Menulis Karena Suka

Stefanus Akim
Borneo Tribune, Pontianak


Banyak alasan mengapa orang menulis. Mulai dari iseng, menyalurkan hobby hingga mencari nafkah. Bagi Eko Sugiarto, dirinya menulis karena suka. Tak ada alasan lain, dari tangannya kini sudah terbit banyak artikel dan buku.
”Kalau ditanya mengapa saya menulis, jawaban saya cukup singkat. Suka. Sekali lagi, suka. Ya, saya menulis karena suka. Itu saja,” kata Eko di blognya, http://www.ugieyogyakarta.blogspot.com.

Perkenalan saya dengan Eko secara tak sengaja saat blogwalking dan mencari buku-buku baru di internet. Saya kemudian tertarik dengan sejumlah buku yang sudah dihasilkannya. Meskipun karya tersebut terkesan sederhana, namun banyak informasi yang bisa didapatkan. Termasuk hal-hal praktis.

Perkenalan itu berlanjut dengan saling komentar di blog masing-masing, email, hingga SMS. Terakhir lima buah buku karyanya dikirim kepada saya. Masing-masing: Cari Kerja Lewat Internet, Mengenal Pantun dan Puisi Lama, Interupsi – Saat Rakyat Menggugat (kumpulan cerpen), Melayu di Mata Soeman HS dan Panduan Menulis Skripsi.

Kesan saya pada karya-karya Eko Sugiarto, bahwa karya-karya nya – terutama non fiksi - sederhana dan kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian, hal ’kecil’ itu justru sangat dibutuhkan. Atau barangkali penulis lain menganggap hal tersebut tak layak ditulis atau gengsi menulisnya. Di situ lah Eko menunjukkan kesedarhanaan dan kerendahan hatinya lewat tulisan.

Di blognya, Eko menulis kesukaannya menulis baru tumbuh saat ia duduk di bangku SMA. Ketika itu ia masih kelas dua. Sebuah tulisan berupa puisi menghiasi sebuah media siswa lokal. Lantas tak lama kemudian sebuah puisi muncul di majalah komunitas yang beredar secara nasional, juga sebuah pantun muncul di surat kabar mingguan yang terbit di Yogyakarta. Eko mengaku, ketika itu, semangat menulisnya benar-benar membara hingga ia berpikir bahwa seandainya di sekolah ada kelas jurusan bahasa, ia pasti masuk jurusan bahasa. Namun sayang, sekolahnya tak membuka jurusan bahasa. Ia mesti memilih antara jurusan IPA dan IPS karena hanya dua jurusan itulah yang dibuka di sekolah saya.

Lulus SMA ia mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru (UMPTN). Jurusan yang diambilnya adalah Sastra Indonesia, baik untuk pilihan pertama maupun pilihan kedua (di dua universitas berbeda). Ia diterima di pilihan pertama, yaitu di Jurusan Sastra Indonesia di UGM Yogyakarta. Ia kemudian lulus dengan predikat cum laude.

Di kampus itulah ia kian rajin belajar menulis. Namun, ia mengaku kecewa karena ternyata di kampus itu ia hanya mendapat teori tentang menulis. Soal praktik menulis, harus dilakukannya sendiri. Oa pun kian giat membaca buku-buku teori menulis dan kian giat berlatih menulis. Beberapa tulisan dimuat di media lokal di Yogyakarta.

Pada akhir Februari lalu, saya iseng-iseng mengunjungi blog Eko. Ternyata buku Mencari Kerja Lewat Internet kembali cetak ulang. Buku tersebut terbit kali pertama September 2007, dalam usianya yang baru enam bulan telah cetak ulang, kali ini sebanyak 5.000 eksemplar. Saya mengucapkan selamat di chatbox blognya. Kini, hobby dan keyakinan yang ditekuni Eko Sugiarto telah mendatangkan berkah bagi dirinya. Satu hal yang tak bisa dinilai dengan materi, setiap kata yang ia rangkai menjadi kalimat yang menjadikan dirinya merasa ’suka’.

”Anda semua telah diberi dua anugerah luar biasa: pikiran Anda dan waktu Anda. Terserah kepada Anda untuk melakukan apa yang Anda senangi dengan keduanya.... Anda dan masa depan anak-anak Anda akan ditentukan oleh pilihan yang Anda buat sekarang, bukan besok,” Eko Sugiarti menjadikan kalimat, Robert T Kiyosaki, sebagai ‘bahan bakar’ agar ia terus menulis.■

[ read the rest of this entry » ]

Saturday, March 8, 2008 |

Harmoni yang Terkoyak


Salah satu tempat dupa yang hancur diamuk massa. Foto: Lukas B Wijanarko.

Jalan Gajah Mada, Pontianak, Kamis 6 Desember 2007. Amarah massa memuncak, lemparan batu memecahkan kaca-kaca rumah dan mobil. Sebuah kelenteng juga menjadi amuk massa. Mobil, dupa dan barang-barang yang ada di dalam kelenteng porak-poranda. Pontianak tegang, aparat keamanan bersiaga. Dua hari kemudian keadaan berangsur kondusif, tak ada lagi kerumunan massa.

Kericuhan ini dipicu perkelahian antara dua orang di Gang 17 Jala Tanjungpura. Mereka adalah Iksan dan Syarif Mustafa Ibrahim. Gang 17 sendiri tembus dengan Jalan Gajah Mada, sebuah kawasan “pecinan” di Pontianak. Kawasan ini menjadi pusat bisnis dan perdagangan sejak dahulu hingga sekarang. Secara kebetulan Iksan orang Tionghoa, sementara Syarif Mustafa Ibrahim orang Melayu, tepatnya keturunan Arab yang sudah berasimilasi menjadi Melayu.

Akibat kericuhan ini, belasan rumah dan toko (ruko) serta mobil di sepanjang Jalan Kedah, Jalan Ketapang dan Jalan Tanjungpura, serta Gang 17 rusak akibat lemparan batu.

Sebelumnya terjadi perkelahian sekitar pukul 19.00 WIB. Perkelahian dipicu mobil jenis BMW yang diparkir tergores, sehingga membuat pemiliknya, Iksan, mencari tahu sebabnya. Ia mondar-mandir bertanya ke sana ke mari, tidak juga ada jawaban.

Secara kebetulan Iksan berpapasan dengan Syarif yang keluarganya sedang ramai tahlilan hari ke-25 wafatnya anggota keluarga. Iksan pun bertanya lagi. “Saya tak tahu,” ujar Syarif.

Jalan di Gg 17 sempit. Tak lebih dari 2 meter lebarnya. Timbul percekcokan antara Iksan dengan Syarif yang berbuntut perkelahian. Hidung Syarif luka oleh pukulan tangan kosong Iksan. Menurut Syarif, ia dipukul dengan rantai yang dililit di kepalan tangannya.


Kerumunan massa di Gg. 17 Jalan Gajahmada, Pontianak. Foto: Lukas B Wijanarko

Awalnya, perkelahian berhasil dilerai warga. Selang beberapa waktu, tiba-tiba sekelompok massa mendatangi rumah 122 A Gang 17 padahal rumah tersebut sudah dijaga puluhan personel aparat. Kerumunan massa disebabkan informasi yang simpang siur. Massa nekat memasuki rumah, tetapi dihadang petugas kepolisian. Sempat massa bersitegang dengan petugas. Terjadi pelemparan batu oleh beberapa warga yang mengenai atap rumah.

Petugas kemudian berhasil mengevakuasi penghuni rumah menggunakan truk dari satuan Brimob. Ketika penjagaan agak longgar, massa berhasil memasuki rumah. Kaca-kaca pun rontok. Tak lama aparat yang bertambah banyak menghalau massa ke luar gang.

