Seni dan peradaban sama tuanya dengan keberadaan manusia. Bahkan sejak manusia ada seni, baik tari, musik dan lukis juga sudah ada sesuai dengan kemampuan daya nalar manusia saat ini.
Kini, di zaman modern seni dipelajari bahkan di sekolah-sekolah formal hingga perguruan tinggi. Di Kalimantan Barat sendiri banyak anak muda yang melanjutkan study perguruan tinggi di Jawa. Alasannya ada keinginan untuk mengembangkan ilmu seni secara formal namun tak ada wadah untuk menampung hal tersebut. english version
“Memang selama ini untuk belajar seni secara formal orang Kalimantan Barat harus menyeberang pulau di Jawa. Padahal Bumi Khatulistiwa kaya akan beragama seni namun jauh tertinggal dari daerah lain,” kata T Aristo Marajuang.
Pegiat seni tari dan musik tradisional Dayak ini mengaku prihatin dengan kondisi seperti saat sekarang ini. Untuk belajar seni formal teman-temannya harus berangkat ke Jawa utamanya di Yogyakarta. “Sudahlah biaya mahal dan jauh, sementara mengapa kita tidak membuat di Kalbar padahal sangat kaya akan potensi tersebut,” Aristo yang akrab dipanggil Oce.
Menurut Ketua Kreasi Instrumen Seni Borneo (KISBO), selama ini banyak pengiat seni di Kalbar. Namun sangat disayangkan hasil kreasi mereka baik itu seni tari, seni lukis, seni rupa, drama dan lainnya masih kurang mendapatkan penghargaan.
“Ini adalah persoalan yang harus diselesaikan bersama antara masyarakat, pemerintah dan pegiat seni,” kata penata musik terbaik mewakili Kalbar di Jakarta tahun 2002 serta pernah juga menyabet kategori yang sama di Kabupaten Pontianak saat bergabung bersama Sanggar Senggalang Burong.
Alumnus Fisipol Untan ini berpesan agar masyarakat sekarang terutama generasi muda tidak meninggalkan ciri khas daerah. Dimana seni musik dan tari yang ada sekarang banyak dipengaruhi musik moderen. “Silahkan berkreasi dengan tari apa saja, musik apa saja namun jangan sampai meninggalkan ciri daerah baik teman-teman pegiat seni Dayak maupun Melayu,” pesan dia.
Ia melihat selama ini belum ada dukungan signifikan dari pemerintah. Seakan para seniman berjalan sendiri dan pekerjaan yang tak menjanjikan. Kembali menyinggung soal kampus seni, ia berharap bisa menggali potensi yang ada. Sebab bumi Borneo ini sangat kaya raya akan seni.
“Jika ini terbentuk maka akan memajukan daerah. Tak mungkin orang Kalbar terus-menerus belajar di Jawa, mengapa disini tak dibuat sebab di sini sangat layak. Sehingga maju seperti di Bali, Yogyakarta, ata Jawa,” kata dia.
Selama ini banyak pekerja seni yang terlantar oleh pemerintah. Misalnya di Taman Budaya, atau dimana-mana banyak yang tak mendapatkan perhatian serius.
Jika dibandingkan dengan seniman di Jawa, seniman di Kalbar masih jauh dari perhatian. Sementara kesejahteraan mereka juga jangan ditanya. “Kalau soal pengajar seni saya rasa tak menjadi persoalan, sebab banyak yang sudah menyelesaikan S-1 Seni di Jakarta. Selain itu dosen toh tidak harus sarjana, sebab banyak yang mampu dengan belajar otodidak. Justru kemampuan kreasi mereka sangat tinggi dan bernilai.
Untuk berperan agar seni terus hidup dan bergairah ia beberapa kali menggelar festival. Misalnya festival musik dua warna, Dayak dan Melayu , seni tato Juli 2006 di Sintang tempat kelahirannya. Sebanyak 23 group saat itu hadir dan menunjukkan kebolehannya. Nantinya kegiatan serupa akan digelar di Pontianak dan Sintang serta kabupaten lain yang dianggap layak.
Ia berpesan, “Jangan seni dibawa ke agama ataupun politik. Mari tunjukkan bahwa Kalbar memiliki tiga suku besar yaitu Dayak, Melayu dan Cina. Mari selalu bersatu untuk berapresiasi dalam karya seni dan budaya masing-masing untuk dimajukan. Kampus seni adalah aset daerah yang harus dijaga dan diperjuangkan, sebab seni dan budaya adalah identitas daerah,” pesan dia.
Menurut catatan JU Lontaan, dalam sebuah bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, yang terbit tahun 1975, Bangsa Dayak di Kalbar terbagi berdasarkan sub-sub ethnic yang tersebar di seluruh kabupaten di provinsi tersebut.
Berdasarkan Ethno Linguistik dan ciri cultural gerak tari Dayak di Kalbar menjadi empat besar. Pertama, Kendayan atau Kanayatn Group : Dayak Bukit (Ahe), Banyuke, Lara, Darit, Belangin, Bakati’ dan lain-lain. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Pontianak, Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang dan sekitarnya.
Kedua, Ribunic atau Jangkang Group : Dayak Ribun, Pandu, Pompakng, Lintang, Pangkodatn, Jangkang, Kembayan, Simpakng dan lain-lain. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sanggau Kapuas, Balai Bekuak Kabupaten Ketapang dan sekitarnya. Ketiga, Iban atau Ibanic : Dayak Iban dan sub-sub kecil lainnya, Mualang, Ketungau, Kantuk, Sebaruk, Banyur, Tabun, Bugau, Undup, Saribas, Desa, Seberuang, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sambas (Sajingan di kawasan perbatasan), Kabupaten Sanggau/Malenggang dan sekitarnya, Kabupaten Sekadau (Belitang Hilir, Tengah, Hulu) Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Serawak, Sabah dan Brunai Darusalam. Keempat, Tamanic Group : Taman, Tamambaloh dan sub nya, Kalis, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Kapuas Hulu.
Selain terbagi menurut ethno linguistik yang terdata menurut jumlah besar groupnya, masih banyak lagi yang belum teridentifikasikan, karena menyebar dan berpencar dan terbagi menjadi suku yang kecil-kecil. Misalnya Dayak di Kabupaten Ketapang, daerah Persaguan, Kendawangan, daerah Kayong, Sandai, daerah Krio, Aur kuning, daerah Manjau dan sebagainya.
Kemudian Dayak daerah Sambas, yaitu Dameo atau Damea, Sungkung daerah Sambas maupun Bengkayang dan sebagainya. Kemudian daerah Sekadau ke arah Nanga Mahap dan Nanga Taman, Jawan, Jawai, Benawas, Kematu dan lain-lain. Selanjutnya Kabupaten Melawi, di antaranya Linoh, Nyangai, Ot Danum (masuk kelompok Kalteng), Leboyan dan sbagainya. Kemudian Kapuas Hulu diantaranya: Suhaid atau Suaid, Mentebah, Suruk, Punan, Bukat, Kayan (masuk kelompok Kaltim), Manday dan sebagainya.
Pembagian berdasarkan ethnolinguistik sangatlah menarik untuk di kaji dan perkuat berdasarkan Observasi, analisa, dan study lapangan.
Maka berdasarkan group terbesar masing-masing kelompok, tari Dayak di Kalbar, terbagi sebagai berikut: Kelompok Kendayan/Kanayatn group, sampai kepada Jangkang group, gerak tarinya mempunyai ciri yang rancak atau keras, menghentak, kejang-kejang, stakato. Untuk Kabupaten Sanggau Kapuas gerakan tersebut mulai timbul variasi, ada yang lembut dan ada juga yang keras.
Pengaruh tari dari wilayah Kendayan group Kabupaten Pontianak menyebar berdasarkan arah mata angin dalam radius tertentu, sampai ke Sanggau Kapuas. Hal ini dikarenakan Kelompok Kendayan/Kanayatn (Bukir/Ahe) mayoritas bermukim di Kabupaten Pontianak, Landak, dekat dengan kota pantai, seperti Pontianak, Mempawah dan sebagainya yang merupakan pintu masuk ke daerah pedalaman, hingga dapat menjadi filter. Demikian juga dapat mengalkulturasikan gerak tarinya dan yang memengaruhinya, menyebabkan pengaruh penyerapan budaya yang secara langsung menyentuh pada komunitasnya.
Kondisi ini juga menurut Lontaan, secara filosofis dipengaruhi karaktaristik masyarakatnya yang keras (karena berhadapan dengan budaya urban), hingga mempengaruhi cultur social di bidang kesenian tarinya. Ciri stakato dan hentakan-hentakan lebih dominan pada kaki dan tangan, terutama tumit (Kendayan Group).
Demikian juga iringan musiknya mempunyai irama yang berdinamika, keras, tegas. Walaupun umumnya suku Dayak lebih mengambil objek tari yang terdapat pada alam. Ibanik, mulai dari kabupaten Sekadau, sampai ke Kapuas Hulu serta kelompok Tamanik dan Dayak yang lainnya yang bermukim di daerah Kapuas Hulu-Kalbar, mempunyai cirri gerak yang lembut, tegas, lincah, mempunyai gerak yang mengalir.
Dominan ciri gerak tampak pada pinggul, kaki melangkah menyilang, dan cirri gerak tangan banyak menirukan gerak alam, burung-burung, cirri simetris (sebangun, red) dan gerak asimetris (tidak sebangun) tidak terlalu mendominasi walaupun ada untuk Dayak Kapuas Hulu. Sedangkan instrumen musiknya variatif baik musik tetabuhan maupun musik sapek. Tidak sekeras, dan stakato seperti wilayah Kabupaten Pontianak sampai ke Kabupaten Sanggau.
Ciri-ciri gerak tari kelompok Ibanic Group, mulai dari Kabupaten Sekadau sampai Kapuas Hulu tidak banyak mengalkulturasi atau tersentuh gerak tari luar (urban), karena ketika pendatang yang membawa kesenian luar tiba, mereka terfilter dan tertranspormasi di wilayah yang disinggahi pertama.
Baru kemudian menyebar ke daerah lainnya demikian juga ciri gerak kelompok Kapuas Hulu lainnya, kecuali Dayak Suaid ( terpengaruh gradasi budaya karena pengaruh masuknya agama kristiani di masa lalunya) Untuk suku Dayak Kayan dengan sub nya gerak tarinya lebih halus lagi dan lembut sesuai dengan iringan musik sapeknya. Demikian juga yang bermukim di Serawak maupun Kalimantan Timur, dan suku serumpunnya yakni Dayak Kenyah. Tari Ngajat/Nyambut Temuai Datai Dayak Mualang (Ibanic Group) Kabupaten Sekadau.*
Seni Tari dan Kampus Seni
Pentingnya RTRW bagi Mempawah
Keberadaan Tata Ruang yang dikukuhkan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) sudah menjadi sebuah kebutuhan pokok bagi sebuah daerah. Sebab salah satu pertimbangan investor yang akan menanamkan modalnya memerhatikan Tata Ruang.
Ketua DPRD, H Rahmad Satria SH, MH, mengungkapkan hingga kini Kabupaten Pontianak belum memiliki Rencana Tata Ruang dan Wilayah. Bupati Pontianak Drs H Agus Salim MM diminta segera menyampaikan untuk dibahas dan ditetapkan menjadi peraturan daerah.
Ia mengatakan RTRW Kabupaten Pontianak ini sangat penting untuk mewujudkan tata ruang wilayah yang optimal, rapi dan berkualitas sesuai dengan kebijaksanaan pembangunan, kebutuhan pembangunan dan daya dukung lingkungan melalui pemanfaatan sumber daya alam serta sumber daya hutan.
Ditegaskan, RTRW Kabupaten Pontianak, juga sangat diperlukan untuk peningkatan produktivitas dan kelestarian lingkungan dalam rangka mencapai keseimbangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah.
Menurut Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Pontianak ini, tak hanya kabupaten, kecamatan pun harus memiliki rencana tata ruang wilayah yang menunjang RTRW kabupaten. Untuk itu maka harus diperdakan dengan dasar kebersamaan, bukan kemauan sepihak eksekutif saja.
“Diperdakannya RTRWK bukan tanpa dasar hukum. Semua itu berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian berubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Provinsi yang menjadi rujukan dalam penyusunan RTRW kabupaten. Dengan tidak adanya RTRWK, daerah ini akan sulit untuk maju dan menjual potensi daerah ke para investor. Dan ini menjadi keprihatinan jajaran DPRD sejak lama,” tutur politisi yang memulai kariernya sebagai advokat.
RTRW itu begitu penting, sebab menyangkut kelangsungan pembangunan. Pemkab Pontianak jangan lamban menyampaikannya ke DPRD. RTRW ini tak boleh ditunda lagi. Kalau bisa, dianggarkan dalam perubahan anggaran atau ABT tahun ini.
“Jika ditunda terus maka kesempatan untuk mendapatkan investasi baru juga tertunda. Malah, investor yang sudah berniat masuk, bisa saja kabur karena tak mendapat kepastian hukum tentang tata ruang wilayah. Justru, dengan RTRWK, investor akan mudah mengenali atau memahami potensi wilayah yang ada di Kabupaten Pontianak. Di mana wilayah peruntukan pertanian, pertambangan, industri dan perdagangan,” tutur Rahmad.
