Oleh: Stefanus Akim
Dor, dor, dor. Dor!
Empat buah tembakan membelah keheningan malam. Empat buah timah panas yang keluar dari moncong revolver bersarang di tubuh seorang laki-laki berusia 40 tahun. John Lennon. Ia roboh dan bersimbah darah hanya beberapa langkah dari limosin yang baru saja mengantarnya di apartemen Dakota tempat ia tinggal selama ini. Polisi bertindak cepat, membawa mantan vokalis band The Beatles ini ke rumah sakit Roosevelt, namun ia meninggal beberapa saat kemudian. Kejadian itu terjadi di musim dingin 8 Desember 1980.
Pagi hari, beberapa jam sebelum John Lennon terbunuh Mark David Chapman meminta dia menandatangani sebuah buku, The Catcher in The Rye. Chapman sangat terinspirasi dengan novel karangan Jerome David Salinger. Bahwa dirinyalah Holden Caulfield, tokoh utama novel itu. Pria berkacamata itu bahkan pernah menapaktilasi jalanan New York yang dilalui Holden pada malam-malam dingin menjelang Natal. Chapman menembak John Lenon dan mengaku terinspirasi setelah membaca The Catcher in The Rye.
Mengapa buku ini menjadi inspirasi bagi sebagian orang psycho untuk membunuh? Jawabannya beragam. Salah satunya mungkin karena semangat ‘pemberontakan’ yang dilakukan oleh seorang remaja, Holden Caulfield. Terhadap dunia remaja menjelang dewasa. “Salah satu alasan paling besar kenapa aku angkat kaki dari Elkton Hills adalah karena ketika disana aku terjebak di tengah-tengah sederetan pecundang yang serba munafik, itu saja. Mereka ada dimana-mana. Misalnya, mereka punya seorang kepala sekolah, Pak Haas, bajingan paling munafik yang aku temui seumur hidupku.”
Holden sudah tiga kali pindah sekolah. Mulai dari Sekolah Whooton dan Elkton Hills hingga Pencey Prep di Agerstoon, Pennsylvania. ”Yang namanya pertandingan sepakbola selalu saja miskin penonton gadis. Cuma para senior yang boleh membawa pacar mereka. Ini memang sekolah payah.”
Saat terbit pertama kali di Amerika pada 16 Juli 1951 buku ini menjadi fenomena. Pejabat melarang untuk beredar. Salah satu alasannya, buku dengan genre bildungsroman atau karya untuk remaja yang beranjak dewasa ini menggunakan bahasa-bahasa kasar. Ia melihat lingkungan sosial dari kacamata seorang remaja pemberontak yang bermasalah dengan lingkungan sosial dan kepribadiannya. Ia menilai lingkungan dewasa penuh dengan kepalsuan. ”Ini memang sekolah payah, dilihat dari sisi manapun. Aku lebih suka bersekolah di tempat lain, di mana paling tidak ada segelintir gadis bisa dilihat. Mungkin mereka sekedar garuk-garuk, mengeluarkan ingus, atau bahkan cuma cekikan atau itulah, masa bodoh.”
Kini setelah 48 tahun, buku itu terbit dalam bahasa Indonesia. Adalah penerbit Banana yang menerbitkannya untuk Anda. Setelah terbitan pertama laku keras, diluncurkan terbitan kedua Juli 2007 untuk Anda yang belum sempat mengkoleksi. Buku dengan cover putih kekuning-kuningan dan sebuah bola mata berikut alis mata hitam dan riapan rambut coklat yang didesain Bondan Winarno masih menggunakan judul aslinya, The Catcher in The Rye. Yusi Avianto Pareanom, sebagaimana buku-buku terbitan Banana menjadi editor untuk buku setebal 300 halaman dengan ukuran 19 senti.
Kata-kata (maaf) kasar, kurang ajar, sumpah serapah akan mudah sekali ditemui dalam buku ini. Holden Caulfield, melakukannya secara vulgar dan terang-terangan. Tapi di sinilah letak ”bagus” dan membedakan karya ini dengan yang lain. Simak misalnya, ”Bangsat sialan, minggir kau, cepat bangun dari atas badanku.
Meskipun sudah berusia 48 tahun dan diterbitkan dengan versi Indonesia namun novel karangan seorang novelis dan penulis yang lahir di Manhattan, Now York 1 Januari 1919 ini tetap tak kalah menggigit dibandingkan versi orosinil-Inggris. Tentu saja Salinger tidak bermaksud mengilhami siapapun untuk membunuh atau berbuat kasar setelah membaca karyanya.
Memang jika ditilik, buku ini bukan satu-satunya yang menginspirasikan para psycho melakukan aksi brutal. Ada beberapa karya serupa tapi tak sama yang punya pengaruh ”dahsyat”. Sebut saja misalnya Anthony Fawcett dengan One Day At A Time. Kemudian ada Isaac Asimov dengan novel serialnya Foundation, memengaruhi Shoko Asahara ketua Aum Shinrikyo, sebuah sekte kiamat meledakkan gas sarin di stasiun bawah tanah Tokyo yang menyebabkan 12 orang tewas dan 5 ribu oarng terluka.
Di belahan dunia lain, novel The Turner Diaries memengaruhi Timothy McVeigh menjalankan dengan tepat aksi teror yang diceritakan dalam buku tersebut. Ia kemudian meledakkan gedung federal di Oklahoma, AS. Seratus enam puluh delapan orang tewas karenanya.
Ada pula Theodore John Kaczynski, PhD, mendapatkan ide dan inspirasi untuk melakukan teror ini dari sebuah novel berjudul The Secret Agent, karangan Joseph Conrad. Ia mengirimkan sejumlah bom surat dalam rentang 18 tahun. Tiga orang tewas dan 29 lainnya terluka akibat aksi ini. Sementara novel The Collector karya John Fowles yang terbit untuk pertama kalinya pada 1963 sudah menginspirasi, sedikitnya, lima pembunuhan berantai dan 40 pembantaian.
The Catcher in The Rye tidak eksplisit mengajarkan bagaimana cara-cara membunuh. Bahkan memotivasi pun tidak. Mungkin kemarahan kritik-kritik dan seorang anak muda yang merasa dirinya adalah korban dari sistem, bisa mendorong pembaca yang punya masalah kejiwaan dan mengalami nasib yang sama dengan Holden untuk melakukan hal-hal nekad. Ia pembaca yang marah, merasa tidak ada yang memahaminya, tapi sangat sayang keluarga seperti Holden.
Setelah membaca buku ini apakah Anda juga ingin membunuh? Tentu saja jawabannya terserah Anda. Sesungguhnya ada sebuah pelajaran berharga yang bisa dipetik. Bahwa buku itu mengajarkan semangat orang muda dan perjuangannya. Jika Anda orang lemah, jangan baca! Sebab ia diperuntukkan bagi mereka yang kuat dan punya daya juang.□
*Edisi Cetak Borneo Tribune, 2 September 2007
Inspirasi Bagi Pembunuh
di 10:25 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment