Libur satu hari, bertepatan dengan hari raya Imlek, Kamis (7/2) saya manfaatkan untuk jalan-jalan ke wilayah timur Kalimantan Barat. Menggunakan mobil Daihatsu Xenia, kami delapan orang: Nur Iskandar, AA. Mering, Tanto Yakobus, Ukan Tarmidzi alias Bang Fakun, Lazarus, Yohanes Supriyadi alias Lancui serta Bang Rustam, start dari Pontianak sekitar pukul 06.00 pagi.
Bertolak dari Borneo Tribune di Jalan Purnama No 02 , kendaraan yang dikemudian Nuris terus melaju menuju Pontianak Utara. Matahari masih malu-malu menampakkan wujudnya. Embun masih tebal menyelimuti jalan raya. Namun Nuris melaju dengan lincah di antara kendaraan pribadi dan umum yang melintas.
Kurang lebih satu jam, kami tiba di Pinyuh. Pinyuh adalah sebuah kota kecamatan kecil di Kabupaten Pontianak. Lokasinya strategis dan orang biasanya menggelarinya segitiga emas, sebab menjadi tempat persinggahan kendaraan dari arah timur (Ngabang, Sanggau, Sekadau, Sintang, Melawi dan seterusnya) serta dari arah utara (Singkawang, Sambas dan Bengkayang). Serta sebaliknya dari arah Pontianak menuju kawasan utara atau timur.
Meskipun kecil, namun kota ini hidup hingga tengah malam. Warung kopi, warung nasi masih ramai hingga tengah malam. Kondisinya kontras dengan Mempawah – ibu kota Kabupaten Pontianak – yang berjarak sekitar 11 km dari Pinyuh. Pukul 09 malam, Mempawah sudah sepi. Namun keunggulannya kota ini lebih bersih, asri dan tertata. Mungkin karena kota ini adalah pusat pemerintahan.
Pinyuh memiliki ciri khas sebagai kawasan Pecinan. Bangunan di sepanjang jalan merupakan rumah toko (ruko). Di bagian bawah biasanya dijadikan tempat usaha untuk berjualan. Mulai dari sembako, kelontong, pakaian, bengkel, rumah makan, warung kopi, swalayan dan semacamnya. Bagian atas untuk tempat tinggal. Di pinyuh juga dengan mudah kita menemui Kelenteng dan tempat praktik Lauya atau Laoya. Lauya adalah sebutan untuk dukun Tionghoa.
Berbagai makanan ringan yang sebagian besar berbahan dasar makanan laut mudah ditemui di Pinyuh. Umumnya didatangkan dari desa sebelah. Sungai Purun, Semudun, Benteng – kampung nelayan di Mempawah – Sungai Kunyit, bahkan dari Singkawang adalah penyuplai makanan-makanan itu. Makanan ringan berupa ikan asin yang dikemas dalam kotak plastik, ebi, telur puyuh, terasi, telur penyu, kerupuk, serta berbagai macam penganan lainnya.
Ebi ukuran besar dijual Rp45 ribu, sedang Rp30 ribu dan kecil Rp25 ribu. Ikan teri kualitas bagus untuk ukuran bungkus kecil dijual Rp15 ribu, sedang Rp25 ribu dan besar Rp35 ribu. Sementara sotong kering yang bisanya digunakan untuk bahan utama sotong pangkong untuk ukuran besar dijual Rp80 ribu. Sedang Rp45 ribu dan kecil Rp25 ribu.
Usaha paling banyak digeluti di Sungai Pinyuh adalah warung kopi, warung nasi dan bengkel. Mungkin karena menjadi tempat singgah kendaraan umum dan kendaraan pribadi maka usaha-usaha jenis ini paling laku.
Bagi penikmat Chinese Food, Pinyuh juga menjadi surganya. Ada beberapa warung yang menyediakan nasi merah, nasi cap cai, bakmie, mie tiaw, kwee cap, serta yang lainnya.
Usai beristirahat sambil menikmati kopi panas, telur setengah matang dan telur penyu kami melanjutkan perjalanan. Tujuan selanjutnya di Ngabang, ibu kota Kabupaten Landak.
Ngabang sebenarnya juga tempat transit kendaraan darat baik yang berasal dari Pontianak maupun sebaliknya dari kawasan timur. Kota kecil ini juga menjadi tempat menjual barang dari desa sekitar, sebaliknya Ngabang menyediakan kebutuhan masyarakat sekitar. Sejumlah sekolah mulai dari TK hingga SMA dan SMA ada di sini. Para pejabat pemerintah, LSM, dan tokoh masyarakat membuat STKIP di bawah naungan Yayasan Pamane Binua. Direncanakan tahun 2008 sudah bisa menerima mahasiswa. Salah satu yang melatarbelakangi pendirian kampus ini karena Landak kekurangan tenaga guru sebanyak 13 ribu orang. Di sisi lain perguruan tingi di Pontianak tak mampu menyediakan kebutuhan itu ditambah jurusan yang diperlukan juga tidk ada.
