Oleh: Stefanus Akim
Banyak cara untuk memperingati dan mengisi proklamasi yang usianya kini sudah 62 tahun. Borneo Tribune, koran yang terbit dengan motto idealisme, keberagaman dan kebersamaan mengusung diskusi kecil dan santai di ruang redaksi pada malam peringatan proklamasi. Diskusi yang mengundang tokoh masyarakat sekitar, sejumlah NGO, tokoh pemerintahan, akademisi, seniman, pelajar, DPRD dan kalangan pers itu diisi dengan makan lontong dan jagung bakar. Dari kata lontong dan jagung bakar itulah Nur Iskandar-Nuris-Pimred kami berseloroh dengan sesama awak Borneo Tribune acara tersebut Long Jakar.
Diskusi sederhana namun kadang juga njelimet dan serius berjalan lancar dan akrab diselingi gelak tawa para peserta yang melantai di atas tikar. Nuris menjadi moderator sekaligus ”pagar ayu” yang menyambut dan mempersilakan tamu-tamu datang. Awak Borneo Tribune mulai dari redaksi (wartawan dan redaktur), pracetak, keuangan turut hadir. Semua yang hadir dipersilakan berbicara bebas termasuk kritik pedas untuk Borneo Tribune yang dua hari lagi genap berusia 3 bulan. Berbagai isu dan wacana meluncur deras. Mulai dari penertiban illegal logging dan solusinya, makna kemerdekaan, demo penurunan bendera di kantor gubernur beberapa bulan silam, rubrikasi dan keberpihakan Borneo Tribune terhadap mereka yang termarjinalkan.
Suasana semakin istimewa dengan kehadiran Ripana Puntarasa dari Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project (NUSSP) Jakarta sebuah lembaga yang bertujuan membantu pemerintah dalam mengurangi atau menurunkan tingkat kemiskinan di perkotaan melalui kemitraan antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat. Ripana adalah Institutional Development Specialist NMC-NUSSP.
Di kalangan pers hadir Halim Ramli, wartawan tiga generasi yang pernah menjabat pimpinan redaksi di harian Pontianak Post. Meskipun sudah berumur namun laki-laki yang dikenal lewat tulisannya Mat Belatong masih terlihat bersemangat.
Di kalangan pers hadir Turiman Faturahman Nur. Ia salah seorang ahli Tata Negara di Fakultas Hukum Untan yang menyelesaikan S-2 dengan tesis tentang pembuat lambang negara Indonesia. Ternyata, menurut hasil penelusuran Turiman, yang membuat lambang negara-Garuda Pancasila-adalah Sultan Hamid II bukan M Yamin seperti yang disebut-sebut selama ini.
Hadir juga Michael Yan Sriwidodo SE MM anggota Fraksi Golkar DPRD Kalbar, Dwi Syafriyanti, SH seorang pengacara yang tergabung dalam kantor pengacara W Suwito Associates. Di kalangan NGO hadir juga Faisal Riza, alumnus Teknik Untan yang aktof di LPS-AIR dan Jari Borneo Barat. Pelaksana Kepala Taman Budaya pak Zen, dan tentu saja Ketua RT, Suprianto beserta beberapa tokoh masyarakatnya. Kalangan seniman ada Pay Jarot. Ia adalah seorang cerpenis, novelis dan penulis yang cukup produktif di Kalbar. Ada juga Pradono, sastrawan yang cukup punya nama hingga ke Serawak. Kalangan Birokrat hadir Hamdan Harun, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat.
Nuris membuka diskusi dengan memperkenalkan satu per satu awak Borneo Tribune termasuk dirinya. Dilanjutkan dengan para undangan yang hadir. ”Kegiatan ini sebagai ajang untuk bersilaturahmi baik dengan masyarakat Kalbar maupun masyarakat sekitar markas kami,” kata dia.
Borneo Tribune ingin menjalin silaturahmi dengan semua kalangan. Sebagai praktisi media, momentum kemerdekaan menjadi salah satu titik untuk merencanakan media dengan matang dan demokratis. ”Kami membangun koran ini dengan motto idealism, keberagaman dan kebersamaan. Dalam menjalankan usaha dan keredaksian kami tak ingin berlaku prinsip homo homini lupus, yang kuat memakan yang lemah. Kami juga tak ingin munafik dan berharap Borneo Tribune menjadi salah satu alternatif bacaan bagi masyarakat Kalimantan Barat,” ujarnya.
Halim Ramli yang didaulat memberikan pandangannya tentang makna kemerdekaan menilai pers saat ini sudah sangat kebablasan. Koran dengan mudah memuat berita-berita kekerasan, vulgar, porno aksi dan klenik. ”Bayangkan foto yang berdarah-darah dimuat, perempuan yang memperlihatkan paha dan dada serta berita-berita hantu pun ada. Ini sudah mengarah ke klenik,” kata Halim dengan suara lantang dan berharap kehadiran Borneo Tribune bisa menjadi sebuah bacaan alternatif buat masyarakat Kalbar.
”Tugas dan fungsi pers itu mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukan sebaliknya memporakporandakan kehidupan bangsa. Coba lihat Kompas, mereka tak macam-macam biasa dan terkesan sederhana tapi langgeng,” wejang dia.
Suprianto, Ketua RT berbicara soal penertiban illegal logging yang di satu sisi membuat masyarakat kelaparan. Mantan pegawai BUMN yang kini membuat usaha sendiri kompor minyak tanah dua tungku yang irit bahan bakar menilai pemerintah tak memberikan solusi kepada masyarakat. ”Selama ini pemberitaan media lebih banyak kepada akibat bukan sebab. Kalau ada pekerjaan lain masyarakat tak mau bekerja di hutan sebab salah sedikit taruhannya nyawa. Pemerintah harus mencarikan solusi,” kata alumnus Pertanian Untan ini.
Michael Yan berbagi cerita kondisi kemerdekaan era tahun 70-an hingga 80-an dengan saat ini dan pers yang kebablasan. ”Kalau dulu kita sangat takut dengan aparat baik polisi maupun ABRI (TNI). Kalau mereka ada di jalan dan kita diluar maka orang-orang tua akan bilang masuk-masuk,” ungkap salah satu tokoh Tionghoa.
Dwi Syafriyanti menyoroti soal hukum yang tumpang-tindah dan membuat kebingungan para praktisi hukum. Ia mengaku gelisah dengan beberapa perubahan dan amandemen UUD 1945, bahkan khawatir Pancasila pun akan hilang.
Faisal Reza banyak mengupas soal tampilan dan rubrikasi Borneo Tribune. ”Saat membaca Tribune pertama kali yang saya cari adalah Skumba. Sebab ini menjadi semacam inspiransi dan mengundang tawa. Pikiran kita selama ini media membawa ketegangan, namun dengan membaca cerita-cerita lucu seperti itu jadi berpikir ada sisi lain kehidupan yang harus ditertawakan termasuk menertawakan diri kita sendiri,” ujar mantan aktivis mahasiswa.
Dikatakan, selama ini kalau membaca koran yang ditemukan pasti 5W + H. Namun jika ingin mendapatkan Why-mengapa-maka ia membaca Borneo Tribune. Kehadirannya diharapkan bisa memberikan warna lain bagi jurnalistik. Faisal mengkritisi tampilan Borneo Tribune yang berani memasang gambar besar dan tulisan sedikit namun panjang bahkan ada ruang kosong. ”Mungkin selama ini main set kita koran dengan berita yang padat, jadi belum terbiasa,” kata dia sambil tersenyum.
Hamdan Harun yang malam itu terlihat sedikit capek namun berusaha hadir prima menyoroti persoalan nasionalisme. Ia kecewa dengan demo di kantor gubernur yang sampai ingin membakar dan menurunkan bendera. ”Padahal bendera itu bukan hanya sepotong kain, namun ada makna penting bahwa puluhan ribu jiwa meninggal untuk mempertahankan kemerdekaan.
Turiman melihat persoalan bangsa saat ini bukan hanya capacity building namun juga national and character building yang harus terus dibangun. “Untuk membangun bangsa ini mulai dari sendiri,” saran dia.
Ripana mengaitkan kemerdekaan dan gagalnya pameran photography yang akan digelar oleh Lukas B Wijanarko di Ayani Mega Mall. “Sesungguhnya hari ini ada peristiwa jurnalistik untuk pameran foto yang gagal diselenggarakan. Entah karena miss management atau apa, namun saya melihat ada arogansi dibalik semua ini,” papar Ripana.
Ia melihat ada wilayah yang belum merdeka di dunia jurnalistik kita. Padahal jurnalistik adalah salah satu kunci perubahan. Media pencerdasan adalah jurnalistik. Ripana banyak menyoroti persoalan sosial dan kemasyarakatan.
Semakin malam diskusi semakin hangat. Bahkan diskusi informal dilanjutkan di bagian belakang kantor Borneo Tribune. Bermacam topik mulai dari hal sederhana hingga njelimet kembali muncul hingga pukul 01 malam.*
*Edisi Cetak Borneo Tribune 18 Agustus 2007
“Long Jakar” Refleksi Kemerdekaan ala Borneo Tribune
di 1:56 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 komentar:
"Long Jakar" tuh ape kemesod Boy?
Post a Comment