Maling...Maling....
Teng...Teng...teng...
Maling....Maling..
Teriakan Bapak Caca – tetangga sebelah – membuyarkan konsentrasiku. Aku yang lagi asik menikmati suguhan musik spaktakuler Trans7 yang merayakan ulang tahunnya tersentak.
Rupanya kompleks kami disatroni maling. Aku gelagapan, mau ambil cari parang tak parang. Cari clurit juga tak punya, samurai apa lagi. Pikiranku yang kacau nyambar apa saja. Palu.
”Ah maling...menganggu istirahat saja”
Kulirik jam dinding, masih pukul 22.30 WIB. ”Kok maling malam ini cepat benar. Biasanya ditas jam 00.00. Malam minggu lagi saat orang-orang biasanya bergadang karena besoknya hari libur,” batinku.
Cari senter juga tak ada. Wah kacau nih...semua tak ada. Benar-benar tak siap perang.
Ternyata tak hanya aku yang menghambur keluar. Tetangga lain juga ikut menghambar. Ada yang bawa pentungan, kelewang, samurai, mandau dan hanya tiga orang termasuk aku yang tak bawa senjata memadai.
”Dimane? Dimane” suara bersahutan
”Situ dekat jendela. Saya tuh nengok keluar, tibe-tibe ade orang ngintep,” lanjut bapak Caca dengan napas tergopoh-gopoh.
Kami, sekitar 12 orang berhamburan di lokasi yang dituju. Hasilnya nihil...yang ada hanya satu bekas tapak kaki. Sementara di tempat lain tak ada bekasnya. Tingkah tetangga macam-macam, ada yang nyenter di atas pohon, bawah kolong, parit dan seberang pagar kompleks. Namun hasilnya tetap nihil. Batang hidung pencuri tak ada. Kelebatannya pun tak ada.
Di tengah kebuntuan ada pula yang nyeletuk. ”Mungkin masok dalam tempayan”. Tutup tempayan pun diuber. Dibuka dan disenter...
”Pencuri kalo’ dah nekad maok sembuyik dalam lobang WC,” sambung yang lain.
Wah pikirku, kacau nih. Bisa-bisa semua bak toilet tempat nampung segalama macam kotoran dibuka ramai-ramai. ”Ie ada. Dulu di HM Suwignyo ade yang masok dalam lobang WC. Daripada mati kan lebeh bae masok dalam bak WC,” sambung yang lain.
Seyap....
Tak ada sahutan...
Ternyata tak satu orang pun yang membuka bak WC. Hik...hik...hik...bisa dibayangkan jika ada yang mengkomendoi untuk membuka bak WC.
Satu jam mengobok-obok sekitar kompleks hasilnya tetap nihil. Kami hanya terkekeh dan ngobrol ada saja.
Teringat hanya membawa palu aku masuk ke rumah dan mencari senjata lagi. Setelah kuraba...ya ampun palu itu pun gagangnya goyang.
Setelah keliling di dapur, lemari dan kamar akhirnya aku menemukan pisau dapur. Meskipun pisau dapur namun lebih besar. Orang biasanya menyebutnya dengan parang babi. Sebab digunakan orang-orang Cina di pasar untuk memotong daging babi.
”Lumayan,” pikirku.
Menjelang pukul 00.00 kami masih ngobrol dan duduk-duduk di atas jalan. ”Wah mandau bang Agus nih bagus. Harusnya bang Akim yang bawa, tapi bang Akim bawa parang babi jak,” tegur Bapak Caca ketawa mulai menggoga.
“Tak mestilah…” kataku tersenyum.
Mandau memang senjata yang akrab dengan suku Dayak dan diklaim sebagai senjata asli. Mungkin tetangga aneh, aku kok tak ada Mandau.
Sementara yang lain berandai-andai, jika pencurinya tertangkap maka akan diikat di tiang listrik. Besok saingnya baru lapor polisi. Sebab jika lapor ke polisi maka pencurnya akan aman dan warga tak sempat melampiskan kekesalannya.
Kemarin malam kami bergadang hingga pukul 03.00 subuh. Setelah nguap beberapa kali akhirnya serentak pulang.
teng...teng...teng....
Aku terbangun dari tidurku. Setelah kulihat jam dinding sudah pukul 09.00 pagi. Ternyata aku sukses kesiangan.
Cepat-cepat aku cuci muka dan mengeluarkan sepeda motor. Bayangan dapat muka masam dari istri sudah terbayang. Maklum istriku dinas malam di Rumah Sakit Santo Antonius (RSSA), masuk pukul 09.00 malam dan pulang pukul 07.00 pagi.
Motor kupacu. 10 menit sudah tiba di RSSA, benar saja muka masam menyambutku. ”Kami ngejar pencuri. Jadi kesiangan,” kata ku membela diri sambil senyum-senyum.
”Uh...orang dah tidok dah...kalau gitu traktir makan bubur” lanjutnya, namun degan wajah yang mulai segar.
Maling...maling....
Maling…
di 1:42 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment