dari televisi, radio, SMS, telepon atau internet. Tantangan baru muncul: Bagaimana suratkabar bertahan bila mereka tak bisa lagi mengandalkan kebaruan? Tulis Andreas Harsono, ketua Yayasan Pantau, yang pernah belajar genre Narrative Reporting ini di Nieman Fellowship on Journalism di Universitas Harvard serta co-editor buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat.
Aku termasuk orang yang beruntung, sejak 18-29 Juni bersama 16 teman, dua diantaranya aktivis non government organization (NGO) dari Inggris dan Thailand serta sisanya wartawan baik dari Jakarta maupun dari luar mengikuti kursus narrative reporting atau di Indonesia populer dengan jurnalisme sastrawi. Meskipun namanya ada sastrawi, bukan berarti tulisan yang dihasilkan seperti 'nyiur melambai'. Kekuatan tulisan jenis ini pada detail, fakta sangat disucikan yang membedakan dari tulisan lain ia seperti film. Ada adegan, alur atau plot ada tokoh yang memiliki karakter.

Genre ini termasuk baru di Indonesia, yayasan Pantau yang diketua Andreas Harsono memperkenalkannya pertama kali di Indonesia tahun 2001. Termasuk membuat majalah Pantau yang juga menampilkan model tulisan jurnalisme sastrawi.

Genre yang muncul di Amerika ini pertama kali diperkenalkan oleh Tom Wolfe pada awal 1970an. "Wolfe mengenalkan sebuah genre baru: New Journalism. Ia mengawinkan disiplin keras dalam jurnalisme dengan daya pikat sastra. Ibarat novel tapi faktual. Genre ini mensyaratkan liputan dalam namun memikat. Wolfe bikin riset dengan materi-materi lama guna menawarkan jawaban ini," tulis Andreas dalam weblognya.

Ada dua tenaga pengajar kami, minggu pertama diampu oleh Janet Steele dari George Washington University. Ia menulis buku Wars Within. Janet masuk pada minggu pertama, 18-23 Juni, sisanya oleh Andreas Harsono.

Pola kursus yang diberikan oleh Pantau cukup unik. Hari pertama kami masuk kelas dan hari berikutnya 'kosong'. Kosong sebenarnya hanya istilah saja sebab kami dijejali dengan tugas baik membuat narasi maupun membaca buku, artikel, berita dan semacamnya.

Bermacam-macam buku dan bahan tulisan diberikan kepada kami selama dua minggu untuk dilahap. Diantaranya : "Kegusaran Tom Wolfe" oleh Septiawan Santana Kurnia; "The Girl of the Year" oleh Tom Wolfe; "Dua Jam Bersama Hasan Tiro" oleh Arif Zulkifli; "A Boy Who Was Like a Flower" oleh Anthony Shadid.

Kami juga diminta membaca "Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft" oleh Chik Rini; "In Cold Blood" karya Truman Capote dan kliping dari harian The New York Times pada 1959 "Wealthy Family, 3 of Family Slain." Selanjutnya "The Armies of the Night" karya Norman Mailer; "Tikungan Terakhir" (laporan kematian wartawan Rudi Singgih) oleh Agus Sopian; "It's an Honor" oleh Jimmy Breslin.

Literatur itu masih belum berakhir, sebab masih ada "The Elements of Journalism" karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel; "Media Bias in Covering the Tsunami in Aceh" karya Andreas Harsono. "The Ethnic Origins of Religious Conflict in North Maluku Province, 1999-2000" oleh Chris Wilson, "Indonesia's Unknown War and the Lineages of Violence in West Kalimantan" oleh Jamie S. Davidson dan Douglas Kammen, "Patterns of Collective Violence in Indonesia (1990-2003)" oleh Ashutosh Varhney, Rizal Panggabean, Mohammad Zulfan Tadjoeddin.

Ada juga karya narasi terbaik abad 20 versi Amerika: "Hiroshima" oleh John Hersey; Kemudian tentu saja "Menyusuri Jejak John 'Hiroshima' Hersey"oleh Bimo Nugroho.

"Orang-orang di Tiro" karya Linda Christanty; "Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan" karya Alfian Hamzah; "Republik Indonesia Kilometer Nol" karya Andreas Harsono; "Tujuh Kriteria Sumber Anonim" serta "Ten Tips for Better Interviews."

Janet masih menambah bahan bacaan kami "Violence Changer Fortunes of Storied Bagdad Street" karya Sudarman Raghavan; For New, Indonesian Fisherman are Forced to Abandon-Be Sea Official Must Move Quickly to Revive Industry" karya Advocates Say dan Ellen Nakashima dan "Soldiers Face Neglact Frustation at Army's Top Medical Facility" karya Dana Priest dan Anne Hill.

Model pelajaran di kelas diberikan dengan santai. Kami misalnya bisa sambil minum kopi atau air mineral sambil mendengarkan Janet atau Andreas memberikan bahan atau sesekali menyela. "Silahkan tak setuju dengan pendapat kami. Kalau ada keberatan, kritik atau masukan silahkan potong saja," kata Andreas saat pembukaan kelas.

Boleh dibilang yang ikut kali ini miniatur Indonesia-Andreas menyebutnya Indophit. Ada yang Flores, Batam, Jakarta, Jawa Timur bahkan dari luar negeri London dan Thailand serta media-media Jakarta baik cetak maupun TV. Suasana diskusi sangat akrab. Tak segan-segan diantara peserta memberikan tanggapan atau kritik kepada sesama peserta. Bahkan kepada pemateri, baik Andreas Harsono maupun Janet Stelle.

Selain belajar di kelas, kami juga diminta membaca dan mengerjakan tugas. Bahan bacaannya, alamak. Selain tebal-tebal juga ada yang bahasa Inggris. Kami adalah angkatan ke-12 peserta jurnalisme satrawi yang digelar yayasan Pantau.

Diantara peserta seperti yang ditulis Dayu Pratiwi adalah, Aditya Heru Wardhana, yang bekerja sebagai wartawan video di Trans TV. Ia juga aktif di Aliansi Jurnalis Independen cabang Jakarta. Kemudian ada Adriana Sri Adhiati, saat ini bekerja untuk Down to Earth sebagai researcher, campaigner and websiter co-administrator (part-time) di London. Peserta lainnya adalah Asep Mohammad BS yang sejak tahun 2000 bergabung dengan majalah Swa sebagai wartawan. Ia yang bulan lalu wawancara dengan sejumlah pengusaha Pontianak diantaranya Asia untuk masuk dalam profil di majalahnya.

Kemudian Edy Purnomo, wartawan cukup senior alumnus sastra Universitas Indonesia tahun 1991 pernah bekerja di harian Bisnis Indonesia, harian Indonesia Shangbao dan kini di Investor Daily.

Dari Sinar Harapan ada Emmy Kuswandari, bergabung di harian sore Sinar Harapan sejak 2001. dari Surabaya ada Endah Imawati, bekerja di media sejak tahun 1994 di tabloid anak-anak Hoplaa. Baru tahun 2000 menulis untuk harian Surya Surabaya (masih dalam satu grup).

Sementara dari ujung timur ada Frans Obon, sejak 1994 bekerja di mingguan Dian. Bergabung dengan harian Flores Pos sejak didirikan tahun 1999 oleh Yayasan Dian dan menjabat sebagai Manajer Liputan sampai 2003. Sekarang Pak Frans, teman-teman menyebutnya menjabat sebagai Manajer Produksi (Pracetak) yang juga mengajar di Universitas Flores di Ende.

Teman sekampung Frans Obon adalah Frans S. Imung yang berkarir di Jakarta. Ia kini editor di majalah Investor. Hillarius U Gani, dari Media Indonesia.

Lisa Suroso, adalah wartawan cum aktivis kemanusiaan. Ia bekerja sebagai redaktur majalah Suara Baru dan pengurus pusat Perhimpunan Indonesia Tionghoa bagian humas dan banyak terlibat dalam kegiatan sosial organisasinya dalam bencana alam di Aceh dan Flores.

Dari negeri jiran ada Rozzana Ahmad Rony, dia bekerja sebagai wartawan di Utusan Sarawak, sebelumnya tahun 2003-2006 bergabung di Sarawak Tribune. Ia juga anggota Kuching Journalists Association dan anggota Sarawak Women for Women Society.

Said Abdullah Dahlawi, dari Batam. Kini i awartawan di harian Sijori Mandiri. Kemudian ada Sunaryo Adhiatmoko, mulai menulis sejak di bangku SMA, belajar jurnalistik di Institut Ilmu Sosial Politik IISIP Jakarta. Ia aktif menulis untuk Lembar Ziswaf di Republika yang terbit setiap Jumat selain sebagai Public Relations Manajer Dompet Dhuafa Republika.

Dua nama terakhir adalah Yayan Ahdiat, yang kini redaktur pelaksana View Magazine. Dan, Yuyun Wahyuningrum, mahasiswa penerima beasiswa di Universitas Mahidol, Thailand mengambil jurusan Human Rights and Social Development.

Orang Pantau jelas tak diragukan memberikan pelayanan dan bantuan kepada kami. Misalnya mereka mengantar jika ingin berkunjung ke suatu tempat atau kesulitan melakukan tugas. Kesempatan ini jelas saja kami pergunakan sebaik mungkin, apalagi dari daerah dan ingin tahu banyak Jakarta. Aku dan Rozzana serta Frans Obon dan Endah Imawati kemudian melihat-lihat museum Fatahillah (museum Sejarah, museum Wayang dan museum Kesenian dan Keramik, museum Textil). Tentu saja didampingi Dayu yang hapal Jakarta. Jika tidak maka dipastikan kami akan nyasar. Kami juga menyempatkan diri mengunjungi Monumen Nasional, Taman Mini Indonesia Indah dan Ancol. Bahasa kadang menjadi persoalan, namun karena tekatnya mau belajar maka semua bisa diatasi.

"Maaf setelah dua jam bahasa Indonesia saya sudah habis. Jadi saya harus bahasa Inggris," kata Janet sambil mengangkat kedua tangannya saat di kelas dan teman-teman peserta kursus pun langsung cekikan.

"Saya kira bahase English, ternyata bahasa Indonesia. Dibilang ngerti ya ngerti, dibilang tak ngerti ya tak ngerti. Sebab saya harus terjemahkan bahasa Indonesia ke bahasa Inggris kemudian ke Melayu," kata Nana kepada teman-teman saat kami perpisahan di samping kolam renang apartemen Andreas Harsono.

Bahan-bahan bacaan juga sudah disiapkan di kamar kost masing-masing, untuk yang di Jakarta bahkan diantar di alamat masing-masing. Model pelayanan seperti ini aku pikir harus ditiru oleh tempat kini aku bekerja, Harian Borneo Tribune. *

Dipublikasikan Borneo Tribune, 28 Juni 2007

[ read the rest of this entry » ]

Sunday, July 1, 2007 |

Jakarta-Pontianak, Nasi Melda dan Kemponan

Dua minggu di Jakarta ikut Pelatihan Kursus Jurnalisme Sastrawi angkatan ke-12 membuat lidahku rindu juga dengan masakan Pontianak. Sejak pesawat landing dari bandara Soekarno-Hatta, pukul 18.05 sudah terbayang sejumlah masakan khas ‘kota hantu’.

Melintas satu persatu seperti adengan film. Nasi Melda di Jalan Tanjungpura, nasi goreng Fatimah, nasi goreng Iin, nasi Akwang, nasi Cap Cai, daging merah, kwee cap, mie tiaw Jalan Penjara. Jreng...mampir juga ikan pedas, sotong pangkong, mak Etek dan lain-lain.

”Wah ini bisa kemponan,” pikirku dalam hati dan menjilat telapak tanganku.

