Stefanus Akim
Borneo Tribune, Untan
Universitas Tanjungpura berencana menjadikan etnofarmakologi sebagai pola ilmiah pokok di kampus yang memiliki 15 ribu mahasiswa tersebut. Untuk itu perlu daya dukung alam yang cukup agar program ini bisa berjalan. Etnofarmakologi adalah pendekatan yang luas tentang penemuan obat termasuk observasi, deskripsi, uji eksperimen dan uji bioaktivitas obat-obat pedalaman (indegenous drug)
Rektor Untan, DR. Chairil Efendy, M.Pd, saat diskusi Jurnalisme Lingkungan di Rektorat Untan, Sabtu (19/10) mengatakan, dukungan alam tersebut berguna untuk bahan dasar penelitian dan ketersediaan bahan saat akan digunakan. “Tapi hutan kita harus kuat dulu, jika tidak maka tak akan bisa,” kata mantan Dekan Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan (FKIP) Untan.
Sebelumnya Untan memiliki pola ilmiah pokok gambut dan lahan basah. Namun hal tersebut tak bisa terlaksana dengan baik. Untuk itu direncanakan etnofarmakologi. Alasannya dipilihnya etnofarmakologi yang dipusatkan di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) karena dosennya memiliki perhatian dan komitmen yang sangat serius terhadap persoalan itu.
Chairil juga prihatin dengan kondisi hutan dan penebangan ilegal di Kalimantan Barat. Sebab jika dibiarkan akan berpengaruh dengan kondisi lingkungan dan nutfah yang ada di dalamnya. Belum lagi daya dukung hutan yang akan berkurang.
“Gambut juga supaya tak dieksploitasi, sebab itu akan berpengaruh besar dengan lingkungan, bisa mengakibatkan banjir. Kita tahu gambut bagus menyerap air. Jangan sampai pola ini mengulangi kesalahan zaman Soeharto yang memprogramkan sejuta hektar lahan gambut,” kata dia.
Sementara Nur Iskandar, Pimpinan Redaksi Borneo Tribune, mengatakan, apa yang dilakukan Untan sepertinya bisa matching dengan program-program Pemerintah Kabupaten atau Kota. Ia mencontohkan Kabupaten Sanggau yang akan menyelamatkan plasma nutfah di daerah tersebut. Salah satunya adalah pohon rambutan canting yang hanya ada di Kabupaten Sambas dan hanya ditemukan beberapa pohon saja. “Tapi sekali lagi kita kalah dengan Malaysia, sebab mereka sudah membawa ke sana dan membudidayakannya,” kata dia.
Kabupaten Sambas juga akan melindungi dan memberikan perhatian khusus terhadap penyu hijau yang merupakan satwa khas daerah tersebut. “Harapan kita Untan menjadi sentral penelitian bagi pembangunan daerah ini,” kata alumni Fakultas Pertanian Untan ini.
Pendapat yang sama dilontarkan Yanti Mirdayanti, freelancer Borneo Tribune di Bonn, Jerman. Ia mengusulkan untuk persoalan lingkungan, Untan menjadi pusat penelitian dan bisa menggerakkan lembaga yang lain.
Ia meminta mahasiswa sudah harus bergerak ke isu lingkungan dan menjadi agen of change atau agen perubahan. “Politik sudah, sekarang (mahasiswa) ke lingkungan,” kata Yanti yang beberapa kali pindah domisili, mulai dari Jerman, Peru, Amerika dan kini kembali ke Jerman.
Persoalan lingkungan, termasuk segala ekosistem yang ada di dalamnya di Kalimantan dan Sumatra menjadi perhatian dunia. Setiap hari yang didiskusikan negara-negara maju meliput, hutan, illegal logging, orang utan dan sebagainya.
Yanti juga menyarankan agar Untan mulai membiasakan mahasiswanya menulis. Mulai dari hal-hal sederhana, jurnalistik kemudian tulisan yang lebih berat. “Pengalaman saya kuliah teman-teman cepat sekali menyelesaikan mata kuliah dengan nilai yang bagus. Namun giliran skripsi lama, ternyata persoalannya tak pernah menulis,” kata alumni Sastra Jerman di salah satu perguruan tinggi di Jawa.
Sementara itu Ketua Lembaga Pengkajian dan Studi Arus Informasi Regional (LPS-AIR), Deman Huri Gustira, melihat koran belum memberikan perhatian serius terhadap isu lingkungan. “Persoalannya mungkin di kalangan teman-teman jurnalis isu lingkungan bukan isu yang seksi. Dalam arti jika ini menjadi isu utama belum tentu mengangkat oplah,” timpal Yasmin Umar, Wakil Pimpinan Redaksi Kapuas Post.
Deman mengungkapkan, selama setahun koran di Kalimantan Barat hanya menulis 180 kali terkait lingkungan. Dari jumlah itu hanya satu kali mengangkat isu kerusakan hutan. Selama ini wacana yang diangkat seputar hukum dan politik. Belum lagi di masyarakat timbul semacam stigma menebang kayu di hutan bisa bebas. Sebab sejumlah pelaku illegal logging bisa bebas setelah melalui proses persidangan.
Ia juga mengungkapkan hasil pengkajian LPS-AIR, sumber yang digunakan jurnalis umumnya, LSM, politisi, polisi, dinas kehutanan, sementara akademisi hanya satu kali. “Itu pun bias sebab akademisi yang juga bekerja di lingkungan perusahaan perkayuan,” papar dia.
Model pemberitaan pun hanya talking news (statemen) dari satu pihak saja tanpa cross check. “Harapan kita wacana yang digulirkan bukan hanya hukum atau politik, namun termasuk kerusakan hutan,” harap dia.
Sementara Adriana Sri Adhiati, aktivis lingkungan yang aktif di Down to Earth, sebagai researcher, campaigner, and co-administrator menuturkan, semangat peduli lingkungan orang Kalimantan Barat harus terus dijaga. “Lembaga kami lebih menitikberatkan kepada persoalan dampak lingkungan, juga memantau investasi Inggris di Indonesia, dan menjadi platform bagi kelompok tertindas,” ujar aktivis yang berdomisili di United Kingdom.
Diskusi itu sendiri dihadiri sejumlah LSM lingkungan, praktisi, jurnalis dan mahasiswa. Untuk kegiatan ini Borneo Tribune menggandeng Tribune Institute, EC-Indonesia FLEGT Support Project serta Universitas Tanjungpura. Diskusi di Untan merupakan rangkaian road show di beberapa kabupaten mulai Sambas, Singkawang, Mempawah terakhir di Pontianak.*