PEN CANTIK
Untuk memacu semangat menulis para peserta, Stefanus Akim membagikan hadiah berupa pen cantik dari FLEGT bagi siswa yang berbakat. Program ini adalah salah satu upaya meningkatkan dan menyadarkan siswa pentingnya tradisi tulisan. FOTO A. Alexander Mering/Borneo Tribune
Oleh: Maningsih
Sekitar 30 siswa-siswi SMA Budi Utomo akhir pekan kemarin mengikuti pengenalan dan pelatihan jurnalistik dasar yang diselenggarakan Borneo Tribune melalui Tribune institute bekerja sama dengan sekolah tersebut.
“SMA Budi Utomo memang melatih anak didiknya untuk menjadi siswa-siswi yang berpengetahuan luas agar kelak bisa menjadi bekal mereka di masyarakat,” kata Kepala Sekolah Budi Utomo, Yatie Nurhayati Rukmini Fatoni, SH, saat ditemui usai kegiatan tersebut.
Di mana menurutnya, di sekolah yang dikelolanya tersebut, memang ada kegiatan ekstra yang diselenggarakan bagi pengembangan diri anak. Di antaranya adalah kegiatan olahraga dan seni. Dengan bekerja sama dengan Tribune Institute yang bergerak di bidang pendidikan jurnalistik kata Yatie tentu akan menambah keragaman materi dan pengetahuan bagi anak didiknya.
Dia berterima kasih sekali karena Tribune Institute telah dengan sukarela membagikan pengetahuan di bidang jurnalistik, tulis menulis serta memotivasi anak didiknya untuk menulis dan menulis hingga menjadi suatu kebiasaan bahkan kebudayaan positif.
“Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan, berusaha memberikan yang terbaik kepada siswa,” tandas Yatie.
Stefanus Akim, salah seorang instruktur dari Tribune Institute yang juga Redaktur di Borneo Tribune pada penutupan acara tersebut mengatakan bahwa banyak sekali keuntungan menulis.
Antara lain, melatih kemampuan verbal siswa dalam berbahasa. Kemudian menyelamatkan sejarah, yang tak akan pernah mungkin terulang lagi. ”Dengan menuliskannya, maka generasi yang akan datang akan dapat memetik pelajaran dari peristiwa yang dituliskan hari ini,” kata dia.
Namun menurut Akim yang terutama ingin disampaikan oleh para tutor dari Tribune Institute melalui program ini adalah agar siswa yang cuma terbiasa dengan tradisi lisan ke tradisi tulisan.
Dari beberapa karya tulis bebas yang dikumpulkan peserta dari sejumlah sekolah yang melakukan kegiatan serupa di Pontianak dan sekitarnya, kentara sekali bahwa kemampuan menulis siswa SMA kita sangat jauh tertinggal dari sekolah-sekolah di pulau Jawa. “Apalagi jika dibandingkan dengan negara lain,” kata Mering, koordinator kegiatan dari Tribune Institute. Menurutnya ini biasanya berbanding lurus dengan daya membaca siswa yang kurang. Dari pengalamannya mengikuti Kembara Bahasa ke sejumlah sekolah di Malaysia beberapa waktu lalu, setiap siswa di Malaysia minimal membaca 2-3 buku dalam seminggu. Ini tidak termasuk buku pelajaran yang sudah menjadi kewajiban. Dia juga mengutip sebuah situs di internet, www.rumahdunia.net, yang menyebutkan kalau orang Indonesia lebih banyak menghabiskan uangnya untuk membeli rokok dari pada membeli koran.
Gejala lainnya kata Mering adalah sangat sedikit siswa yang menerapkan bahasa Indonesia ala EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) dalam mengerjakan tugas menulisnya.
“Hampir semuanya menggunakan bahasa TV, prokem, bahasa sinetron, lo…lo...gua…gua…. apa Bahasa Indonesia tak dianggap keren ya?” paparnya. Dia melihat gejala ini terjadi hampir di setiap sekolah. Sambil berseloroh, Mering mengatakan hal tersebut mungkin karena sejak anak-anak, remaja kita lebih banyak nongkrong di depan TV ketimbang ngobrol dengan guru Bahasa Indonesianya di Sekolah. Sebab jika melihat kurikulum pendidikan di Indonesia, sejak TK hingga bangku kuliah, remaja Indonesia sudah dijejali bahasa Indonesianya. Karenanya adalah sesuatu yang aneh jika kemudian banyak generasi muda yang bahasa Indonesianya berlepotan.
Pada sesi terakhir Diklat yang dilaksanakan dari 26-27 Oktober 2007 kemarin, Tribune juga menghadirkan salah seorang Redakturnya, Safitri Rahyuni yang baru saja kembali dari Australia untuk intensif program, pelatihan economic reporting. Fitri berbagi pengalaman dengan para peserta seputar dunia jurnalistik yang ditekuninya. Para peserta menjadi bertambah semangat ketika di akhir acara, Mering membagi-bagikan hadiah berupa pen cantik dari Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT), bagi yang tulisannya dianggap bagus. PLEGT adalah lembaga yang merupakan hasil kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Uni Eropa yang bergerak di bidang lingkungan, khususnya kehutanan. Di Kalbar, lembaga ini secara aktif mengkampanyekan upaya pemberantasan Illegal logging dan mengawal kasus-kasus terkait. Dalam sejumlah program pelatihan serupa dari sekolah ke sekolah yang dilakukan Borneo Tribune, FLEGT selalu memberikan support kepada Tribune Institute.*
Dari Tradisi Lisan ke Tulisan
Ingin Pensiun dengan Tenang
Oleh: Stefanus Akim
Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah, Brigadir Jenderal (Pol) Drs. Dinar, SH, MBA, tak memiliki mimpi yang muluk-muluk. Di sisa pengabdiannya yang masih lima tahun lagi di lembaga yudikatif tersebut, ia ingin pensiun dengan tenang.
Keinginannya tersebut bahkan disampaikannya langsung kepada sejumlah pemuka dan tokoh masyarakat Dayak serta pengurus Dewan Adat Dayak Kalbar di Resto Gajahmada di Jalan Gajahmada Pontianak, Minggu (28/10). Menurut Dinar, temu kangen tersebut sebagai ajang silaturahmi dengan sejumlah tokoh masyarakat Dayak di Kalbar.
“Keinginan saya tak muluk-muluk, dalam sisa pengabdian yang sekitar lima tahun lagi ini saya ingin pensiun dengan tanpa cacat. Saya ingin pensiun dengan tenang,” tekad Dinar dengan pengeras suara dan suaranya membahana memenuhi ruangan yang dipenuhi para undangan.
Kedatangan Dinar ke Pontianak dalam silaturahmi sekaligus mengunjungi kampung halamanya di Desa Anik, Kecamatan Darit Kabupaten Landak.
Ia melihat selama ini satu kelamahan yang terjadi umum di masyarakat Dayak, baik di Kalteng maupun di Kalbar. ”Kita masih kurang pengkaderan. Mereka yang muda-muda sebaiknya diarahkan sesuai dengan pilihan masing-masing,” kata alumni SMA 1 Pontianak tersebut.
Dinar sendiri sudah 30 tahun meniti karier sebagai polisi. Ia mengaku baru sekarang bisa bertemu dengan abang, kakak dan para senior di Pontianak. Dinar menegaskan acara tersebut tidak ada maksud apa-apa, hanya silaturahmi dan temu kangen saja dengan para senior.
Ia juga adalah salah satu tokoh yang memikirkan kesenian Dayak meskipun tinggal di rantau. “Saya mencoba membuat album lagu Dayak yaitu jonggan saat masih bertugas di Padang. Sebab saya lihat lagu daerah mereka menjadi tuan di negeri sendiri, sementara kita tidak,” tuturnya.
Maka dengan segala daya upaya perwira tinggi yang salah satu putranya mengikuti jejaknya ini kemudian membuat rekaman. ”Penyanyinya istri saya,” kata dia sembari menunjuk istrinya, Dominika Gemar.
”Tapi dia hanya penyanyi dadakan,” sambungnya yang mendapat tepuk-tangan hadirin. Termasuk diantaranya Rahmad Sahudin BA, Prof Alamsyah HB, Drs Mashardy SM Kaphat dan lainnya.
Upayanya tak sia-sia, sebab untuk lagu Jonggan sampai pada vol 6. Kini, kerja keras yang dirintisnya diikuti generasi yang lebih muda. Diantaranya Alfino. ”Saya senang,” kata dia.
Sebelumnya Ketua DAD Kalbar, Tadeus Yus SH MPA, yang memberikan kata sambutan mengaku sangat bangga dengan satu-satunya Kapolda yang berasal dari keluarga besar Dayak tersebut.
”Pertemuan ini murni keinginan pak Dinar. Beliau kontak kepada saya dan mengatakan keinginannya untuk bertemu tetua Dayak di Kalbar dan saya fasilitasi,” ujar dosen Fakultas Hukum Untan yang menyelesaikan S-2 di USA tersebut.