Kerumunan massa bertambah besar. Datang dari berbagai penjuru Kota Pontianak. Saat itu pelaku perkelahian yang sebelumnya berada di Polsekta Pontianak Selatan sudah dipindahkan ke Poltabes Pontianak setelah melalukan visum di RS Bhayangkara Polisi daerah Kalbar.

Namun lantaran masih tetap ingin mencari pelaku pemukulan atas Syarif, sekelompok massa mendatangi Polsekta Pontianak Selatan untuk melihat langsung pelaku pemukulan.

Sementara itu meski dijaga ketat aparat kemanan, massa tetap memaksa masuk ke dalam rumah.”Hancurkan jak!” Terdengar teriakan lantang dari kerumunan massa. Dibalas sahut-menyahut.

Amarah massa tidak terbendung. Kaca rumah dipukul, semua barang yang ada tidak luput dari pukulan. Mobil yang berada dalam rumah juga menjadi korban.

Tidak puas, sebagian dari massa terlihat naik ke lantai dua. Eksekusi itu mulai sekitar pukul 23.40. Tepat pukul 00.00 aksi penghancuran rumah yang dilakukan puluhan massa reda. Sementara massa yang lain hanya menonton.

Wakapoltabes, AKBP Andi Musa, SH turun dalam kerumunan. Ia menghimbau Brimob yang sejak awal melakukan penjagaan untuk mengarahkan massa ke luar. ”Rekan Brimob, tolong rekanrekan semua dihimbau meninggalkan lokasi,” katanya. Sekitar pukul 00.10, kerumunan massa di rumah 122 A mulai berkurang. Hanya tinggal aparat berjaga-jaga.

Meskipun sempat ramai, namun sebagian besar kawasan di Pontianak justru aman dan biasa-biasa saja. Rumah Makan Melda buka hingga pagi. Laris-manis seperti biasa. Jaraknya hanya sekitar 6 blok ruko dari tempat kejadian perkara (TKP). Begitupun warung pecel lele Lamongan di depan Gang 17. Tetap buka seperti biasa. Pasar Flamboyan yang lokasinya hanya ratusan meter dari TKP juga aman. Kota Pontianak kembali normal walaupun Poltabes menetapkan siaga satu sejak Jumat (7/12/2007).

PROVOKASI
Jumat, sekitar pukul 21.00. Ratusan warga kembali memenuhi Jalan Gajah Mada. Tepatnya di depan Cafe Tapaz. Terdengar tembakan ke udara dari petugas. Segera terjadi kemacetan pada arus lalu lintas di ruas pecinan terbesar Kota Pontianak.


Kerumunan massa di Jalan Gajahmada, Pontianak

Beberapa pengendara terpaksa balik kanan akibat jalan sudah terhalang massa. Dari beberapa informasi yang berkembang, awalnya terjadi perkelahian kecil antar oknum pemuda di salah satu warung kopi, tetapi belum jelas pemicunya.

Petugas mengamankan satu orang yang diduga sebagai tersangka. Tiba-tiba sebuah sepeda motor dengan dua pengendara melintas sambil berteriak. Aksi ini segera diceagh dan keduaduanya diciduk petugas.

Melihat kerumunan massa yang makin ramai, Kapolda Kalbar Brigjen Drs Zainal Abidin Ishak, turun ke lokasi. Disusul Walikota Pontianak, dr H Buchary A Rachman. Kondisi berangsur normal. Pukul 23.00 lalu lintas benar-benar kembali normal.

Safrudin, Ketua Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) Kota Pontianak yang berada di TKP, mengaku tak tahu siapa oknum yang diduga berkelahi. ”Kejadian ini hanya kriminalitas murni. Serahkan sepenuhnya kepada polisi,” himbaunya. Menurutnya, mungkin ada sebagian masyarakat belum tahu hasil keputusan dari pertemuan di siang harinya.

Pukul 13.00 di Mapoltabes, terjadi kesepakatan damai dari kedua tokoh masyarakat, baik Tionghoa maupun tokoh masyarakat Melayu di Ruang Balai Kemitraan Mapoltabes.

SAMPAIKAN PERMOHONAN MAAF
Perwakilan Majelis Adat Budaya Tionghoa (MABT), Sutadi SH, menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada warga Kota Pontianak. MABT sangat menyesalkan terjadinya perkelahian dari kesalahpahaman oknum warganya sehingga korban dirawat di rumah sakit.


Sebuah mobil dan vihara Panca Dharma Sradha yang juga diamuk massa. Foto: Lukas B Wijanarko.

Pihaknya mempercayakan pada kepolisian untuk menyelesaikannya konflik secara hukum. Sutadi menambahkan, perlunya kerja sama antar etnis. Ia berharap, pertemuan itu tak sampai di permohonan maaf saja, tapi harus ada kelanjutannya dalam bentuk kerja sama yang saling tolong-menolong dan harga-menghargai.

Sementara Ateng Sanjaya, warga Tionghoa yang dua puluh tahun berpofesi menjadi pemadam kebakaran mengatakan, selama ini warganya selalu menjaga kesatuan dan kesatuan. Ia berprinsip di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.

Perwakilan Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) Syafarudin mengatakan, kejadian kriminal seperti Gang 17 jangan sampai terulang. “Pertikaian kemarin malam hendaknya menjadi hikmah kepada kita semua, sehingga kita bisa duduk bersama tanpa melihat dari suku dan bahasa apa,” ungkapnya. Insiden itu, menurutnya, disebabkan kurangnya komunikasi kedua belah pihak.

Dialog para tokoh difasilitasi Mapoltabes Pontianak yang dipimpin langsung Wakapoltabes, Andi Musa, SH dengan mengundang tokoh masyarakat, diantaranya MABT, MABM, Yayasan Bhakti Suci, tokoh agama dan perwakilan warga. Acara ditutup dengan doa, foto bersama yang menampilkan tokoh masyarakat bergandengan tangan.

PONTIANAK KONDUSIF
Sabtu (8/12/2007), Kota Pontianak berangsur-angsur mulai kondusif. Sebelumnya kota sempat mencekam karena simpang siurnya pemberitaan yang beredar di tengah masyarakat.

Sepanjang jalur Jalan Gajahmada dan Tanjungpura kondisi perdagangan berjalan normal. Hanya rumah tersangka di Gang 17 masih dalam pengawalan kepolisian meskipun tak seketat hari petama. Konsentrasi massa juga tak ada lagi karena polisi membubarkan mereka. Masyarakat melakukan aktivitas seperti biasa seakan tak terpengaruh keadaan sebelumnya. Ruko-ruko yang sehari sebelumnya tutup, mulai buka kembali.

Pada Minggu (9/12/2007) Kota Pontianak benar-benar aman. Mayarakat sudah beraktivitas seperti biasanya. Tak tampak lagi toko yang tutup atau yang dijaga ketat. Di pasar tradisional harga barang tetap normal. Tidak terjadi lonjakan seperti yang ditakuti masyarakat.
...
Pertikaian ini tentu saja membuat banyak orang khawatir.
Betapa tidak? Belum juga hilang diingatan kita peristiwa Sanggau
Ledo dan Sambas sepanjang tahun 1999 hingga 2000, kini
kemungkinan rusuh massal itu kembali terjadi. Kalimantan
Barat selama ini sudah dicap daerah rawan konflik. Ada yang
mencatat kerusuhan etnis itu terjadi sejak jaman penjajahan
Belanda. Paling tidak yang bisa dicatat, kerusuhan itu tejadi
sejak 32 tahun lalu. (Stefanus Akim)

*Edisi Cetak Dimuat Majalah Suara Baru, Jakarta Edisi Januari-Pebruari 2008

[ read the rest of this entry » ]

Tuesday, March 4, 2008 |