Ngabang terus memacu diri untuk sejajar dengan kota-kota lain di Kalimantan Barat. Dulunya Ngabang hanyalah sebuah kota kecamatan, namun seiring pemekaran Kabupaten Pontianak menjadi Kabupaten Landak dan kabupaten induk perkembangannya sedemikan cepat. Tentu saja dengan beberapa ekses negatif yang tak dapat dihindari.
Di Ngabang, juga menyempatkan diri singgah di Kampung Raja. Dinamakan demikian karena kampung ini dulunya adalah pusat kerajaan Landak. Sisa kerajaan ini masih terlihat dengan berdirinya Istana Ismahayana serta rumah-rumah tua milik para petinggi kerajaan zaman dahulu. Sebelumnya kami bertemu dengan Bupati, Adrianus Asia Sidot.
Perjalanan dilanjutkan di Kota Sanggau. Kota Sanggau yang meupakan ibu kota Kabupaten Sanggau cukup besar dan padat. Mungkin jika dibandingkan dengan Singkawang jauh lebih besar. Sejumlah bank BUMN dan swasta, salah satunya Danamon membuka cabang di kota ini. Hotel dan penginapan juga cukup banyak dari yang kelas biasa, melati, hingga yang cukup berkelas. Begitu pun cafe serta tempat makan lainnya.
Kawasan pemukiman dan tempat wisata yang cukup menarik berada di Sanggau Permai. Orang di sana menyebutnya Bogor. Lokasinya yang berada di atas bukit, jalan berkelok-kelok, udara segar dan dingin, pemandangan indah serta sejuk lah yang menginspirasikan orang menyebutnya dengan nama itu. Di sana juga ada beberapa villa dan tempat pemancingan. Sanggau Permai dirancang oleh mantan Bupati Sanggau Kol (Pur) H. Baisuni saat ia memerintah di sana.
Malam harinya setelah menikmati perayaan Imlek dan makan malam kami menginap di Villa Yerusalem. Villa ini milik salah satu pengusaha Tionghoa yang akrab dipanggil Akim. Berada di sebuah bukit dan terpencil dari pemukiman menjadikannya tempat yang sangat enak untuk beristirahat.
Dari villa ini pada malam hari kita bisa melihat lampu-lampu di Kota Sanggau. Pagi hari kita disambut hangatnya mentari yang berlawanan dengan dinginnya udara serta kabut tipis. Sejauh mata memandang yang ada hanya hamparan hijau tumbuhan. Tak ada kebisingan. Villa ini bertingkat tiga dengan cukup banyak kamar, tempat tidur, sound system, peralatan masak, listrik dan air. Sayang, kami buru-buru harus bertemu Bupati Sanggau, Yansen Akun Effendi sehingga kami pagi-pagi harus meninggalkan villa.
Menjelang siang, kami kembali ke Pontianak. Tubuh sudah capek dan mata ngantuk. Tinggal pak Nuris yang masih semangat. Sejak berangkat ia mengendarai mobil tak digantikan. Dalam perjalanan kami singgah di Gunung Seha, Pahauman. Membeli rebung, tengkuyung (sejenis siput sungai) dan Nuris membeli Katoro atau Ambin yang digunakan masyarakat Dayak untuk membawa barang. Tempat singgah terakhir sebelum tiba di Pontianak di warung Pengkang. Tiba di Pontianak sekitar 19.00 dan langsung kejar deadline.
*Keterangan Foto:
(1) Rauji, seoarang penjual rebung di Gunung Seha Pahauman, Kabupaten Landak.
(2) Memilih Ebi
(3) Terasi yang Dibungkus Daun Nipah
(4) Menikmati Sungai Landak di Pangkalan Matalaya, Kampung Raja
(5) Telur Penyu
(6) Pemandangan Sanggau di Villa Yerusalem
(7) Siap-siap Melanjutkan Perjalanan
(8) Pengamen di Sungai Pinyuh
(9) Sujan, Salah seorang Penjual Tengkuyung di Gunung Seha, Pahauman
(10) Ayo Semangat di Villa Yerusalem
(11) Mejeng dengan Latar Belakang Villa Yerusalem.
**Foto: AA. Mering
4 komentar:
jadi inget waktu ke desa2 di ujung2 kabupaten, makan ama umbud kelapa dan telor kocok di goreng trus ama nasi yang berasal dari hasil panen mereka. wah rasanya nikmat banget, gak ada lampu cukup pelita menemani, bener2 tenang jauh dari hiruk pikuk kota...
wah.. asyik tuh liat perjalanan nya :) oiya bang, jangan lupa malam ini di plasa telkom yah :)
Saat sumpek dengan rutinitas, jalan-jalan ke kampung adalah obat kepenatan yang paling mujarab.
Bang Rizko N bang Hernawan trims tanggapannya. Maaf malam itu saya tak bisa ikut. Mering sudah kirim SMS memberitahukan kami tak bisa ikut.
Maju terus blogger Pontianak
wah rebungnya menggiurkan bang :)
Post a Comment