Sejumlah tokoh yang hadir sangat ‘appreciated’ dengan kehadiran Dinar yang menyisihkan waktunya yang sangat padat.
“Tekad beliau sangat mulia,” kata Irfan Sabandap, tokoh muda Dayak.
“Ada benarnya jika pengkaderan kita masih lemah. Statemen beliau mesti menjadi renungan bersama dan harus segera dilakukan,” timpal Makarius Sintong SH MH, mantan politisi Partai Demokrasi Indonesia.□
Ah…Minggu yang Melelahkan Sudah Lewat
Minggu kemarin rasanya menjadi hari-hari yang cukup berat. Dari delapan redaktur dua diantaranya, Nur Iskandar (Pimred) dan Tanto Yakobus berangkat ke kawasan timur untuk urusan pengembangan biro Borneo Tribune. Sementara Safitri Rayuni, masih di Australia pelatihan jurnalistik ekonomi. Jadi tinggal lah aku, A.A. Mering, Muhlis Suhaeri, Yusriadi dan Kabag Iklan, Hairul Mikrad yang mengelola koran.
Sementara wartawan juga berkurang karena harus menjadi kepala biro. Dari 10 wartawan empat menjadi kepala biro. Endang Kusmiyadi di Sintang, Arthur Oktavianus di Landak, Herkulanus Agus di Sanggau dan Yulan Mirza di Kapuas Hulu. Sementara beberapa bulan sebelumnya Mujidi di Kota Singkawang dan Johan Wahyudi di Mempawah, Kabupaten Pontianak.
Alhasil tinggal tujuh wartawan dan empat redaktur yang harus mengelola 24 halaman. Para wartawan itu adalah Hanoto (teknologi), Maningsih (pendidikan menggantikan pos Herkulanus Agus), Maulisa (Filantropi dan Ekonomi menggantikan Endang K), Agus Wahyuni (Humaniora/Kriminal menggantikan Yulan Mirza), Budi Rahman (Politik/Pemerintahan), Andre (Politik/Pemerintahan) serta Aulia Marti (Politik/Pemerintahan/Kota).
Uh....berat juga mengelola 24 halaman. Belum lagi dengan jumlah wartawan yang masih minim. Sementara penerimaan belum bisa diseleksi dan ditest masih menumpuk di meja pak Nuris.
Di sela-sela rutinitas keredaksian tersebut kami juga masih ada sejumlah pekerjaan ’sampingan’ yang harus dilakukan yaitu ’mengajar’ jurnalistik di sekolah-sekolah. Misalnya selama dua hari, 25-26 aku dan Mering memberikan materi di SMA Boedi Oetomo Jalan Paris 2. Minggu sebelumnya tim kami mengunjungi di SMA dan SMK Immanuel, SMA St Paulus dan SMA Islamiyah.
Tujuan kami yang tergabung dalam Tribune Institute – sebuah lembaga otonom di Borneo Tribune – untuk memperkenalkan dunia jurnalistik lebih dini kepada masyarakat. Harapannya, tidak lagi ada salah tafsir terhadap profesi ini.
Kembali ke rutinitas keredaksian, dalam situasi ini tentu saja kami semua pontang-panting. Tapi mau apa lagi, sebab ini lah komitmen kami dari awal. Memberikan pelayanan terbaik kepada pembaca Borneo Tribune, meskipun itu mungkin belum maksimal kami lakukan. Namun waktu lah yang akan menjawabnya.
Ah...jika diingat cukup melelahkan. Namun ada keasikan yang tak bisa dilukiskan dan tidak setiap saat bisa merasakannya.
Kini, kami sudah berkumpul kembali dengan kekuatan penuh. Masing-masing dengan tugas, rutinitas dan desk-nya masing-masing. Pak Hairul Mikrad bahkan sudah full time di marketing. Bagian ini lah yang mencarikan kami semua amunisi. Bisa dibayangkan, meskipun kami memiliki produk redaksi yang bagus misalnya namun tanpa didukung marketing yang bagus juga maka akan sia-sia. Appreciated untuk bung Dek!
Sejumlah kisah manis juga terjadi minggu ini. Buku Jejak Pemuda Emas, hasil karya Yaser Syaifudin dan kawan-kawan yang didukung salah satunya oleh Borneo Tribune tadi malam juga dilaunching. Kegiatan yang digelar di Pontianak Convention Centre dirangkaikan dengan peringatan hari Sumpah Pemuda. Setelah ini sejumlah PR dan rencana telah menanti kami. Tentu saja kami senang melaksanakannya.
Ah...minggu yang terlalu manis jika dilupakan begitu saja...Meskipun kemarin sore tagihan dari Bank Bukopin dengan sederet angka diantarkan ke rumahku. Isinya apa lagi kalau bukan segera membayar tunggakan kredit rumah. ”Tuhan, semuanya kuserahkan kepada-Mu. Terjadilah seturut kehendak-Mu.”□
Mengupas Kehidupan Seorang Penjagal
Oleh: Stefanus Akim
Selama ini sudah cukup banyak ‘media’ yang mengetengahkan In Cold Bold di tengah-tengah kita dengan versi beragam. Salah satunya lewat film, baik itu In Famous (2006) maupun Capote (2005). Sudut pandang ceritanya pun beragama, mulai dari kehidupan Capote yang melahirkan karya fenomenal yang menggegerkan Amerika hingga proses reportase yang dilakukan oleh jurnalis gay itu.
Karya novel non fiksi ini awalnya terbit dalam bentuk bahasa Inggris tahun 1966. Cerita kriminal yang menewaskan satu keluarga (empat orang) ini bahkan mengilhami orang untuk membuat filmnya.
Kini, cerita menarik yang menurut Tom Wolfe menjadi salah satu pelopor new journalism (jurnalisme baru) tersebut terbit dalam versi bahasa Indonesia. Adalah penerbit Bentang Pustaka, Yogyakarta yang menerbitkan buku ini untuk Anda dengan judul yang sama seperti aslinya: In Cold Blood. Cetakan pertama pada September 2007, dengan tebal 476 halaman, ukuran buku 13×20.5 senti dan diterjemahkan Santi Indra Astuti.
In Cold Blood yang diterjemahkan dari judul aslinya: In Cold Blood: A True Account of a Multiple Murder and Its Consequences, tak sekadar mengisahkan pembunuhan empat keluarga petani di Holcomb, Kansas. Namun ada sentuhan-sentuhan emosional yang membuat kita digiring untuk tak segera meletakkan buku ini sebelum melahap halaman demi halaman. Ada pula “sengatan-sengatan” kecil yang membuat kita selalu terkejut. Sungguh sebuah kisah bisa yang ditulis dengan gaya luar biasa.
Intrik, motivasi pembunuhan, alur cerita, dan gaya bahasa Capote akan mengikat kita terus-menerus. Bahkan meskipun tebalnya mencapai 476 halaman, kita akan menikmati untuk membacanya.
In Cold Blood sesungguhnya kejadian kriminal nyata (non fiksi) yang benar-benar terjadi, namun kita akan membacanya seperti novel non fiksi. Semuanya mengalir dan penuh dengan detail. Baca misalnya pada paragraph pembuka (hal 2): ”Holcomb terletak di dataran tinggi Kansas Barat, sebuah kawasan sepi yang disebut penduduk Kansas yang lain ”nun jauh di sana”. Sekitar tujuh puluh mil di timur perbatasan Colorado, di pedesaan, dengan langit biru tua dan udara padang pasir yang cerah, beratmosfer lebih menyerupai Far West daripada Middle West. Aksen lokal dihiasi dengan sengau peternakan ala gurun pasir, dan para prianya, banyak diantara mereka yang memakai celana pendek berujung ketat, topi Stetson, dan sepatu bot berhak tinggi dengan ujung tajam...”
In Cold Blood sendiri mengisahkan pembunuhan terhadap keluarga petani kaya secara sadis di Holcomb, Kansas. Mereka adalah Herb Clutter dan istrinya Bonnie serta kedua anak remaja mereka Nancy dan Kenyon.
Pembunuhan ini terang saja menggegerkan warga di kawasan pertanian yang aman, tenang dan damai itu. Holcomb, adalah kawasan yang dihuni 270 orang saja. Mereka umumnya petani yang kaya, salah satunya keluarga Herb Clutter. Para pemilik pertanian dan peternakan itu terdiri dari ras yang beragam. Ada Jerman, Irlandia, Norwegia, Meksiko dan Jepang dan lainnya.
Warganya sudah puas dengan kehidupan sehari-hari. Bekerja, berburu, menonton televisi, menghadiri pertemuan sekolah, latihan koor dan tentu saja saling sapa akrab.
Hingga akhirnya terjadi hal luar biasa. Dimana sekeluarga petani kaya tewas dibunuh pada pertengahan November 1959.
Capote, membuat detail masing-masing tokoh dalam cerita ini. Baik keempat keluarga itu, maupun dua orang pembunuhnya Perry Smith dan Richard ”Dick” Hickock.