Di Pontianak ada tradisi kemponan (Melayu)-sumpanan Dayak Kanayatn. Artinya jika kita ditawari makan oleh orang lain, maka pamali jika ditolak. Jika tak makan maka cukup jamah saja, ambil sedikit masukkan dalam mulut atau minimal oleskan di leher. Jika lupa, jilat telapak tangan.

Kalau melanggar pamali tersebut, resikonya besar. Yang bersangkutan akan mendapat bala’ atau musibah. Bisa kecelakaan atau jika kerja yang menggunakan senjata tajam bisa terluka. Gawat to, apalagi jika menggunakan pesawat. Bisa dibayangkan jatuh dalam ketinggian sekian ribu kaki maka hancurlah raga berkeping-keping.

Soal kemponan aku pernah mengalaminya atau mungkin hanya kebetulan. Saat masih menjadi Kepala Biro Harian Equator di Mempawah, aku menawari Erik, teman yang biasa main di biro minum jus.

”Ndak pak Akim, saye udah. Masih kenyang,” tolaknya.

Tak lama kami memacu sepeda motor mau ke Sungai Pinyuh untuk liputan santai. Tiba-tiba di depan kantor Bupati, des...tahu-tahu kami sudah terjungkal dan terseret tak kurang 3 meter dan ditahan trotoar. Kami ditabrak ibu-ibu yang buru-buru mau nonton pertandingan futsal. ”Tadi saye memang tak cempalet. Mungkin kemponen,” kata Erik meringis.

Ah...aku membuang perasaan itu jauh-jauh. Yang aku pikirkan hanya makanan-makanan itu. Tiba sekitar pukul 19.20 aku segera cari taxi. Tawar-menawar sebentar dan sepakat Rp 50 ribu sampai rumah dengan dua penumpang satu arah. Sementara teman seperjalananku, Rozanna-Nana dari Utusan Serawak naik taxi bersama Arsiyadi Alexander. Sebab mereka mesti cari hotel dan sebagainya.

Karena kecapekan, tiba di rumah langsung tidur. Terjaga sekitar pukul 10 lewat. Itupun setelah ada orang gedor-gedor pintu depan. Setelah dibuka ternyata Otoh, adikku dari kampung yang hantarkan sepeda motor ke rumah.

Saat terbangun, tayangan-tayangan kuliner itu kembali muncul. ”Wah ini tak bisa dibiarkan. Lagi pula perut memang sudah keroncongan,”.

Cuci muka sebentar, beres-beres sedikit. Aku memacu sepeda motorku. Pilihan beragam dan semuanya enak dan gurih. Namun akhirnya di tengah perjalanan aku arahkan ke Jalan Tanjungpura di rumah makan Melda. Temanku, Nana, akan tertawa jika disebut rumah makan. Sebab di Malaysia tak lazim. Lazimnya restoran.

Lima menit, sepotong ayam goreng berikut nasi hangat, telor asin beres. Peluh keluar saking nikmat dan pedasnya cabe. Ayam goreng Melda memang khas. Ia digoreng garing dan kering. Sementara kuahnya, mak nyus...

Ah...tenang sudah. Aku pikir baik juga kalau pengalaman ini ditulis dalam weblog. Beberapa orang yang kukenal juga ternyata mengalami hal yang sama soal makanan. Misalnya Bang Andreas Harsono. Ia bercerita saat study di Nieman Fellowship on Journalism di Universitas Harvard ia merindukan es campur.

Sapariah Harsono-Mbak Arie, istrinya juga ternyata pernah mengalami hal yang sama. Ia merindukan bakwan Sungai Jawi. Weleh...weleh.

”Aduh kalau ke Pontianak sore bisa makan nasi goreng Siti Fatimah, kemudian malamnya makan nasi Melda,” kata Mbak Arie saat aku dan Nana ngobrol tentang Pontianak di apartemennya di lantai 18. ”Kalau lempok durian di kita lebih asli tak dicampur tepung ya Kim,” kata dia makin jadi dan matanya menerawang.

”Kata mas Andreas Pontianak itu kota makanan ya bang Akim. Banyak makanan disana. Kapan-kapan mau dech disana,”kata Dayu suatu waktu.

Ya...Pontianak memang kota makanan.

Malam ini pun, pukul 02.10 mulai melintas lagi jenis-jenis makanan itu. Kini yang lewat pengkang di Peniti, saos kepiting Peniti dan Batu Ampar, mie goreng Singkawang, kelapa bakar, saos dan goreng udang Jembatan Kuning Mempawah, sop tulang sapi depan keraton Amantubillah. Dan sebagainya....makin parah ini. *

[ read the rest of this entry » ]

|

Mengintip Batavia Tempo Doeloe di Museum Sejarah



Stefanus Akim

Untuk melihat bagaimana kehidupan sosial masyarakat Jakarta tempo doeloe ada baiknya jika mengunjungi museum. Ada enam buah museum yang berada dibawah pengawasan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta: Museum Monumen Nasional, Museum Nasional, Museum Sejarah Jakarta, Museum Wayang, Museum Seni Rupa Keramik dan Museum Juang.

Tempat-tempat ini menjadi saksi bisu Jakarta tempo doeloe. Bahkan dari zaman pra sejarah dan kerajaan-kerajaan tertua di Indonesia. Mulai dari kerajaan Tarumanegara di Bogor serta kerajaan Sunda-Padjajaran.

’Dipandu’ Dayu Pratiwi dari Pantau serta ditemani Rozanna Roni dari Utusan Sarawak aku berkesempatan mengunjungi museum-museum tersebut, kecuali Museum Nasional. Museum Sejarah sangat menarik. Sebab selain situs-situs dan alat yang digunakan zaman pra sejarah, artefak kerajaan-kerajaan tua di Indonesia, zaman Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur) atau VOC yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602, persenjataan, lemari dan meja raksasa peninggalan Belanda hingga miniatur angkotnya ’Si Doel Anak Betawi’. Di bagian bawah ada lima buah penjara bawah tanah untuk tempat mengurung para penjahat dan pemberontak menurut versi VOC.

Bangunan ini dulunya adalah Stadhuis atau Balai Kota Batavia. Batu pertama diletakkan oleh noni Belanda usia 8 tahun pada 25 Januari 1707. Ia memang bukan orang sembarangan, Petronella Wilhelmina van Hoorn, putri Gubernur Hindia Belanda saat itu, van Hoorn.

Jika ditilik, maka bangunan ini sudah berusia 3 abad. Meskipun demikian lantainya yang terbuat dari kayu ukuran lebar 40 sentimeter masih terlihat bersih dan kokoh. Tak ada tanda-tanda rayap yang memakannya. Begitupun dengan dinding beton yang menopangnya juga masih kokoh. Sangat berbeda dengan kebanyakan bangunan made in ’anak negeri’ saat ini. Sebulan saja habis dikerjakan sudah banyak yang retas-retas.

Museum sejarah Jakarta terletak di Kawasan Kota Tua Jakarta. Tepatnya di depan Taman Fatahillah Jakarta Kota. Untuk masuk disini kita dipungut bea Rp2.000 per orang. Kita bisa menikmati mebel antik dengan ukuran-ukuran besar yang dibuat abad 17-19. Uniknya mebel itu perpaduan gaya Eropa, Cina dan Indonesia sekaligus. Yang cukup populer adalah meriam si Jagur, dimana buntutnya berupa kepalan tangan dengan menjepit ibu jari diantara telunjuk dan jari tengah. Bangunan bertingkat dan memiliki ruang lebar ini diperkirakan seluas lebih dari 1.300 meter persegi. Konon, bangunan balaikota itu serupa dengan Istana Dam di Amsterdam, terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah tanah yang dipakai sebagai penjara.


Pemerintah Indonesia pada 30 Maret 1974, kemudian meresmikannya bangunan bergaya Barok Klasik aband ke-17 ini sebagai Museum Fatahillah.

Dilihat dari luar, bangunan ini menampakkan keangkuhannya. Gagah dan besar. Pintunya terbuat dari kayu jati dengan tinggi 3 meter dan tebal 10 sentimeter. Dicat merah, ia menjadi kokoh dan kuat. ”Ini tak tembus peluru,” komentar Nana.

Secara umum gedung ini terbagi tiga. Bagian dalam dan masuk dari depan terdapat berbagai koleksi pra sejarah, batu zaman neolitikum, peninggalan kerajaan Purnawarman, uang logam dan timbangan barang zaman portugis. Di bagian atas terdapat koleksi mebel-mebel tua. Ada lemari, cermin, lemari arsip, meja bahkan lukisan pengadilan Sulaiman atau Salomo.

Yang cukup membuat bulu kuduk merinding adalah bangunan penjara bawah tanah di bagian belakang gedung. Ada lima pintu dengan jeruji disana. Penjara tersebut berbentuk setengah lingkaran gelap dan pengap. Bahkan aroma kencing dan bau tubuh manusia yang tak mandi juga tercium. ”Bayangkan kalau dipenjara di sini. Ventilasinya hanya dari depan belum lagi kalau penghuninya banyak,” celoteh Dayu.

Membuat seram adalah bola-bola besi yang seukuran bola voli dan ada juga bagian yang kecil. Bola-bola yang tak kurang dari 100 kilogram tersebut dipinggirnya terdapat semacam cantolan-cantolan. Cantolan itu digunakan untuk mengaitkan rantai di kaki para tahanan Belanda. Jangankan diangkat, digeser saja bola besi itu tak bergeming. Siapa yang ditahan di ruang yang muat untuk 80 orang itu? Mereka adalah garong, perampok dan maling. Bahkan Gubernur Jenderal Belanda di Sri Langka, Petrus Vuyst sempat ditahan disitu karena ia gila.Lebih kejam lagi, tulis Tri Harijono di Harian Kompas terbitan 11 Juni 2001, tempat tersebut menjadi tempat tahanan 500 orang Cina. Mereka ditahan karena memberontak terhadap VOC pada tahun 1740. Setiap hari para tahanan yang kurus kering itu diberi makan bubur encer dan air tawar. Kemudian satu per satu dieksekusi dengan cara digantung di depan gedung. Sementara para pejabatnya menyaksikan dari balkon di lantai dua.

Museum Fatahillah hanyalah salah satu di antara makin langkanya bangunan tua dan bersejarah di ibu kota, yang menjadi saksi bisu masa lalu. Hanya saja jika kita ingin berkunjung mesti memperhatikan waktu. Museum ini dibuka setiap hari Selasa hingga Minggu, mulai pukul 09.00-15.00 wib. Sedangkan museum ini ditutup untuk umum setiap hari Senin dan hari besar.
Menurut literatur yang pernah aku baca, di sebelah timur pintu utama museum Fatahillah, terdapat sebuah kafe yang bernama Kafe Museum. Kafe ini merupakan sarana pelengkap dari Museum Fatahillah dengan memanfaatkan gedung tua yang berarsitektur kolonial, sehingga penataan interiornya pun disesuaikan yang dilengkapi dengan pernak-pernik yang mengingatkan kita pada masa kolonial.

Menarik dari kafe ini adalah daftar menu makanan yang bernuansa Betawi tempo doeloe yang dipengaruhi beberapa budaya, seperti Cina, Arab dan Belanda. Mulai dari portuguese steak, ong tjai ing, kwee tiaw, tuna sandwich "van zeulen", "east indies" chef's, soup "Ali Martak", sampai ikan bawal "si pitung" dan pisang goreng " Nyai Dasima" tersedia di kafe ini. Namun menurut informasi harganya sangat mahal. Jangan khawatir masih banyak jajanan yang dijajakan pedagang kaki lima yang harganya terjangkau.

Dipublikasikan Borneo Tribune, 2 Juli 2007

[ read the rest of this entry » ]

|

Publikasi

Kategori

Powered By Blogger

Total Pageviews