‘Mempawah Tempo Doeloe’ di Nederland

Seminggu lalu aku menerima surat dari salah seorang penulis senior di Kalbar, Ellyas Suryani Soren. Di pojok kanan surat tertulis Kepada Yth: Stevanus Akim, Redaktur Harian Borneo Tribune di Pontianak.

Aku agak protes sebab nama yang sebenarnya Stefanus, menggunakan ‘f’ bukan ‘v’ (Stevanus) seperti yang sering terjadi bahkan di kantor sendiri.

Namun protes tersebut terobati setelah membaca surat dari Pak Ellyas, yang harusnya sudah layak kupanggil kakek. Aku masih ingat saat aku masih bertugas sebagai Kepala Biro Harian Equator di Mempawah, Kabupaten Pontianak-tempat dulu aku bekerja selama 4,4 tahun (Mengundurkan diri April 2007), ia cukup sering bertandang ke kantor di Jl Terarai A3.

Kami biasanya berdiskusi terbatas, mulai dari isu pemerintahan, sastra, politik, kemasyarakatan, sejarah hingga pengalaman Pak Ellyas. Untuk ukuran usia seperti pak Ellyas, aku melihat semangat itu sangat luar biasa. Bayangkan di zaman yang sudah serba digital, ia masih menuangkan karyanya dengan mesin tik. Bahkan tak jarang menggunakan tulis tangan pula. Sebuah semangat yang layak mendapatkan aplus dari generasi saat ini.

Belum lagi kemana-mana masih menggunakan sepeda ontel. Memang untuk ukuran Mempawah, sebuah kota kecil arah ke arah utara Kota Pontianak yang berjarak sekitar 60 KM sepeda sudah cukup sebagai sarana transportasi. Sebab penduduknya jarang dan satu dengan yang lain saling kenal. Kemudian jarak yang ditempuh juga tidak terlalu jauh.

Untuk tempat tinggal dan menikmati hari tua, Mempawah sepertinya tempat yang cocok. Jauh dari hiruk pikuk kota, polusi rendah, tak pernah macet serta aman. Hanya saja fasilitas lain terutama pusat perbelanjaan mungkin agak jarang.

Mengacu kepada cerita di masyarakat, Mempawah dibangun dan dibesarkan oleh lima bersaudara dari Bugis. Namun, Opu Daeng Menambon, salah seorang dari lima bersaudara tersebut akhirnya menetap di Mempawah yang sebelumnya mempersunting salah seorang puteri raja dari Kalbar.

Sebelumnya di Mempawah, sudah berkuasa raja Dayak, Patih Gumantar dan anak-anaknya di Sebukit Rama. Pusat kerajaannya di Pekana, sekarang Kecamatan Mempawah Hulu Kabupaten Landak. Warga setempat mengenalnya dengan Pakana, Karangan.

Namun setelah istrinya meninggal, ia merantau dan ikut alur Sungai Mempawah dan sampai di Sebukit Rama, sebuah bukit indah yang bersebelahan dengan bukit Tiong Kandang. Di kaki bukit itu ada anak sungai dengan air yang jernih. Patih Gumantar kemudian memindahkan kerajaanya ke Sebukit Rama.

Dari awal ia penganut agama Kaharingan (?) anak-anak patih Gumantar kemudian menganut Islam. Apalagi setelah perkawinan dengan Opu Daeng Menambon.

Kepercayaan masyarakat, makam Patih Gumantar berada di sebukit Rama tak jauh dari Makam Opu Daeng Menambon. Ia mati tak wajar, kepalanya putus dikayau (hunting heat) oleh Suku Miaju-juga disebut Biaju. Sub suku Dayak yang berada di perbatasan Malaysia dan Bengkayang.

Terkait kiriman tulisan Pak Ellyas, aku membuat tulisan untuk Borneo Tribune. Meskipun awalnya sempat mendapat olok-olok dari teman redaktur, Muhlis Suhaeri. "Apa dia jon, kita dijajah 3,5 abad, kok buku sejarah dikirim lagi ke dia," kata Muhlis kletak-kletok dengan komputernya tepat di depanku.

Ia memang mengedit berita itu. Sebab ia menangani halaman Kalbar Tribune, berita seputar Kalbar. Tulisan yang selesai kubuat itu kuberi judul: ‘Mempawah Tempo Doeloe’ di Nederland, isinya kurang lebih seperti berikut:

Satu lagi karya tulisan putra terbaik Kalimantan Barat mengisi pusat dokumentasi Kerajaan-kerajaan Indonesia di Nederland atau Belanda. Ini setelah Ellyas Suryani Soren diminta mengirimkan karyanya ‘Mempawah Tempo Doeloe’ oleh Donald P Tiek, pemilik DO Pusat Dokumentasi Kerajaan Indonesia yang beralamat di Van Bleiswljks Raat 52 C 3135 AM Vloardingen Nederland.

“Via telepon beliau telah memberitahu saya bahwa buku tersebut telah diterima dengan baik dan disimpan di pusat dokumentasi,” kata Ellyas, anggota Penulis 66 dan Budayawan Kalbar.

Sampai saat ini, pensiuan PNS di Kantor Informasi Arsip dan Perpustakaan Daerah (IAPD) Kabupaten Pontianak sudah menulis enam buah buku. Buku-buku tersebut tersebar di perpustakaan Melaka, Kuala Lumpur, Selangor, Brunai Darussalam, Banjarmasin, Palembang dan Kepulauan Riau.

Akhir-akhir ini, dirinya telah merampungkan sebuah buku Antologi Puisi ‘Lelaki Pulang Kampung’ dengan sambutan Ketua Dewan Kesenian Kalimantan Barat, H. Ibrahim Salim, Bupati Pontianak H Agus Salim, Ketua DPRD Kabupaten Pontianak H. Rahmad Satria, Selamat Muslana mantan guru Ellyas di KPA/KPAAN POntianak dan A. Muin Ikram seorang Pemerhati Sastra Budaya Kalimantan Barat.

Buku ini merupakan karya kreatif Ellyas yang ketujuh. “Untuk itu saya mohon respon maupun dukungan Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Pontianak agar buku ini bias dicetak. Mungkin ini karya terakhir saya, selanjutnya saya imbau generasi muda untuk menulis apa saja demi proses kreatif dan memperkenalkan daerahnya,” tutur dia.

Ellyas adalah salah satu penulis yang cukup produktif di Kabupaten Pontianak. Sebelum menjadi pegawai negeri di Kantor IAPD Kabupaten Pontianak, ia sempat menjadi wartawan di sejumlah media cetak terbitan lokal. Sempat pula mejadi penyiar Radio –sekarang Suara Praja Mempawah. Membuat skrip skenario drama radio, menulis cerpen, puisi dan antologi puisi. Di sela-sela tugas kesehariannya sebagai PNS, ia masih menyempatkan diri menulis buku dan karya-karya lain.

Di usianya yang sudah tak muda lagi, penulis sederhana yang kreatif dan mendapat gelar Dato’ Seri Budaya Astana oleh Panembahan ke-13 Keraton Amantubillah Mempawah, Mardan Adijaya Kesuma Negara, masih tekun menulis di media-media lokal. Kesederhanaan tampak dari kesehariannya, sebagai sarana transportasi ia cukup menggunakan sepeda ontel. Bahkan karya kreatifnya kadang hanya dibuat dengan tulisan tangan atau mesin tik. *

Tuesday, June 12, 2007 |

1 komentar:

Anonymous said...

Dear Sir;

Interesting you write about me.
Thank you.

Hormat saya:
DP Tick gRMK/Pusaka.
pusaka.tick@tiscali.nl

Kategori

Powered By Blogger

Total Pageviews