Dikisahkan, Dick Hickock dan Perry Smith adalah dua orang yang masing-masing tidak berguna, namun akhirnya mereka bersama menjadi penjahat yang kejam. Aksi keduanya yang terjadi tahun 1959 mengakibatkan empat tubuh ditemukan berlumuran darah di sebuah kamar.
Bagi wartawan, buku ini sesungguhnya sangat menarik untuk belajar menulis lebih serius dan mendalam. Ia akan menjadi pelajaran berharga. Namun tak kalah berharganya bagi profesi lain. Buku ini dituliskan adegan demi adegan, reportase yang menyeluruh, menggunakan sudut pandang orang ketiga dan adegan yang detail.
Dibutuhkan waktu enam tahun bagi Capote untuk menuliskannya. Sebuah kerja keras yang wajar jika mendapatkan apresiasi luar biasa dari para pembaca. Modern Library pada April 1996 menobatkannya sebagai salah satu buku terbaik sepanjang abad. Buku ini disebut-sebut sebagai sebuah kajian lengkap dan emosional mengenai benak para penjahat.
Ia dengan leluasa masuk dalam alur pikiran kedua pelaku dan mewawancarai keduanya. Tak hanya saat introgasi di kantor polisi, pada proses pengadilan hingga eksekusi mati di tiang gantungan pun Capote hadir dan menghadirkannya untuk kita.
Namun seperti buku terjemahan umumnya, In Cold Blood tentu saja memiliki sejumlah kelemahan. Ini bisa saja disebabkan karena perbedaan bahasa atau idiom yang terkadang tak ada padanannya dari bahasa aslinya (Inggris) ke bahasa Indonesia. Meskipun demikian, terjemahan tak merusak secara keseluruhan isi buku. Bahkan buku ini secara utuh sangat menarik untuk dibaca. Jadi, sudahkan Anda mengoleksinya?
*Edisi Cetak Borneo Tribune 28 Oktober 2007
Data Buku
Judul buku : In Cold Blood
Penulis : Truman Capote
Penerbit : Bentang Pustaka, Cet 1 September 2007
Halaman : viii+476
Ukuran : 13×20.5 cm
Penerjemah : Santi Indra Astuti
Peresensi : Stefanus Akim
Perempuan yang Menanti Sepotong Keadilan
Oleh: Stefanus Akim
Wajah Mr binti Abd kusut. Kedua belah pipinya basah dibelah air mata yang menetes dari kedua kelopak matanya.
“Saya hanya ingin pelaku dihukum berat bang. Tidak lebih dari itu. Saya ingin keadilan dan hukum berpihak kepada saya,” kata dia.
Saat mengucapkan kata-kata itu, suara Mr binti Abd bergetar. Meskipun tak keras, namun suaranya yang lembut terdengar tegas. Mr yang tinggal di Dusun 3 Desa Sungai Rengas adalah korban pencabulan oleh Sy (40). Seorang laki-laki beranak tiga yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Sy juga masih tergolong keluarga jauh Mr. Sy menikahi bibi sepupu, Mr. Jadilah mereka keluarga, tak ubahnya hubungan antara anak dan ayah. Bahkan saat pernikahan itu terjadi, Mr masih bayi.
Kejadian yang menghancurkan masa depannya itu terjadi sekitar akhir Juni 2007. Saat itu Mr berencana berangkat bekerja ke Malaysia sebagai Tenaga Kerja Wanita di sebuah perusahaan plywood di bilangan Menawan.
Tak disangka datanglah Sy ke rumah. Ia menawari Mr untuk memberikan jampi-jampi dan disuruhnya datang ke rumah. “Untuk jaga-jagalah di negeri orang,” kata Mr menyitir perkataan Sy saat itu.
Karena memang kenal dan tergolong keluarga, Mr menurut saja saat disuruh datang ke rumah. Selama ini Sy yang sehari-hari bekerja sebagai petani dan nyambi mencari tunjar (pancang) kacang panjang memang dikenal sebagai seorang dukun di kampungnya.
Saat itulah, menurut pengakuan, Mr, Sy tersangka yang kini diamankan di Kantor Polisi Sektor Sungai Kakap melakukan aksi bejatnya. ”Ia memberi saya air minum yang sudah dijampi-jampi. Setelah itu saya menurut saja apa yang diperintahkannya,” ujarnya sambil menyeka air matanya dengan ujung sweater cokelat yang digunakannya.
Sesaat setelah minum air jampi-jampi itulah hubungan suami-istri yang tak seharusnya terjadi, justru dilakukan oleh Sy. Kejadian sekitar pukul 20.00 itu menyebabkan Mr kini hamil 17 minggu. Kehamilan itu juga sudah dibuktikan dengan hasil visum et repertum yang dilakukan Dikdokes Polda Kalbar satu hari setelah ia yang didampingi keluarganya melapor ke Polsek Sungai Kakap pada 4 Oktober 2007 lalu.
Setelah kejadian tersebut, wanita yang 12 April 2007 lalu genap berusia 20 tahun berangkat ke Malaysia. Ia bekerja sebagaimana dalam kontrak yang ditandatanganinya. Namun, tiga bulan kemudian pihak manajemen tempat ia bekerja mengetahui Mr hamil. Itu setelah ia muntah-muntah dan dilakukan pemeriksaan di negeri jiran.
Mr akhirnya dikembalikan di kampung halamannya. Keluarga tentu saja terkejut setelah mendengar penuturannya. Tak tunggu lama, keluarga pun melapor ke polisi.
”Kamek (saya) hanye ingin die dihukom seberat-beratnya jak. Tak lebeh dari itu. Soalnya die dan buat idop saye jadi beginik,” lanjut Mr yang didampingi kakaknya, Herlina (20).
Pihak keluarga menginginkan agar aparat polisi segera melimpahkan tersangka ke kejaksaan. Selanjutnya dihukum seberat-beratnya sesuai aturan hukum yang berlaku. ”Keluarga kamek mau die (Sy) dihukum seberat-beratnya. Sebab kalau tadak maka akan banyak lagi korban. Kamek minta pak polisi segera memproses kasus ini,” tegas Herlina.
Saya bertemu dengan Mr binti Abd secara tak sengaja. Ia diantarkan abang iparnya ke rumah saya. Rupanya setelah pihak keluarga merasa polisi terlalu lama mengurus kasus ini, jalan satu-satunya minta bantuan wartawan untuk menuliskannya ke koran. Kebetulan abang ipar Mr, masih keluarga dengan adik ipar saya. ”Kami ingin kasus ini cepat selesai. Kalau mau main duit, kemana nak dapat duit. Untuk makan sehari-hari jak pas-pasan,” tutur Adi, kakak ipar Mr dalam logat Melayu.
Jika tersangka sudah dihukum, barulah pihak keluarga merasa tenang.
”Kalau dah diukom, kite mikirkan bagaimana lagi ke depannya. Misalnya kite carikkan jodoh kan tak mungkin dibiarkan begini jak, beranak tak ade laki,” kata Adi sembari milirik Mr.
Mr hanya tertunduk. Ia sepertinya setuju saja dengan rencana keluarga. ”Bagaimana, sekarang kerja apa,” tanyaku.
”Ndak lagi lah bang, di rumah jak. Malu saye, nak disimpan kemane muke saye nih,” kata dia kembali dengan wajah murung.□
Cerita Anak Melayu di Pulau Timah
Oleh: Stefanus Akim
Andrea Hirata, sebelumnya tak pernah terpikir untuk memublikasikan novelnya yang berjudul Laskar Pelangi. Namun siapa sangka, ternyata setelah diterbitkan banyak mendapatkan sambutan publik dan menginspiraskan.
Bahkan, Kick Andy, sebuah acara di Metro TV yang dipandu pimpinan redaksi Media Indonesia, Andy F. Noya menanyangkannya dua kali. Pertama pada Kamis, 4 Oktober 2007 pukul 22.05-23.00 dan hari Minggu, 7 Oktober 2007 pukul 15.05-16.00. Tim Kick Andy kemudian mengunjungi SD dan kampung di Pulau Belitong, Sumatera untuk bertemu para tokoh dalam cerita tersebut. Kick Andy berhasil mempertemukan Andrea dengan Ibu Guru Muslimah, guru SD Muhammadiyah di studio Metro TV. Buku ini memang dipersembahkan Andrea untuk ibu Muslimah yang tak kenal lelah mengajar anak-anak miskin itu. Bahkan dari sekolah itulah kelak menghantarkan Andrea sekolah hingga ke Sorbonne, Prancis.
Andrea mengaku novel itu awalnya hanya merupakan catatan kenangannya terhadap masa kecilnya di Belitong. Ia selalu teringat sahabat-sahabatnya di masa kecil, terutama Lintang. Lintang merupakan murid yang cerdas dan penuh semangat walau hidup dalam kemiskinan. Setiap hari ia harus mengayuh sepeda tua yang sering putus rantainya ke sekolah. Pulang pergi sejauh 80 km. Bahkan harus melewati sungai yang banyak buayanya. Sayangnya Lintang yang anak nelayan itu akhirnya putus sekolah, bahkan ia tak tamat SMP karena kondisi ayahnya yang miskin.
Buku ini juga menginspirasi sejumlah orang untuk bertobat dan berbuat lebih baik. Sisca mengaku terdorong untuk memperbaiki hubungannya dengan sang ayah yang selama ini rusak. Itu setelah ia membaca novel ini.
Sementara Windarti Kosasih, seorang ibu di Bandung mengungkapkan anaknya kini bertobat dan keluar dari jerat narkoba. Dalam suratnya yang dikirimkan ke Kick Andy, Windarti minta agar kisah tersebut diangkat di Kick Andy. ”Kini Niko berhasil berhenti sebagai pecandu narkoba setelah membaca buku Laskar Pelangi,” kata dia.
Buku ini bercerita tentang kisah nyata 10 anak kampung di Pulau Belitong, Sumatera. Mereka bersekolah di sebuah SD yang bangunannya nyaris roboh dan kalau malam jadi kandang ternak. Sekolah itu nyaris ditutup karena muridnya tidak sampai sepuluh sebagai persyaratan minimal.
Pada hari pendaftaran murid baru, kepala sekolah dan ibu guru satu-satunya yang mengajar di SD itu tegang. Sebab sampai siang jumlah murid baru sembilan. Kepala sekolah bahkan sudah menyiapkan naskah pidato penutupan SD tersebut. Namun pada saat kritis, seorang ibu mendaftarkan anaknya yang mengalami keterbelakangan mental. semangat anak-anak kampung miskin itu belajar dalam segala keterbatasan. Mereka bersekolah tanpa alas kaki, baju tanpa kancing, atap sekolah yang bocor jika hujan, dan papan tulis yang berlubang hingga terpaksa ditambal dengan poster Rhoma Irama.
Sekolah itu adalah SD dan SMP Muhammadiyah. Sebuah sekolah miskin yang kekurangan guru. Hanya 2 orang guru yang mengajar di sana dengan penuh dedikasi, kasih sayang, dan kelembutan, yaitu bapak Harfan (kepala sekolah) dan Ibu Mus. Sebagian besar murid SD Muhammadiyah bersekolah mengenakan sandal. Mereka bahkan tidak mengenakan seragam.
Kemelaratan mewarnai kehidupan Laskar Pelangi. Sebagian besar orang tua mereka adalah buruh PN Timah, selain nelayan (orang tua si genius Lintang) dan orang Tionghoa kebun (orang tua A Kiong).
Tak jauh dari kehidupan nyata Laskar Pelangi ada kehidupan yang kontras yakni kawasan Gedong. Ini adalah kompleks perumahan para staf PN. Timah yang sudah dibangun sejak zaman Belanda. Kawasan Gedong merupakan tempat orang-orang mampu. Perumahan itu berdiri tembok tinggi di sekelilingnya dan satu gerbang masuk dan keluar. Gedong memiliki sekolah sendiri khusus untuk anak-anak yang menghuni kawasan tersebut yang tentu saja lebih wah.
Laskar Pelangi sesungguhnya mewakili kondisi anak-anak kampung umumnya di Indonesia. Termasuk di pedalaman Kalbar.
Saya sendiri yang membuat rilis buku ini di weblog: http://pencintabuku.wordpress.com mendapatkan banyak tanggapan. Setidaknya ada lima tanggapan dan responnya positif dari pembaca di dunia maya.
”Cerita semacam inilah yang sangat kita perlukan untuk memacu semangat atau menyadarkan anak-anak kita akan tanggung jawabnya terhadap masa depan dirinya sendiri, kampung halamannya, bangsa dan negaranya. Jangan seperti yang banyak ditayangkan televisi-televisi kita sekarang ini, yang ceritanya selalu tentang percintaan/pacaran anak-anak SMP bahkan SD,” komentar C.Suprantono, pada 5 Oktober 2007.
Sementara Iril, pada 8 Oktober 2007 mengomentari, ”baguss. mau dong buku nya, gimana?.
“novel ini sngat mnarik.krna mnceritakan tentang prjuangan seorang murid yg brsemangat sekolah, wlaupun mereka mmpunyai masalah dalam ketrbatasan biaya skolah dan mereka bnyak mngalami msalah dalam bersekolah tetapi mreka tetap bersemangat untuk belajar,wlaupun murid tersebut belajar dalam minimnya fasilitas belajar yang tdak seperti dngan fasilitas skolah lainnya.dri snilah kta hrus mnsyukuri hdup ini,krna bxk org yg ingin brsekolah tetapi mreka kkurangan biaya.mka dri snilah mreka smua hrus dibantu,siapa tahu salah satu dari mereka adalah seorang pemimpin yang bisa memimpin bangsa indonesia ini kdepan jauh lebih baik dari pada yang sekarang (amieeeen).TOLONG BISA TIDAK AKU MINTA BUKUNYA LASKAR PELANGI????. Komentar Aswar Asnawi pada 9 Oktober 2007.
Teman saya, wartawan Majalah Swa, Asep Mohammad BS, berkomentar, “Laskar Pelangi” memang novel yang indah dari sebuah kisah nyata yang indah. Unsur indah lainnya yang ditampilkan dalam novel tersebut, seperti komentarnya “filsuf” Gde Prama dalam acara “Kick Andy”, adalah “CINTA”. Cinta seorang murid (Andrea) terhadap gurunya, dan cinta seorang Andrea kepada teman-temannya. Terutama Lintang (yang malang). Huuh..novel yang indah dan penuh cinta! Kata Asep, pada 9 Oktober 2007.
Kehidupan para siswa itu memang seperti pelangi, berwarna-warni. Bahkan hingga mereka dewasa pun, kehidupan itu semakin berwarna-warni. Jadi, sudahkan Anda membacanya?*
Data Buku:
Judul Buku: Laskar Pelangi
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : PT. Bentang Pustaka
Cetakan : Keenam Februari 2007 (pertama September 2005)
Peresensi : Stefanus Akim
*Edisi Cetak Borneo Tribune 21 Oktober 2007
Bulan Bahasa, SMA Santo Paulus Pontianak Gelar Diklat Jurnalistik
Oleh: Herkulanus Agus
Niat SMA Santo Paulus Pontianak untuk membimbing siswanya meraih prestasi dalam semua bidang bukan hanya semboyan. Terbukti bulan bahasa Oktober ini tidak disia-siakan. Kreativitas mereka munculkan lewat Pendidikan Kilat (Diklat) Jurnalistik yang merupakan kerja sama dengan harian Borneo Tribune. Kegiatan tersebut dilaksanakan selama 3 hari, yaitu 18, 19 dan 20 Oktober 2007.
“Kita berharap acara ini bisa memberikan bekal bagi siswa-siswi, khususnya yang ikut ekstra Varia,” ungkap Kepala SMA Santo Paulus Pontianak Drs. Raden Yusepha ketika membuka kegiatan secara resmi di ruang perpustakaan SMA Santo Paulus, Kamis (18/10) kemarin.
Ia berharap dengan dilaksanakan Diklat jurnalistik bisa membuka wacana berpikir siswa, khususnya redaksi majalah varia. Sebab beberapa tahun terakhir media tersebut sempat vakum.
“Baru beberapa bulan kemarin Varia beroperasi kembali, sehingga perlu terus dihidupkan dengan motivasi,” terangnya.
Kegiatan Diklat Jurnalistik mendapat tanggapan positif dari para pemateri hari pertama. Muklis Suhaeri, Tanto Yakobus, Stefanus Akim dan Herkulanus Agus.
Menurut Stefanus Akim yang memberikan materi jurnalistik dasar. Cukup banyak tahapan yang mesti dilalui dan perlu dipahami dari para calon reporter terutama dari teori. Akim panggilan akrabnya menyampaikan apa arti jurnalistik, bagaimana cara bekerja jurnalistik, teori dasar jurnaliastik, 5 W + I H, hingga contoh-contoh lead. Teori yang disampaikan melalui proyektor tidak menyita waktu lama. Sebab siswa diberikan kesempatan yang luas untuk bertanya mengulas tentang dunia wartawan. Pola mendidik orang dewasa diterapkan saat itu. Bagi yang ingin tahu banyak tentang jurnalistik tentu berusaha menggali lewat pertanyaan.
Misalnya Diana Wong yang meminta tanggapan tentang minimnya orang tertarik menjadi wartawan. Mahesa Romulo yang berpandangan tugas jurnalistik suka mencampuri orang lain. Niko tentang tugas peliputan di medan perang dan resikonya. Hilaria tingkatan dan jenjang wartawan. Meliani dan Lidia tentang kesan dan pengalaman selama menjadi wartawan serta Ida S motivasi menjadi wartawan.
Dengan dibukanya dialog, siswa-siswi lebih tertarik menyampaikan pandangannya terhadap dunia jurnalistik yang mereka lihat. Dunia jurnalistik yang masih sangat awam bagi orang banyak. Secara bergantian Stefanus Akim, Muhlis Suhaeri dan Tanto menjawab pertanyaan.
