Oleh: Stefanus Akim
Tajau (tempayan) naga dari Singkawang sudah menjadi salah satu ciri khas daerah yang terletak sekitar 145 kilometer sebelah utara Pontianak. Minggu lalu selama seminggu digelar pameran dan workshop di Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta, 21-28 Juni. Saya berkesempatan mengunjungi tempat tersebut dan melihat-lihat koleksi yang dipamerkan.
Puluhan tajau dengan motif naga menghiasi ruang pameran. Sayangnya pengunjung tidak diperbolehkan untuk mengabadikan dengan menggunakan kamera. Alasan pengelola museum, jika ini dilakukan maka karya tersebut dapat ditiru. Sementara kilatan blitz dapat merusak komposisi warna dan ketahanan tajau. Kegiatan ini dirangkai dengan seminar dan workshop.
Puluhan pengunjung tampak memadati ruangan dan melihat dari dekat tajau-tajau yang indah-indah tersebut. Bahkan sebuah tajau yang tak sempurna karena salah bakar justru menarik perhatian. Tajau tersebut mulutnya tidak rata dan justru miring, sementara bagian lehernya juga mengkerut. Meskipun demikian bagian tubuh tajau terlihat bagus, baik warna maupun komposisinya.
Kepala Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta, Indra Rimawan, mengatakan kegiatan ini terselenggara berkat kerja sama antara mitra museum yaitu pihak sentra industri ’Borneo Lentera Prima’, ’Dinamis’, para kolektor serta museum Provinsi Kalimantan Barat.
Di tempat ‘kelahirannya’, tajau tersebut dilahirkan di tungku naga atau dragon klin yang telah dikenal sejak abad ke-10 Masehi di negara asalnya, Cina daratan. Mungkin itu pula yang menyebabkan barang-barang keramik tradisional yang diproduksi secara tidak disengaja, mempunyai kemiripan dengan keramik-keramik Cina yang dibuat pada masa Dinasti Tang, Song, Yuan dan Ming, meliputi abad ke tujuh sampai ke tujuhbelas Masehi.
Umumnya kemiripan terdapat pada cara pengolahan bahan, pembentukan, warna glasir, hiasan dan hasil pembakaran.
Tajau naga tersebut diproduksi di dusun Sa Liung yang terletak 6 kilometer di selatan Kota Singkawang. Saliung sendiri berarti padang pasir dan di Singkawang tempat tersebut sangat terkenal. Di Saliung para pengerajin hingga kini masih bekerja membuat tajau. Pabrik mereka menjadi unik, sebab diprakarsai para imigran keturunan Tionghoa yang konon datang dari Cina Selatan. Mereka pulalah yang membangun tungku-tungku raksasa untuk membakar keramik pada suhu yang tinggi.
Kurator Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta, Sonny Chr. Wibisono, mengungkapkan, tajau mas adalah sebuah nama yang dipilih Liaw Hai Leng menamai usaha kerajinan keramik peninggalan ayahnya Liaw A Tjiu. Saat dipegang bapaknya, pabrik ini bernama Yu Hua, artinya tempayan emas. Dikisahkan ayahnya saat itu berusia 18 tahun ketika tiba di Singkawang dari Kanton (Guangdong). Liaw A Tjiu mengikuti kawan-kawannya sesama imigran Cina di kampung Sa Liung pinggiran Kota Singkawang setelah tahu tempat itu banyak mengandung bahan baku melimpah dan cocok untuk membuat keramik. Semula Liaw A Tjiu masih awam soal perkeramikan, pada saat itu ia pun magang denga kawannya yang mendirikan pabrik keramik pertama di Singkawang.
Naniek H Wibisono dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, mengatakan, berbagai bentuk keramik tiruan yang betul-betul seindah aslinya ini dapat diperoleh di
Singkawang. Bahkan kalau mau tempayan antik yang sudah aus atau retak-retak, juga dapat mereka lakukan.
Tentu saja dengan harga yang jauh di bawah harga keramik kuno yang
sesungguhnya. Bahkan jika mau memperbaiki keramik antik yang
sudah aus, mereka sanggup menghipnotisnya menjadi indah
kembali.
Dituturkan, keramik tersebut didirikan oleh para imigran Cina yang datang di Indonesia pada tahun 1927-30an di Indonesia dari Cina Selatan (Canton) melalui Singapura dan bekerja
sebagai kuli pelabuhan. □
*Diterbitkan Borneo Tribune, 4 Juli 2007
Tajau Naga Singkawang Hiasi Museum Keramik
di 7:01 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment