Sangahatn

Masyarakat adat Dayak Kanayatn mengenal tradisi bersyukur dan meminta dengan sebutan ‘nyangahatn’. Lewat tradisi yang hidup sejak dahulu kala hingga kini menjadi sarana untuk ‘berbicara’ dengan penciptanya . Ada pepatah yang selalu mereka pegang teguh, “Adat nang dinunak, dinali, dinamputn”. Adat yang ada sejak manusia ada yang diikuti dan disambung secara turun-temurun.

Nyangahatn menunjukkan perbuatan, oleh panyangahat atau orangnya sebagai bentuk ucapan syukur dan terima kasih serta permohonan kepada Jubata. Sebutan Tuhan bagi orang Dayak.

Adat, budaya dan tradisi Dayak sesungguhnya tak akan terlepas dari siklus tanam padi. Hampir semua upacara adat dilakukan dan bermula dri tanam padi.

Sejak mempersiapkan lahan untuk ditebas, sudah ada upacara adat. Biasanya secara bersama-sama masyarakat dalam sebuah kampokng ( kira-kira sebesar dusun) akan berangkat ke Panyugu. Disana seorang panyangahatn akan meminta kepada Jubata agar patahunan (proses lingkaran satu tahun padi dari mulai menebas hingga panen) bagus.















Pada upacara adat ini biasanya dipimpin oleh perangkat adat khusus menangani padi, Tuha Tahutn. Warga sekitar akan membawa parang, tangkeatn (bibit padi yang bulirnya paling bagus dan berisi yang belum dilepaskan dari tangkai), batu asah, inge (wadah pemungut padi), katam (anai-anai), dan laiinya.

Seorang panyangahatn kemudian akan membacakan mantranya mulai dari Sangahatn Bapipis (pembukaan dengan ayam masih hidup) serta Nyangahatn Masak (Ayam dan perangkat lain sudah dimasak).

Ia akan menandai setiap yang hadir dengan baras banyu. Beras dicampur dengan minyak tengkawang atau minyak kelapa yang dipercaya bisa mengobati dan melindungi. Ia juga akan mengoleskan tampukng tawar. Beras yang ditumbuk dengan kunyit di dahi mereka yang hadir.

Setelah melihat hari baik, maka warga akan mulai menebas di ladang masing-masing. Ada diantaranya yang akan balale (gotong-royong). Dalam bulan pertama hanya sedikit yang dianggap hari baik, namun pada bulan kedua mereka akan menebas atau menebang pohon (barimba’) hampir setiap hari. Pantangan itu tak boleh dilangar, sebab mereka percaya akan menimbulkan hal yang tidak baik. ‘Bujakng’, misalnya jika dilanggar maka keluarga yang bersangkutan bisa meninggal dalam usia muda. Parahnya lagi ada yang namanya ‘pati nyawa’, dimana bisa merenggut salah seorang keluarga tersebut. Sementara jika ‘kalalah idup’, maka mereka yang melanggar akan menanggung beban berat selama hidup. Misalnya saja bekerja sekuat apa pun bekerja namun hasilnya tetap nihil atau bahkan melarat.

Dari semua larangan tersebut mungkin hanya ‘kadakng’ yang biasa dilanggar oleh mereka. Sebab resikonya tak terlalu berat, hanya ladang yang bisa tak hangus terbakar jika dilanggar.

Setelah membakar ladang, kemudian menuggal. Setelah beberapa minggu kemudian ada upacara adat yang dikenal dengan ‘nyumbat lubakng tugal’. Upacara ini biasanya bersamaan dengan ‘ngarumput’ (merumput). Nyangahatn kali ini akan menggunakan sepasang ayam, beras pulut dan putih, tumpi’ (cucur), solekng (beras pulut yang dimasak dalam bambu), bontokng (beras dimasak dalam daun bemban) dan lain perangkat lainnya.


Warga kampung dilarang bersiul sebab padi dipercaya dijaga oleh ‘urakng barani’ yang dikenal dengan Kamang Muda'. Jika bersiul apa lagi panjang dan melengking maka dianggap memanggil mereka. Dalam tradisi dan kepercayaan Dayak Kanayatn ada tujuh orang kamang, Bujakng Nyangko Samabue, Kamang Muda Santulangan, Sarukng Sampuro, Sansa Lalu Samarawe, Bujang Gila Palepak, Nyaro Nyantakng Pajamuratn dan Bensei Sampayangan. Jika perang suku, biasanya mereka dipanggil untuk membantu. Sebab asal-usul urakng barani bersaudara dengan manusia.

Masih serangkian dengan nyumbat lubakng padi adalah balala’ atau pantangan. Warga dilarang ngalayui’ atau membuat tanaman layu. Termasuklah dilarang mematahkan daun, dilarang membunuh hewan, masuk atau keluar dari kampung bersangkutan, dilarang berteriak, dilarang bersiul dan membatasi berkeliaran di sekitar kampung.

Jika melanggar maka yang bersangkutan akan dikenai denda adat sebab sudah ‘ngarumpakng lala’ atau menerobos larangan dan pantangan. Bisanya Tuha Tahutn akan menyarankan yang bersangkutan makan sirih. Air sirih kemudian dioleskan di kening warga sekampung. Meskipun biayanya tidak besar, namun bisanya yang melanggar lala’ lebih memilih membeli ayam dan menyiapkan perangkat adat lainnya. Sebab darah ampa’ atau air sirih sama dengan darah yang bersangkutan yang diberikan kepada warga sekampung.

Lamanya balala’ tergantung berat tidaknya penyakit padi. Jika hama tikus atau yang lain begitu mewabah maka bisa tiga hari. Jika bisa-biasa saja maka cukup tiga hari yang dimulai sejak matahari terbit dan berakhir dengan matahari terbenam.

Upacara nyangahatn kembali akan dilakukan oleh warga kampung setelah usai panen sebagai bentuk ucapan syukur atas keberhasilan panen. Upacara kali ini agak besar dan dikenal dengan ‘makatn nasi baharu’. Makan nasi yang baru dipanen. Ada juga yang menyebutnya baroah. Upacara inilah yang kemudian menjadi cikal bakal naik dango.

Ada sedikit perbedaan antara antara Dayak Kanayatn yang berasal dari adat Karimawakng asal Mempawah atau Bangkule Rajakng dengan Adat Talaga yang berasal Pahauman. Jika Karimawatn nyangahatn malam dan makan juga malam hari, maka Talaga bisanya pada pagi hingga siang hari.

“Asak, dua, talu, empat, lima, anam, tujuh...oh kita’ Jubata yang badiapm kak aik dalam tanah tingi, puhutn ayak, puhutn tingi. Kita’ karamat ai’ tanah nang mampu nunu ai’ sakayu, nyambong sengat. Kami bapinta kami bapadah, ame babadi kak kami talino manunsia”. Yang artinya satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuk...Jubata yang menguasai di air dalam, tanah tinggi, pohon kayu besar, pohon kayu tinggi. Penguasa air dan bumi yang mampu membakar air satu sungai, menyambung nyawa. Kami meminta dan mengabarkan, jangan memberikan wabah kepada manusia.*

Saturday, May 5, 2007 |

0 komentar:

Kategori

Powered By Blogger

Total Pageviews