Menurut Tanto jurnalis dilindungi oleh undang-undang di dalam melaksanakan tugasnya. Memberikan hak publik untuk ingin tahu. Termasuk aktivitas pejabat publik, tindak tanduk serta figurnya ketika memimpin. Pejabat publik mempunyai nilai berita yang lebih besar dari masyarakat biasa. Misalnya ketika gubernur digigit anjing, tentu berbeda jika yang digigit anjing orang biasa.
Muklis si penulis buku Bejamin S dan Novel tanpa huruf R, bercerita banyak tentang penulis-penulis yang sukses. “Kunci menulis awalnya adalah membaca, dengan membaca orang tentu lebih berwawasan dan wawasan itu dituangkan dalam bentuk tulisan,’ paparnya.
Muklis juga menjelaskan tugas seorang jurnalis di medan perang.
“Jurnalis harus pandai melindungi dirinya, tahu menempatkan kondisi. Itulah salah satu jurus ampuh,” terang penulis yang sudah banyak makan asam garam.
Para pemateri juga mengungkapkan suka duka menjadi wartawan. Bisa keliling dari wilayah lokal hingga luar negeri. Pekerjaan jurnalis adalah profesi yang penuh tantangan. Setelah mendapatkan teori siswa diwajibkan untuk menulis. Pengalaman pribadi, pengalaman di sekolah yang akan di koreksi hari ini, oleh pemeteri Asriyadi Alexander Mering.
Guru Bahasa Indonesia Bruder Gerardus, MTB dan Wakasek Kesiswaan SMA Santo Paulus Drs. Arif Budi Putranto, berharap kegiatan tersebut dapat memberikan manfaat bagi siswa. Agar siswa mempunyai bekal di dalam tulis menulis.
“Kita juga ingin belajar lebih jauh di Borneo Tribune termasuk semua prosesnya,” papar Bruder Gerar bersemangat.
*Edisi Cetak Borneo Tribune 19 Oktober 2007
Rasa Eksotis, dari Masakan Eastern hingga Western
Oleh: Stefanus Akim
Anda ingin menikmati sensasi sup tomyam seafood? Tak perlu jauh-jauh ke Thailand. Kini masakan dengan bahan dasar seafood dan tomat ini bisa dinikmati di Grand Restaurant di bilangan jalan Pahlawan No 35A Pontianak.
Sensasi rasanya tak perlu diragukan lagi. Ada nuansa seafood yang dipadukan dengan rasa asam tomat. Kuahnya yang mengepulkan aroma lezat dan gurih membuat kita ingin segera melahapnya...
”Bagaimana rasanya. Enak tidak, saya ingin jawaban jujur. Jika enak katakan enak, jika tak enak katakan tidak enak,” kata Manajer Grand Restaurant, Wissa, kepada saya saat berkunjung ke resto yang dilaunching 7 Juli 2007 lalu.
Pertanyaan-pertanyaan itu selalu ia lontarkan kepada para pengunjung dan sahabat yang datang mencicipi. Tujuannya tentu saja untuk perbaikan cita rasa menu. Jika ternyata tak enak di lidah konsumen maka tak segan-segan pihak manajemen mencari menu baru yang lebih yahud. Namun tanggapan konsumen sangat positif, mereka umumnya merasakan sensasi memuaskan dari sup tomyam seafood khas masakan Thai ini.
”Kami menggunakan bumbu khusus yang didatangkan dari Thailand. Koki kami juga sudah sangat berpengalaman. Bagi kami memberikan pelayanan terbaik mulai oleh pelayannya hingga rasa adalah yang utama,” tutur Wissa, mengungkapkan sedikit rahasia masakan andalan restoran yang dikelolanya.
Selain itu ada juga sejumlah makanan yang tak kalah nikmat dan gurihnya dari sup tom yam seafood. Diantaranya ayam goreng special grand. Masakan yang mengundang selera ini setelah digoreng kemudian dimasak dengan saus bangkok. Nyam, nyam, nyam Anda akan merasakan sensasi nikmatnya ayam goreng yang hanya ada di Grand Restaurant.
Kemudian ada cah brokoli, ikan gurami goreng kering dengan sambal terasi. Ikan goreng ini tak hanya dagingnya yang empuk dan garing, namun tulang dan siripnya.
Ikan air tawar khas Borneo, diantaranya jelawat dan bawal juga bisa dinikmati di Grand Restaurant. ”Kami menyuguhkan jelawat atau bawal steam taosi dan jelawat atau bawal steam kiambue. Kemudian ada juga kakap fillet bun tahu taocio, kakap filet asam manis dan masih banyak yang lainnya,” ujar Wissa ramah.
Menu makanan Grand Restaurant yang halal sangat lengkap dan komplet. Mulai dari sayuran, nasi, ayam, cumi, udang, tahu, sapi, ikan, sup dan hidanga yang lain. ”Kita juga memiliki menu minuman yaitu es teller special, mix jus, jus jambu, jus strawberry dan lainnya,” tuturnya.
Restoran yang berada di tengah kota dengan parkir yang luas ini memiliki 150 buah kursi yang terletak di lantai dasar dan lantai dua. Sebuah ruangan kecil untuk meeting dan ruangan atas untuk rapat dengan jumlah orang cukup banyak serta fasilitas karaoke.
Selain, masakan bercita rasa eastern, Grand Restaurant juga menyediakan masakan dengan citra rasa western. Diantaranya bistik ayam, ayam saus Inggris, tahu hotplate dan lainnya. Untuk cita rasa eastern selain masakan Thailand, juga tersedia masakan Indonesia juga Jepang. Diantaranya ada tahu sapo, chicken teriyaki dan beef teriyaki.
Jadi, tunggu apa lagi, segera nikmati lezatnya masakan khas Grand Restaurant.□
*Edisi Cetak Borneo Tribune 7 Oktober 2007
Borneo Tribune Daily Allot Free Newspaper
By: Stefanus Akim
Borneo Tribune Daily of rising in Pontianak-West Borneo, noting a new history in newspaper world in Pontianak. At Idul Fitri 1428 Hijiriah, what fall at, Saturday 13 October 2007 printing newspaper counted twenty five thousands sheet.
Newspaper so much will be allotted free of charge to society of West Borneo, in 14 sub-province/town.
Newspaper program free this of in order of to many society to reading giving. That the at found information and amusement entertainment so (newspaper other where day letter red of time) do note of publish. Head Editor of Borneo Tribune Daily, Haji Nur Iskandar, telling, program this of on going still will possibility.
According to him, Borneo Tribune Daily will become newspaper property of society. Later this newspaper will be allotted free of charge to society of West Borneo. So that them which do not can read their knowledge and newspaper increase.
Borneo Tribune Daily is managed by newspaper is young people of West Borneo which bother about growth of accurate information and science. He is founded by at 19 May 2007 then.
In this time newspaper which is its editor office have of address to in Road; Street Purnama Dalam No 2 Pontianak print newspaper among seven thousand till ten thousand sheet every day.
In Pontianak in this time, rising mean daily newspaper among one thousand till twelve thousand sheet every day. In daily newspaper history in Pontianak no one have published newspaper counted twenty five thousands sheet and later; then allotting it free of charge to throng.
A number of circle predict this daily newspaper will become biggest in Kalimantan West. One of the because of its enough grow on in society. Since first time emerge a lot of giving support morally. Moment of Launching first time at least three hundred expressing self become customers. That amount nowadays continue to increase. On the other side, earnings of advertisement facet also continue to grow and expand.
Many circle start to change over to read Borneo Tribune Daily. One of the its reason because its different presentation by letter other daily news exist in West Borneo in this time. Borneo Tribune Daily place education as one of the especial rubric. Is later; then followed by education, social, ordinary society, woman, political and miscellaneous.
This newspaper also the single in West Borneo providing one special page; yard for the problem of environment. Environmental rubric publish one week once on week. Meanwhile, on week is also published by special edition to one discussion. This special edition provide 8 page from 24 page.
Borneo Tribune Daily also have pledge rubric, that is Pandora. This rubric study cultural problem and life of social in West Borneo which is heterogeneous.
In West Borneo alone there are some tribe group. Its biggest its Dayak. Later then Malay, China, Bugis, Madura, Batak, Java, Arab and so on. That article will study culture and custom and also miscellaneous concerning tribe characteristic. In presentation of news, Borneo Tribune Daily use elocution. In some part use jurnalisme sastrawi (reporting narrative).*
Fire Again Scorch House and House Shop
By: Stefanus Akim
Burning in Town of Pontianak Provinsi West Borneo return happened. This happened in Road Street Commodore of Yos Sudarso, Jeruju. Reported two house, one and workshop of house shop char burnt, Monday ( 8/10/2007) at 18.00 Time of Indonesia West (WIB)
This burning make citizen which is just break fast to surprised. Big a flame fire so and scorch building. Meanwhile a victim, Akiun old age 48 year injure to burn. Whole part of its body is eaten by fire, but its soul safe. He is nowadays taken care of ill intensive at Hospital Saint Antonius Pontianak.
Soul of Akiun safe of firemen’s blessing acting quickly. A number of member burning of arise victim which is bodily injury to hospital which a parting 10 kilometers of occurrence location.
Commencing from the date of 1 October have happened 18 times burning in Pontianak. Besides scorching house, this burning also scorch school house. One senior high school and elementary school char to be battened by fire.
This burning invite concern from a number of party from Mayor of Pontianak, Buchary A Rahman dr, Head Police Metropolis of Pontianak, Ajun Komisaris Besar Polisi Drs Awang Anwaruddin and also Chief of Parliament Town of Pontianak Haji Hersan Aslirosa SE
All that functionary mentioned of morning, about at 09.00 WIB conduct meeting to study the problem of burning which knock over Town of Pontianak. Andika Lay, Secretary Unit Fire Company of Mutual Assistance (Unit Pemadam Kebakaran Gotong Royong-UPKGR) Siantan, telling this is heaviest week. "In one emotion can five times burning, usually at most only 2 times different in place," word of Lay Kwet Djie, other name of Andika Lay
Till in this time, Unit data Fire Company of Mutual Assistance have happened 68 times burning. While last year up to is year-end, only just 50 times. “This is really heavy days," say Tjhin Fa Nan, senior of Andika Lay which also Vice Chairman Unit Fire Company Of Mutual Assistance.
What cause of burning? A lot do not know. There is because negligence of human being because wax; candle and stove. But there is also anticipating because electrics often extinguish so that happened short tension and sprinkling of fire. But there is also attributing to situation election of governor of West Borneo (Kalimantan Barat) to take place at 15 November 2007 waiting. There is anticipating there is which intend to burn house so that warm atmosphere
In this time there is four candidate to follow to contest in election of governor proxy and governor to five year come. They are as according to serial number is: Haji Usman Ja'far and of Drs Laurentius Herman Kadir (Melayu-Dayak), Oesman Sapta Odang-Drs Ignatius Lyong (Melayu-Dayak), HM. Akil Mochtar SH MH and Drs AR Mecer (Dayak Islam-Dayak) and Drs Cornelis SH MH and Cristian Sanjaya (Dayak-Cina).
Cerpen Unkonvensional
Oleh: Stefanus Akim
Martin Siregar, adalah seorang aktivis NGO di sejumlah tempat. Mulai dari Medan, Jakarta hingga Pontianak. Ia lebih memilih dunia per-LSM-an dibandingkan dunia lain yang sesuai dengan ijazah sarjana muda yang dikantonginya.
Istriku, adalah buku kumpulan cerita pendek Martin Siregar seputar kehidupan kesehariannya bersama sang istri dan anaknya. Ia juga bercerita soal perjalanan kehidupan keseharian Martin maupun istri serta para tetangga. Termasuk persoalan sosial, keagamaan, pekerjaan, aktivitas sosial dan lain sebagainya.
Buku ini diterbitkan elpesair Pontianak. Disunting Faisal Reza, korektor Bahasa [P.Lucius] Ginting [OFM Cap] dengan tata letak Hasymi Rinaldi, desain & cover Ade Riyanto. Buku yang diterbitkan Mei 2003 ini berisi 126 halaman.
Buku ini terdiri dari 10 cerpen dengan tema yang berbeda. Seperti siklus kehidupan umumnya, penulis memaparkan mulai dari kehidupan dirinya dan keluarga baru mereka secara berurutan. Dengan kritis, Martin berhasil menyembunyikan kritik sosial yang ia lakukan lewat karyanya ini.
Kehidupan sehari-hari yang biasa-biasa saja menjadi menarik di tangan Martin. Misalnya kisah soal Sepeda si Jati. Ia berhasil membungkus bagaimana hubungan kekeluargaan sebaiknya dilakukan. Bagaimana ia membungkus hubungan kekeluargaan Batak. Termasuk isu ’membeli marga’ yang santer di Borneo Barat jika terjadi perkawinan antara orang Batak dan non Batak. Ternyata ’membeli marga’ bukan seperti yang orang luar pikirkan selama ini, membutuhkan biaya besar dan sulit. Untuk ritual ini cukup sederhana, hanya jika mampu apa salahnya.
Secara keseluruhan cerpen yang diterbitkan elpesair (LPS-AIR) sangat menarik untuk dibaca dan dikoleksi. Hanya saja mungkin yang agak mengganggu pada bagian pengantar penerbit yang mempertanyakan apakah cerpen masuk dalam karya jurnalistik atau bukan. ”Ada semacam perdebatan yang tak pernah henti untuk mengatakan apakah cerita pendek adalah juga buah karya Jurnalistik. Ada banyak alasan untuk dapat diperdebatkan,” bunyi kata pengantar tersebut.
Namun sesungguhnya menurut saya ada garis yang tegas membedakan antara karya jurnalistik dan karya fiksi yang di dalamnya termasuk cerpen, novel atau roman. Garis tegas itu adalah fakta, jika karya jurnalistik menyucikan fakta maka karya fiksi tidak. Tokoh, temapat, alur cerita dan sebagainya boleh anonim untuk fiksi namun tidak boleh sama sekali untuk karya jurnalistik.
Soal penyajian, karya jurnalistik boleh saja seperti pembuatan novel (narrativ reporting). Namun sekali lagi bahwa fakta adalah sakral, fakta adalah kudus untuk dunia para juru kabar.
Apakah kumpulan cerpen Istriku karya Martin Siregar termasuk jurnalistik atau fiksi? Jawabannya bisa ia bisa juga tidak. Tentu saja landasan tolok ukurnya adalah fakta itu tadi.
Kita tentu saja masih ingat sembilan elemen jurnalistik yang diajarkan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Elemen tersebut adalah kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran, loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat, intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Selanjutnya praktisi jurnalisme harus menjaga independensi terhadap sumber berita, jurnalisme harus menjadi pemantau kekuasaan (watch dog), jurnalisme harus menyediakan forum kritik maupun dukungan masyarakat, jurnalisme harus berupaya keras untuk membuat hal yang penting menarik dan relevan dan jurnalisme harus menyiarkan berita komprehensif dan proporsional serta praktisi jurnalisme harus diperbolehkan mengikuti hati nurani.
Saya ingin tanyakan langsung itu pada si bos, panggilan akrab Martin Siregar. Namun saya tak bisa kontak dirinya. Ia kini sudah kembali ke Medan dan menetap sana pula. Tentu saja bersama istrinya, orang Dayak kelahiran Bodok Kabupaten Sanggau serta anaknya.
Jika pun buku ini bukan karya jurnalistik karena ada beberapa fakta yang tak relevan (anonim) misalnya. Namun karya ini memang bukan cerpen konvensional (unkonvensional). Buku ini bukan seperti cerpen kebanyakan.
Akhirnya, selamat bergulat dengan pemikiran, selamat berdiskusi untuk mencari. Sebab, itulah yang diinginkan penulis. Seperti tabiatnya selama ini, berdiskusi, berdiskusi dan berdiskusi.□
*Edisi Cetak Borneo Tribune 7 Oktober 2007
Data Buku:
Judul Buku : Istriku
Pengarang : Martin Siregar
Penyunting : Faisal Reza
Korektor Bahasa : Ginting
Tata Letak : Hasymi Rinaldi
Desain & Cover : Ade Riyanto
Penerbit : elpesair Pontianak
Cetakan pertama : Mei 2003, viii + 126 halaman
Internet Lelet Gmail Macet dan Kebakaran
Oleh: Stefanus Akim
Seminggu terakhir jaringan internet di Kota Pontianak lambatnya minta ampun. Ternyata ini bukan hanya di kantor kami, sejumlah warnet juga mengakui hal tersebut. Teman saya, Yaser Syaifuddin yang saya kontak via Sort Massage Service (SMS) mengakui hal yang sama.
Selain itu mail yang dikelola oleh http://www.gmail.com juga tak bisa dibuka. Beberapa kali saya coba login jawabannya blank.
ERROR
The requested URL could not be retrieved
--------------------------------------------------------------------------------
While trying to retrieve the URL: http://mail.google.com/mail/
The following error was encountered:
Connection to mail.google.com Failed
The system returned:
(110) Connection timed out The remote host or network may be down. Please try the request again.
Your cache administrator is admin@CSI.
--------------------------------------------------------------------------------
Generated Sat, 06 Oct 2007 01:34:13 GMT by Cache-Proxy.CSI (squid/2.6.STABLE16)
Padahal ada beberapa surat yang harus diperiksa di email gmail. Termasuk kiriman beberapa artikel, opini, berita, mailing list dan lain sebagainya. Sejumlah kepala biro Borneo Tribune di daerah terpaksa menggunakan email lain, umumnya http://www.yahoo.com atau email lain.
Selain itu untuk membuka blogspot atau blog lain juga agak susah karena lelet. Setiap kali klik yang muncul hanya sebagian tampilan saja. Sedangkan gambar, animasi dan Adsense juga tak bisa dibuka, yang muncul tulisan ERROR.
Untuk membuka beberapa situs pun juga leletnya minta ampun. Situs berita Antara misalnya, juga sulit sekali dibuka. Untuk pindah dari halaman satu ke lainnya sering error. Kebalikannya membuka situs fotonya Antara justru lebih mudah dan cepat.
Entah sampai kapan kondisi ini akan berakhir. Bagi mereka yang sudah terbiasa hidup di dunia virtual tentu saja ini siksaan.
Tak hanya itu. Sejumlah persoalan mendasar juga sedang melanda ”Kota Khatulistiwa”. Selama bulan Ramadan, tepatnya sejak 25 September, dilakukan pemadaman listrik secara bergilir. Alasan PLN karena mesin mereka mengalami kerusakan Accessory Gear Coupling. Sehingga daya seharusnya 106 MW menjadi 78,5 MW, berkurang 28 MW.
Asisten Manajer Pemeliharaan Transmisi PLN Pontianak Sugiono, menuturkan, kekuatan suplai PLN berbeda-beda. Untuk PLN sektor Kapuas sendiri, untuk wilayah Siantan sebesar 19 MW PLTD Sungai Raya sebesar 32,5 MW dan PLTD Siantan sendiri 28 MW.
”Untuk Accessory Gear Coupling memang sulit untuk mencari suku cadangnya. Kebetulan beberapa hari yang lalu kita dihubungi oleh Pertamina, menurut mereka mesin yang dibutuhkan ada. Sekarang masih di Jakarta. Sabtu mungkin sudah normal,” kata Idaman, Asisten Manajer Operasional. Untuk jangka menengah, pada bulan Desember nanti PLN akan menambah daya sebesar 14 MW. Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan dasar listrik Kalbar.
Sementara gelombang demo dan statemen keras di media massa terus ditujukan kepada PLN. Seminggu lalu, sejumlah warga di kawasan Kotabaru mendatangi PLN Jl A Yani mempertanyakan mengapa PLN sering padam. “Kami akan datang lebih banyak lagi jika persoalan ini tak selesai,” kata salah seorang warga.
Selang beberapa waktu, Rabu (3/10) giliran PLN Senggiring di Mempawah yang didatangi warga. Warga Kabupaten Pontianak yang baru saja berbuka puasa berbondong-bondong mendatangi PLN dan merasa risih dengan kondisi ini. “Berbuka puasa kami dalam gelap. Persoalannya pemadaman sudah tak sesuai jadwal. Kapan maunya PLN saja,” teriak salah seorang pengunjuk rasa.
Kondisi ini direspon cepat oleh para Kepala Desa di sekitar Mempawah, ibu kota Kabupaten Pontianak dan Lurah Mempawah Timur. Kamis (4/10) bersama sejumlah elemen masyarakat, anggota DPRD serta dikawal anggota Polres Mempawah mereka mendatangi PLN Siantan. Intinya menanyakan mengapa sering sekali listrik padam dan tak beraturan lagi.
Gelombang demo selanjutnya datang dari mahasiswa dan elemen masyarakat. Mereka minta agar calon gubernur mempunyai agenda untuk meyelesaikan persoalan kelistrikan di Kalbar. Sayangnya aksi ini dikotori dengan aksi kekerasan. Seorang koordinator lapangan, Nurhadi, hidungnya berdarah setelah melerai teman-temannya yang nyaris adu jotos dengan aparat kepolisian. Kini, ia didampingi Sekretaris Jenderal Solidaritas Mahasiswa dan Pemuda Pengemban Amanat Rakyat (Solmadapar) Kalbar, Azman melapor ke Komnas HAM Kalbar.
”Kami minta gubernur Kalbar bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa pemukulan ini. Kami menginginkan keempat kandidat gubernur berperan aktif dalam penyelesaian masalah PLN. Sebab PLN merupakan pelayanan publik. Kami mengutuk kebrutalan yang dilakukan oleh polisi,” tegas dia.
Kemarin, Sabtu (6/10) pukul 02.00 dinihari sekitar 50 orang warga juga mendatangi General Manager PLN Kalbar Djoko Suwono di rumah dinasnya di Jalan Paris II, Kompleks PLN No 1. Mereka ingin bertemu Djoko untuk menanyakan perihal pemadaman listrik, namun yang bersangkutan sedang ke Jakarta. Pada aksi ini terjadi insiden kecil. Sejumlah warga sempat memecahkan kaca depan dan tiga buah lampu taman.
Persoalan lain yang mendera adalah kebakaran yang dalam seminggu terakhir sudah terjadi di 13 lokasi berbeda. Mulai rumah penduduk, kebun karet di Kecamatan Sungai Ambawang Kabupaten Pontianak, bengkel hingga dua buah sekolah; SD 11 dan SMA 8 serta Pasar Senakin di Kabupaten Landak. Peristiwanya sangat sporadis dan petugas pemadam kebakaran dibuat kelabakan. “Aduh...tak mampu o...kebakalan terus wa...,” kata Andika Lay teman saya.
Andika orang Tionghoa yang tinggal di Siantan. Ia bekerja secara sosial sebagai anggota pemadam kebakaran. Saban kali ada kebakaran, Lay Kwet Djie, nama Tionghoanya dan teman-temannya langsung turun membantu, tak peduli yang terbakar milik orang Tionghoa atau siapa saja. Tak perduli dekat atau jauh. “Yang penting jangan sampai banyak yang terbakar, kita bantu sekuat tenaga,’ kata dia.
Habis memadamkan api, ia sering ke kantor membawa hasil jepretan kamera digitalnya. Jika wartawan atau Fotografer kami terlambat dan kehilangan momen, maka tak perlu khawatir sebab sudah ada Andika.
Apa penyebabnya? Ada yang disebabkan karena kompor meledak, ada yang disebabkan puntung rokok serta ada pula katanya karena korsleting listrik sehingga mengakibatkan arus pendek. Orang jadi bertanya-tanya, apakah ada hubungan kebakaran dengan tegangan listrik yang turun naik. Atau adakah hubungan kebakaran dengan situasi yang mulai hangat menjelang proses pemilihan gubernur dan wakil gubernur 15 November 2007 mendatang?
Dengan demikian, sejak tanggal 1 hingga 5 Oktober sudah terjadi 13 lokasi kebakaran yang menyebar di beberapa bagian Kota Pontianak dan sekitarnya.
Kejadian pertama tanggal 1 Oktober di Gg Sekolah Jalan P Natakusuma. Jalan M Yamin jurusan Ampera Kota Baru, Nipah Kuning di Jalan Komyos Sudarso, Kompleks Sepakat Damai di Jalan Dr Wahidin, Gg Sulawesi Jl Sultan Abdurahman, Gg Prasaja 6, Jl Tanjung Raya 1, Jalan Sei Selamat Dalam, Jl Trans Kalimantan dua kali, Jl Putri Daranante Gg Wan Sagaf, Jl Khatulistiwa, Jl Alianyang Gg Madrasyah II.
Data Unit Pemadam Kebakaran Gotong Royong (UPKGR) Siantan hingga hari ini sudah tercatat 63 kali kebakaran. Jumlah ini lebih banyak dari tahun lalu yang totalnya hanya 50 kali saja.
”Pengalaman saya, ini adalah minggu yang paling berat. Sebab sering sekali terjadi kebakaran. Bayangkan satu hari bisa sampai lima kali terbakar di lokasi berbeda. Sementara selama ini satu minggu paling banyak lima kali kebakaran,” kata Andika Lai.
Untuk kasus SMA 8 ia melihat agak aneh. Sebab dalam tempo setengah jam sudah rata dengan tanah. Biasanya untuk ukuran bangunan seperti itu membutuhkan waktu setidaknya dua jam.
”Ia, saya melihatnya memang aneh,” timpal Tjhin Fa Nan, senior Andika Lay yang juga Wakil Ketua UPKGR yang sudah aral-melintang menolong memadamkan api.
Kini, saat ending tulisan ini dibuat hujan mulai turun di sejumlah kawasan di Kota Pontianak. Semoga tak ada lagi kebakaran yang terjadi esok hari. Semoga listrik tak sering padam lagi dan semoga internet tidak lelet lagi.□
*Edisi Cetak Borneo Tribune 7 Oktober 2007
Launching Blog Pencinta Buku
Saya membuat sebuah blog baru bernama Pencinta Buku. Blog ini awalnya saya rencanakan untuk menyimpan segala koleksi buku saya yang tidak terlalu banyak. Selain itu untuk mengumpulkan situs atau blog penerbit, pemilik buku, pemerhati buku dan yang berkaitan dengan segala sesuatunya.
Blog ini juga direncanakan sebagai tempat menyimpan resensi buku yang saya buat. Atau, untuk menyimpan semacam resume dan catatan-catatan penting tentang buku. Sehingga, ketika saya membutuhkan literature maka proses pencariannya akan mudah. Menyimpan data apa lagi tulisan di blog saya pikir cukup efektif. Sebab bisa dinikmati oleh mereka yang merasa perlu dan membutuhkan dan saya tak perlu membawa ’bagasi’ kemana-mana selama ada fasilitas komputer dan jaringan internet. Di kantor kebetulan internetnya online 24 jam dan gratis sebab sudah dibayarkan kantor. Kendala mungkin jika listrik padam. Jadi sangat memungkinkan untuk itu.
Blog Pencinta Buku sebenarnya sudah lama saya buat. Saat itu di Blogspot. Namun karena kurang diurus, jadinya terbengkalai. Saya memutuskan menutup di blogspot dan membuat format baru di Wordpress. Pertimbangannya ada fitur-fitur yang cukup menarik di Wordpress yang cocok untuk buku. Jadilah situs itu http://pencintabuku.wordpress.com/
Jika Anda kebetulan mengunjungi situs ini, Anda dapat mengklik logo warna merah biru persegi panjang dengan tulisan RUMAH LAIN. Tepatnya di sebelah kiri tepat diatas foto. Anda juga dapat mengklik di bagian bawah sekali dengan tulisan P’CINTA BUKU. Warnanya agak kalem, abu-abu.
Hari ini saya juga di telepon orang Mizan Media Utama (MMU) di Bandung untuk meresensi buku. MMC semacam lembaga pemasaran untuk buku terbitan Bentang Pustaka yang beralamat di Jl. Pandega Padma No. 19 Yogyakarta 55284.
Telepon tersebut untuk membalas email saya yang menawarkan diri untuk meresensi salah satu buku Truman Capote, In Cold Blood. Buku tersebut diterbitkan Bentang Pustaka, dengan ukuran 13×20.5 cm, jumlah halaman iv+476 dan dilepas di pasaran Rp55 ribu. Intinya MMU bersedia mengirimkan buku tersebut ditambah beberapa buah buku lain.
Ternyata setelah dikirimkan email sekaligus alamat blog mereka percaya dan respek untuk balik mengirimkan buku. Ini tentu saja sebuah kegembiraan buat saya. Semua orang tahu In Cold Blood adalah sebuah karya fantastik dengan genre narrative reporting yang ditulis Truman Capote diterbitkan berseri di The New Yorker pada tahun 1965. Pada tahun 1966 diterbitkan menjadi buku dan menjadi bestseller. Kini, setelah 42 tahun salah satu buku yang mengguncangkan dominasi pembuatan berita klasik dengan format 5W+H terbit di Indonesia. Buku ini adalah salah satu pelopor new journalism. Tentu saja banyak orang yang ingin membaca dan menyimpannya di perpustakaan pribadi.
Lewat email saya juga mendapat kiriman ucapan selamat dari Google AdSense. Isinya Aplikasi Google AdSense saya telah disetujui. Saya akan segera mulai melihat iklan Google relevan yang muncul di blog utama saya: http//stefanusakim.blogspot.com. ”Namun, perlu diingat bahwa jika Google belum menjelajahi situs Anda, iklan yang relevan mungkin belum terlihat hingga 48 jam,” bunyi salah satu email tersebut.
Hanya saja setelah saya cek ternyata nilai dollarnya baru 0.00 $. Hikhikhik...biar sajalah. Sebab tujuan utama saya memasang Google AdSense sebagai bentuk ucapan terima kasih buat google – blogspot – yang telah menyediakan blog gratis. Dan tentu saja saya tak munafik semoga ada yang berbaik hati mengklik Google AdSense saya.
Semoga semuanya bermanfaat bagi kita semua. Salam…
Kisah Tentang Keindahan Anggrek dan Obsesi
Judul Buku : Pencuri Anggrek (The Orchid Thief)
Pengarang : Susan Orlean
Penerjemah : Arief Ash Shiddiq
Penyunting : Yusi Avianto Pareanom
Penerbit : Banana
Cetakan pertama : Juni 2007, 13 cm, 368 halaman
Peresensi : Stefanus Akim
MEMBACA kalimat demi kalimat buku Pencuri Anggrek (Orchid Thief) seakan membawa kita untuk meraba, mencium dan melihat keindahan anggrek itu sendiri.
Susan Orlean, sang pengarang begitu sempurna mendeskripsikan anggrek. Mengaduk-aduk emosi bahkan membawa kita serasa berada nun jauh mengobok-obok belantara hutan Florida. Di tengah-tengah rawa bertemu dengan habitat anggrek sesungguhnya.
Buku karya jurnalisme yang sangat dahsyat ini mengisahkan kehidupan para pencinta anggrek. Termasuk segala ‘kegilaan’ mereka yang diwakili oleh John Laroche.
Laroche seorang pencinta anggrek yang tertangkap basah mencuri anggrek liar dari Florida, tepatnya di sebuah hutan di kawasan Fakahatchee.
Awal ketertarikan Susan Orlean terhadap anggrek saat ia membaca sebuah artikel koran yang menyebutkan bahwa satu orang kulit putih – Laroche – dan tiga orang Seminole telah ditangkap bersama anggrek langka yang mereka curi dari sebuah rawa Florida yang disebut Cagar Alam Galur Fakahatchee
Berawal dari sebuah artikel koran yang menyebutkan bahwa ada satu orang kulit putih, John Laroche, dan tiga orang Seminole yang ditangkap dengan tuduhan mencoba mencuri anggrek langka dari Cagar Alam Galur Fakahatchee, Susan Orlean tertarik untuk tahu lebih banyak seputar insiden itu.
Kata-kata “rawa”, “anggrek”, “Seminole”, “mengklon” dan “kriminal” muncul bersama-sama dalam satu tulisan. Kata-kata itu membuat Susan Orlean tergugah untuk tahu lebih banyak. Pada saat bersamaan sedang ada persidangan untuk kasus anggrek Siminole. Hakim yang menanganinya telah menjadwalkan persidangan awal untuk pemaparan kasus ini beberapa minggu setelah ia membaca artikel. Tak tunggu lama Susan Orlean terbang dari New York ke Neplas.
“Terkadang cerita macam ini muncul menjadi sesuatu yang lebih, cerita-cerita mengembang seperti bola kertas Jepang yang kau jatuhkan ke air, lalu setelah beberapa saat, mereka mekar menjadi bunga, dan bunga itu begitu mengagumkan sampai-sampai sulit untuk percaya bahwa tadinya yang kau lihat di depanmu cuma sebuah bola kertas dan segelas air,” tulis Susan Orlean.
Dalam kisah ini bukan hanya Laroche yang menjadi tokoh utama, namun Susan Orlean pun terlibat bahkan turut menjadi tokoh. Memang, buku ini tidak bercerita melulu tentang si pencuri anggrek. Penulis membuka mata kita pada dunia anggrek yang luar biasa. Pada ke-13 bab buku ini, kita akan diajak menjelajahi hal-hal menakjubkan dan tak akan membuat kita menyelesaikan bacaan.
Anda siap-siap pula untuk terkagum-kagum menyimak kegilaan pencinta sejadi Demam Anggrek yang menjadi inspiransi film Adaptation yang memenangi Oscar. Anda akan menemukan deskripsi yang sangat memikat pada bagian ini.
”Satu spesies terlihat seperti anjing gembala Jerman dengan lidah terjulur, spesiesnya lainnya tampak seperti bawang. Satu spesies terlihat seperti gurita, sementara yang lain tampak seperti hidung orang. Ada satu yang terlihat seperti sepatu gaya yang biasa dipakai raja-raja, satu lagi tampak seperti monyet”.
Susan Orlean memang jurnalis andal dengan gaya narrative. Ia sudah menulis untuk The New Yorker sejak tahun 1992 dan juga menulis untuk The Outside, Esquire, Rolling Stone dan Vogue. Alumni Universitas Michigan dan bekerja sebagai wartawan di Portland, Oregon, dan Boston, Massachusetts kini tinggal di New York.
Ia mengakui saat pertama kali menuliskannya untuk The New Yorker merasa seperti mengupas bawang. Setiap aspek dalam cerita ini ternyata lebih kaya daripada semula yang ia bayangkan. ”Misalnya di Galur Fakanhatchee, tempat pencurian berlangsung, mulanya aku asal bertanya kepada salah seorang jagawana berapa lama tempat itu jadi cagar alam dan apa yang dilestarikan, dan tahu-tahu aku terbentur pada sbuah cerita utuh mengenai kasus penipuan tanah di Florida yang menurutku menarik,” kata Susan Orlean.
Dan, yang pasti buku ini tak hanya menjadi bacaan wajib bagi para pencinta anggrek. Namun bagi siapa saja yang ingin menemukan kejutan-kejutan dari kisah nyata tentang kehidupan dan obsesi yang sangat luar biasa.
The New York Time menulis, “Berseni tinggi…Di tangan Orlean yang andal, kisah anggreknya menjelma menjadi sesuatu yang lebih...Anggrek, sejarah Indian Saminole, ekologi Galur Fakahatchee, daya pikat Florida bagi para ukang tipu...Semuanya yang ditulisnya di sini cocok satu sama lain karena pijakannya adalah pengalaman pribadinya...Potretnya terhadap pencuri anggrek yang kadang menerbitkan iba memungkinkan pembaca menemukan berekar-ekar kesempatan di mana hal-hal menggelitik bisa dijumpai.
*Edisi Cetak Borneo Tribune, 30 September 2007