Oleh: Stefanus Akim
The New York Times, telah mengukuhkan dirinya sebagai salah satu koran terbaik di planet ini. Predikat itu diperoleh tentu saja tidak semudah membalikkan telapak tangan, dibutuhkan waktu yang panjang, independensi-tak memihak-serta standar jurnalistik yang tinggi yang wajib dipakai oleh wartawan maupun redakturnya.
Meskipun pemimpin redaksi Times dipilih oleh orang dipilih owner (pemilik) namun, otonomi redaksional sangat terjaga. Kondisi inilah yang membuat Times sangat dihormati dan kepercayaan tumbuh. Untuk membuat rambu-rambu dalam melakukan tugas jurnalistiknya, Times membuat kode etik dan memberlakukan sangat ketat baik bagi wartawan maupun bagi redakturnya.
Ada satu hal positif yang jarang dimiliki koran lain, yaitu self regulation atau pengaturan diri sendiri. Dimana jika koran tersebut melakukan kesalahan, maka ia harus menelusuri letak kesalahan tersebut dan kemudian mengumumkannya kepada publik.
Ini bisa dilihat misalnya saat terjadi peristiwa Jayson Blair. Editor Senior tak segan-segan mengerahkan lima orang editor seniornya untuk memeriksa kembali pemberitaan yang telah ditulis Blain, dan kemudian mereka meminta maaf kepada publik. Ini semua dilakukan semata-mata semata-mata untuk menjaga integritas dan kredibilitas The New York Times.
Kasus Jayson Blair adalah salah satu yang mencoreng wajah Times. Pada April 2003, Times diguncang oleh skandal pembuatan berita palsu oleh Jayson Blair, wartawan Times, yang kebetulan seorang pemuda Afro Amerika berusia 27 tahun. Blair ketahuan telah lama menulis berita-berita bohong, dengan memawawancarai narasumber palsu, mencontek laporan dari koran-koran lokal dan kemudian menyiarkannya di koran yang punya reputasi tinggi tersebut. Praktiknya terkuak saat saat menulis kisah Jessica D. Lynch, tentara perempuan Amerika yang tertawan tentara irak saat Amerika menyerbu negara itu pada awal tahun 2003.
”Kalau kesalahan seperti ini disembunyikan, baunya akan tetap ada, dan lebih jauh dari itu integritas dan kredebilitas koran tersebut dipertanyakan. Memang memerlukan koreksi dan penelusuran kesalahan seperti ini, untuk koran baru seolah menjadi suatu kemewahan (luxury), tapi hal ini harus dilakukan. Harus menjadi kewajiban untuk menelusuri kesalahan yang telah dilakukan koran tersebut. Jangan bersikap seolah-olah bahwa media tak bisa melakukan kesalahan. Kalau hal ini yang dianut, lalu apa bedanya kita - orang pers - dengan para penguasa yang pernah bersemboyan ”The King Can Do No Wrong’?” tulis Aristides Katoppo yang memberikan kata pengantar pada buku ini. Katoppo yang mantan Pimred Sinar Harapan adalah mantan koresponden Times di Jakarta antara tahun 1958 ingga 1964.
Times lahir tahun 1851 dan langsung diambil alih oleh Adolph Ochs dan menjadi koran yang dikenal di seluruh dunia. Koran ini terus menjadi yang terdepan meskipun sudah dipegang cicit Och. Koran ini memang perusahaan milik keluarga besar Ochs-Sulzberger. Kini masuk dalam generasi keempat. Liputan Times sangat luar biasa, sebab tak hanya dikenal berpengaruh bagi para pembaca koran di Amerika, tapi juga ke seluruh dunia. Jaringan korespondennya luas, peraih Pulitzer terbanyak dari koran lainya di Amerika.
Sejak diberikan tahun 1917, Times sudah mengoleksi 90 buah penghargaan pulitzer hingga tahun 2004. ”Vitalitas mungkin menjadi kata kunci di sini untuk menunjukkan bagaimana semangat dan kepedulian para wartawan The New York Times membawa mereka mengarungi zaman, disegani prestasi jurnalistiknya, bertahan hidup dari presiden satu ke presiden lainnya, membangun sistem kerja yang baik, dan pula menanamkan nilai penting kepada para wartawannya untuk menjadi yang terbaik,” tulis Haryanto.
Di luar prestasi Pulitzer, para wartawan Times pun punya prestasi lain, yaitu sebagai penulis buku-buku yang terkenal. Berkat kemampuan para wartawan yang mendalami bidang-bidang yang ada, maka tak heran jika kemudian para wartawan tersebut berlomba-lomba menulis buku reportase mereka.
Times membuat aturan yang sangat jelas tentang kode etik, saham hingga hal pribadi awak redaksinya. Mereka memiliki standar-standar, termasuk di dalamnya penggunaan sumber rahasia dalam pemberitaan, masalah integritas, kemampuan dan reputasi. ”Keharusan bagi Times dan para stafnya untuk memelihara standar tertinggi yang mungkin ada untuk memastikan bahwa kami tidak melakukan hal-hal yang akan mengurangi kesetiaan dan kepercayaan pembaca dalam kolom-kolom pemberitaan kami,”.
Ada sembilan hal yang diatur lebih lanjut oleh Guidelines of Integrity tersebut. Yaitu masalah pengutipan dari sumber, reportase yang dilakukan oleh wartawan lain di luar Times, pemeriksaan kembali fakta, hal tentang korelasi, hal tentang penolakan atas berita yang ditulis Times, tentang sumber yang tak mau disebutkan namanya, teknik untuk menyamarkan sumber atau lokasi peristiwa, tentang penyamaran, dan etik dalam penggunaan foto atau imajinasi lainnya.
Kisah sukses Times berawal dari kisah seorang pemuda bernama Adolph S. Ochs yang lahir pada tahun 1858 dan meninggal tahun 1934. Dari awal Ochs menghindari korannya menjadi organ partai politik atau kelompok bisnis, sesuatu hal yang sangat sulit dilakukan. Mungkin saja karena berlatar belakang sebagai seorang Yahudi maka ia merasa tak dekat dengan dua kelompok politik tersebut; Demokrat dan Republik.
Setelah Adolph S. Ochs, Times secara berturut-turut dikelola oleh Arthur Hays Sulzberger. Ia merupakan menantu Ochs, suami dari anak satu-satunya Ochs, Iphigene Berta Ochs. Hays kemudian digantikan putranya Arthur Ochs Sulzberger selanjutnya ole Arthur Ochs Sulzberger Jr.
Berapa kekayaan Times? Majalah Forbes awal tahun 1990-an pernah menaksir kekayaan grup perusahaan Times sebesar $1,8 miliar. Ia memiliki 25 grup harian di seluruh negeri, ditambah 5 kantor layanan informasi, 9 stasiun televisi lokal dan 2 stasiun radio.
Ada satu kalimat Ochs yang sangat dikeramatkan oleh orang-orang Times. ”To give news impartially, without fear or favor” – menuliskan berita tanpa pandang bulu, tanpa takut atau pemihakan.
Times bukanlah koran biasa. Koran ini telah berusia lebih dari 100 tahun dan merupakan koran paling banyak meraih penghargaan Pulitzer di Amerika lebih dari koran-koran lainnya.
The Times hidup berdampingan dengan lebih 20 orang Presiden Amerika hingga saat ini, dan dalam jatuh bangun kehidupan politik di Amerika, sedikit banyak Times ikut memberikan pengaruhnya. Pentagon Papers, adalah salah satu kasus yang mengangkat reputasi dan kredibilitas koran ini. Ia memiliki segudang prestasi dan juga beberapa kisah cemarnya.
Buku yang berjudul The New York Times - Menulis Berita Tanpa Takut dan Memihak ini seperti disebutkan karangan Ignatius Haryanto. Kata pengantar oleh Aristides Katoppo, Penerbit Yayasan Obor Indonesia dicetakan pada Juli 2006 dengan XXVI + 120 hlm, serta ukuran buku 14,5 x 21 cm.
Pada kata pengantar buku ini kita tahu tulisan ini awalnya diperuntukkan Haryanto untuk tulisan di majalah Pantau awal tahun 2003. Namun setelah tulisan sepanjang 16 halaman dengan satu spasi itu selesai digarap, Pantau berhenti terbit karena kesulitan financial. Dengan bantuan teman sekantornya, Haryanto yang saat itu menjadi wartawan Tempo menambah beberapa bahan agar menjadi buku saku. Ia kemudian melengkapi referensi dengan beberapa buku dan riset internet.
Dari buku karya Haryanto ini kita dapat memetik pelajaran berharga, bahwa membangun kredibilitas sebuah media bukan perkara murah, dan jaminannya bukan sekedar modal uang besar, atau para wartawan yang dibajak dari sana sini. Menumbuhkan etos dan semangat para profesi ini jauh lebih penting dan indenpendensi juga hal penting yang tak bisa dilupakan.□
*Edisi Cetak Borneo Tribune, 9 September 2007
The New York Times
di 3:01 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment