Hiburan Alternatif di Tengah Kota

Oleh: Stefanus Akim

Malam mulai merayap. Jalan Ayani masih saja padat, pemandangan seperti itu terjadi saban Sabtu malam dan hari libur. Di bagian luar pusat perbelanjaan paling besar di Pontianak itu terdapat poster-poster raksasa yang memajang film yang sedang tayang. Ada empat buah poster film terpajang dan kontras dengan warna cat dinding yang berwarna krim berpadu biru. The Bourne Ultimatum (Bour), Ratatouille, Noting is Impossible dan Hantu.

Sejak 2,5 tahun lalu, tepatnya Januari 2005 masyarakat Pontianak sudah bisa menikmati kembali bioskop setelah sekitar 5 tahun vakum akibat serbuan home studio melalui perangkat pemutar cakram (compact disk player). Kehadiran bioskop di Pontianak setelah grup 21Cineplex kembali membuka cabang dan menamai dirinya Ayani 21 dan beroperasi di lantai tiga gedung tersebut.

Sejak pembukaan cukup banyak yang datang menonton. Hingga sekarang pun masih saja ramai apalagi jika film-film bagus dan promosinya juga baik. Pengunjung makin ramai jika Minggu malam dan umumnya anak baru gede. ”Ini menjadi tempat berkumpulnya para ABG,” kata Mustofa, pengawas operasional Ayani 21.

”Mengapa”, tanyaku. ”Pertama mungkin hari libur yang kedua murah. Kalau mas ingin lihat datang saja. Kalau mau nonton tiketnya kita siapkan,” katanya menawarkan.

Untuk malam Senin diberlakukan tiket Rp15 ribu. Malam Selasa hingga Jumat Rp25 Ribu sedangkan malam Minggu Rp25 ribu. Meskipun bervariasi demikian namun ada saja yang nonton saat harga tiket tinggi. Mungkin karena Ayani 21 hanya satu-satunya bioskop di Pontianak. Penyebab lain penonton biasanya menyesuaikan dengan jadwal liburan atau waktu luang untuk nonton. ”Malam Minggu pun meskipun cukup mahal dari hari biasa tetap ramai juga,” kata Mustofa.

Pengunjung makin ramai saat liburan sekolah. Bisanya para pelajar atau mahasiswa dari luar kota turun ke Pontianak. Bahkan warga Pontianak yang belajar atau bekerja di Jawa saat kembali ke Pontianak juga menyempatkan diri. Hal ini mungkin disebabkan lokasinya yang strategis di jalan protokol dan pusat perbelanjaan dan terlengkap di Pontianak saat ini.

Ayani 21 memiliki 812 kursi yang dibagi dalam empat theater. Theater satu dengan 294 kursi, theater 2 dan 3 dengan 176 kursi serta theater 4 menampung 166 kursi. ”Apakah semua itu penuh”? tanyaku pada Mustofa.

”Ya namanya usaha pasang surutlah. Namun tetap ada yang nonton meskipun tak penuh terisi”.

Ia tak mau menyebutkan berapa persis keuntungan satu bulan. Sebab itu hak manajemen yang mengurusinya.

Mustofa yakin, bisnis bioskop di Pontianak akan tetap hidup minimal untuk waktu lama. Apalagi kini gairah ekonomi riil di masyarakat makin tubuh ditambah keinginan untuk mendapatkan hiburan yang sehat. ”Sudah ada semacam pelanggan fanatik yang nonton di layar lebar. Sebab bagaimanapun tetap beda antara nonton di theater dengan di rumah,” kilahnya.

Mengapa orang nonton, tentu saja banyak alasan dan masing-masing orang memilikinya. Seakan tahu keinginan penonton, Ayani 21 memberikan layanan maksimal. Diantaranya kenyamanan mulai dari tempat duduk yang terbuat dari sopa empuk, ruangan yang bersih, nyaman dan aman.

Mustofa beralasan, nonton adalah rekreasi atau hiburan yang sehat dibandingkan hiburan lain. Ia mencontohkan yang kurang sehat adalah hiburan dunia gemerlap (dugem). “Lebih baik nonton dengan mengeluarkan uang antara Rp 15 ribu hingga Rp25 ribu sudah terpuaskan. Bahkan untuk film-film tertentu kita bisa ambil makna positif dari pesan yang mau disampaikan,” kata dia.

Di Pontianak kini hanya ada bioskop grup 21Cineplex. Sementara di luar grup sudah bertumbangan sejak tahun 1980-an. Terakhir tahun 2001 masih ada yang buka namun akhirnya tutup juga terutama karena serbuan compact disk player.

Pontianak tahun 1970-an hingga 1980-an saat film lokal masih jaya bioskop-bioskop menjamur hingga ke desa-desa. Di Kecamatan Sungai Ambawang misalnya ada bioskop hingga ke Desa Lingga dan Desa Pancaroba. Di Desa Pancaroba berdiri bioskop Indah Theater.

Sementara di Pontianak ada Khatulistiwa Theater, Menara Theater dan Abadi Theater. Di Siantan ada Siantan Theater. Kemudian ada lagi Pontianak Theater dan Kapuas Theater. Pahrian Siregar, seorang aktivis NGO yang lahir dan besar di Pontianak dan kini menimba ilmu di Jakarta menulis, beberapa bioskop justru berada di sekitar pemukiman penduduk. Ia mencatat ada bioskop Lido di Sumur Bor, Bioskop Jeruju di Jeruju, Garuda Theater di Sungai Jawi, Bioskop Nusa Indah di Siantan, Jeruju Theater di Jeruju dan Kota Baru Theater di Kota Baru. “Kukenang kembali masa kecilku, karena sulit mencari hiburan, bioskop menjadi salah satu yang terfavorit,” tulis Pahrian.

Dalam weblognya Pahrian menulis hampir semua bioskop itu berguguran di era 80-an akibat masuknya Grup 21 milik Sidwikatmono yang menggunakan strategi cineplex (cinema complex). Untuk mendukung strateginya itu, kelompok usaha ini, yang pemilikinya masih berhubungan darah dengan ibu negara pada waktu itu memanfaatkan kedekatan dengan penguasa untuk memperoleh kewenangan monopoli dalam distribusi film. Pada masa itu, Kota Pontianak memiliki 4 Cineplex, diantaranya: Kapuas 21 di Kompleks Kapuas Plaza, Dinasti 21 di pertokoan di Jalan Tanjungpura dan Studio 21 di Kompleks Nusa Indah Plaza.

“Minimal kehadiran kami kembali di Pontianak bisa menjadi hiburan alternatif di tengah kota,” kata Mustofa didampingi temannya Asrul Edi.

Aku mengiyakan pendapat tersebut, setidaknya bagi mereka para penggila film kehadiran bioskop hal yang ditunggu-tunggu.

Kumasukkan satu amplop besar berisi poster film ukuran 5 senti. Poster-poster itu akan digunakan untuk bahan iklan di Borneo Tribune.
Saat aku meninggalkan ruangan Mustofa jam di hapeku menunjukkan pukul 20.50. Jalan Ayani masih tetap padat. Kurapatkan jaket saat mulai memasuki pintu theater untuk menyaksikan “The Bourne Ultimatum (Bour)”. Lima menit lagi film laga ini akan mulai diputar, aku tentu saja tak mau ketinggalan skuelnya.□

Wednesday, August 15, 2007 |

0 komentar:

Kategori

Powered By Blogger

Total Pageviews