Mempawah sendiri adalah Ibu Kota Kabupaten Pontianak yang berbatasan langsung dengan Kota Pontianak. Saat ini memiliki 16 Kecamatan, masing-masing Mempawah Hilir, Sungai Kunyit, Sungai Pinyuh, Siantan, Sungai Ambawang, Kuala Mandor B, Sungai Raya, Sungai Kakap, Kubu, Terentang, Batu Ampar Kubu, Rasu Jaya. Terakhir dimekarkan empat kecamatan lagi, Segedong dan Anjongan bersamaan serta Sadaniang dan Mempawah Timur.
Jarak antara Kota Pontianak dan Mempawah sekitar 67 KM. berdasarkan data BPS jumlah penduduk kabupaten dengan Bupati Drs H Agus Salim MM dan Wakil Drs H Abang Rasmansyah MM ini tahun 2000 berjumlah 624.866 jiwa.
Umumnya penduduknya bekerja di sektor pertanian dan perikanan. Bagi mereka yang tinggal di daerah agraris mengusahakan pertanian padi dan palawija serta perkebunan karet dan kelapa. Sementara daerah pesisir bekerja sebagai nelayan, baik memiliki alat tangkap sendiri maupun sebagai buruh tangkap.
Pemkab juga berusaha mengembangkan perkebunan monokultur berupa kelapa sawit. Saat ini yang sudah produksi adalah PT Bumi Pratama Khatulistiwa yang terletak di Kecamatan Sungai Ambawang dan Kuala Mandor B. juga direncanakan akan dikembangkan di Terentang, Kubu dan Batu Ampar serta Rasau Jaya. Upaya ini untuk terkait dengan program Kota Terpadu Mandiri (KTM) sebuah pola baru transmigrasi.
Sebagian masyarakat setuju rencana tersebut, namun sebagian lain tak setuju. Alasan yang tidak setuju pola monokultur membahayakan lingkungan. Belum lagi kelapa sawit dinilai bisa merusak kesuburan tanah.*
Pusat Jangan Plinplan Buat Aturan
Keberangkatan anggota DPRD Kabupaten Pontianak bersama yang lainnya ke Jakarta bukan menuntut diserahkannya uang rapelan PP 37 kepada mereka. Namun meminta agar pusat tidak membuat aturan yang plinplan, sehingga membenturkan legislatif dengan eksekutif, masyarakat, mahasiswa dan NGO.
Penegasan ini dikatakan Sekretaris Fraksi PDIP Andi Rachim Pattarani yang juga ikut dalam aksi tersebut. “Supaya semua tahu keberangkatan dan aspirasi yang disampaikan teman-teman se Indonesia meminta agar pusat lebih tegas. Jangan membuat aturan hukum yang cucok-cabot,” kata dia anggota dewan yang kepalanya plontos ini.
Sebab, tak ada aturan jika sebuah PP bisa dicabut hanya dengan Surat Edaran Menteri atau bahkan hanya lewat statemen jubir presiden. Sementara di Jakarta banyak staf ahli, mestinya dari awal pembentukan PP 37 tahun 2006 sudah dipikirkan. Apalagi belum pernah ada aturan hukum yang berlaku surut.
“Pasal 14 point d yang menyebutkan PP berlaku surut sehingga ada rapel adalah perbuatan pusat. Ini untuk mengadu domba antara DPRD dengan eksekutif, masyarakat NGO dan elemen-elemen yang ada. Apakah ini taktik pusat untuk mengalihkan perhatian terkait banyaknya persoalan yang muncul,” ujar Cecep, panggilan akrabnya.
Hingga saat ini meskipun sudah dianggarkan dalam APBD tahun 2007, belum satu orang pun anggota DPRD Kabupaten Pontianak yang mencairkan dana dimaksud. “Kami terus terang kecewa dengan statamen teman-teman NGO, mahasiswa dan masyarakat yang menyatakan dewan merampok uang rakyat atau tak ada hati nurani. Harus diketahui ini bukan keinginan kami, tapi keinginan pusat. Kita membuat perda mengacu kepada PP 37. Apakah dananya akan dicairkan baik rapel maupun bukan rapel tak masal bagi kami,” tegas dia.
Kepada pihak-pihak yang mengatasnamakan masyarakat juga harus introspeksi diri. Masyarakat yang mana? Jangan terlalu memojokkan diri. Harus juga diingat jika DPRD adalah representasi rakyat, sebab dipilih oleh rakyat dan legitimate. “Kalau menganggap DPRD sebuah lembaga yang tak dibutuhkan, sah-sah saja jika melakukan usulan ke DPR-RI agar mengamendemen UUD 45 yang mengatur tentang DPR,” tutur dia.*