Menunggu Motor Pepet Tiba

Oleh: Stefanus Akim


MOTOR PEPET
Para pelajar dari Kampung Mungguk, Kecamatan Ngabang menggunakan motor pepet sejenis motor klotok untuk pergi sekolah. Setiap siswa patungan Rp60 ribu sebulan untuk ongkos membeli solar. FOTO: AA. Mering.
___________________________________________________


Matahari sudah condong ke barat. Hawa panasnya masih membakar kulit. Tiga siswi berseragam baju putih dan rok biru bercengkerama sambil duduk di pangkalan Matalaya, Desa Raja, Ngabang. Masing-masing memegang buku tulis yang dikibas-kibaskan ke arah tubuh untuk dijadikan kipas. Udara panas. Titik-titik peluh yang keluar dari pori-pori menyatu mengalir membasahi wajah-wajah sawo matang hampir kehitam-hitaman itu.

Pangkalan Matalaya, hanya terdiri dari dua tonggak balok belian yang menancap miring di dasar sungai. Ia dihubungkan dengan kayu serupa yang melintang.

”Kami menunggu motor pepet, mau pulang ke rumah di Kampung Mungguk,” kata Sumiati, salah seorang dari ketiga siswi itu.
Kedua temannya, Yana dan Yani, mengangguk malu-malu.

Perkenalan saya dengan ketiganya terjadi tak sengaja. Saat mengunjungi Kampung Raja, saya melihat mereka duduk di sisi sungai. Saya berpikir mereka anak sekolah yang bolos, ternyata sedang menunggu jemputan untuk pulang ke rumah.

Sumiati, Yana dan Yani bersekolah di tempat yang sama, SMP Negeri 2 Ngabang. Usia satu dengan yang lain tak terpaut jauh, antara 13 hingga 14 tahun. Dari Pangkalan Matalaya dibutuhkan waktu satu jam lagi berjalan kaki untuk tiba di sekolah tersebut.

Usai jam sekolah sekitar pukul 12.00, mereka kembali ke Pangkalan Matalaya. Selama 1 jam berjalan di tengah panasnya terik matahari, barulah bisa mengaso di Pangkalan Matalaya. Tiba di Matalaya, masih dibutuhkan waktu sekitar 1 jam lagi barulah motor pepet tiba. Motor pepet sebutan untuk motor klotok. Pukul 14.00 mereka beranjak pulang ke kampung.

”Kami sampai di rumah biasanya jam 3 (pukul 15.00) sore,” timpal Yana.

Hari ini jemputan agak lama. Sebab, Dede yang menjadi juru mudi sekaligus siswa kelas 2 Aliyah pulangnya agak lambat. Usai jam sekolah ia menyinggahi teman-temannya yang sudah menunggu di pangkalan.

Untuk mengganti ongkos membeli minyak solar, setiap siswa dikenakan biaya Rp60 ribu sebulan. Ada sekitar 20 siswa/siswi yang menggunakan motor pepet milik Dede. Uang tersebut biasanya disetor awal bulan, namun jika terlambat sampai akhir bulanpun Dede mafhum, sebab tujuannya saling membantu agar bisa sama-sama mengenyam pendidikan.

Dari Kampung Mungguk ada tiga buah motor pepet yang mengangkut siswa-siswi. Juru mudi umumnya sekalian sekolah. Jika sakit barulah digantikan oleh orang lain. Bisa ayah, paman atau saudara.

Jarak antara Ngabang dan Kampung Mungguk tempat para siswa itu berasal sekitar 9 kilometer jika ditarik lurus. Jarang ada yang menggunakan jalan darat. Selain jauh juga penuh lubang. Aspalnya sudah mengelupas.

”Jalan darat jahat. Banyak lobang,” tutur Yana, saat kutanya mengapa tak menggunakan jalan darat. Arti ucapannya, jalannya jelek banyak lubang menganga.

Tak ada oplet atau kendaraan umum angkutan pedesaan menuju desa di hulu Sungai Landak itu. Jalannya rusak dan untuk menyeberangi anak sungai yang lebarnya 15 meter menggunakan jembatan gantung.

Tak hanya pulang sekolah yang butuh perjuangan, berangkat sekolahpun juga sama. Mereka harus bangun pukul 04.30. Mandi, menyiapkan buku, dan menunggu motor pepet. Pukul 05.00 motor pepet berangkat, jika terlambat terpaksa ditinggalkan. Sebab harus tiba pukul 06.00 dan mengejar masuk sekolah pukul 07.00 tepat.

”Sering terlambat,” tanyaku.
”Jarang. Tapi kalau terlambat dihukum. Biasanya bersih-bersih kelas, WC atau ruang guru,” papar Yani.

“Di kampung kami tak ada SMP, hanya SD jak,” sambung Sumiati.

Desa Mungguk masuk dalam Kecamatan Ngabang, berbatasan langsung dengan ibu kota kabupaten. Di desa itu ada sekitar 200 kepala keluarga. Penduduknya umumnya bekerja sebagai petani karet dan menanam padi.

***

Kepala Dinas Pendidikan Kalimantan Barat, Ngatman mengatakan, tahun 2008 ini Dana Alokasi Umum (DAK) Pendidikan bisa mencapai Rp507 miliar. Jumlah itu meningkat tiga kali lipat dari tahun 2007, yang sebesar Rp169 miliar. Tahun 2007 tiap kabupaten/kota di Kalbar memperoleh DAK bidang pendidikan berkisar antara Rp13-16 miliar.

Dana itu untuk memperbaiki sekolah yang rusak. Disalurkan langsung ke kabupaten/kota. Sementara peringkat kelulusan tingkat SMP masih di posisi 23 dari 33 provinsi tahun 2006 dan tingkat kelulusan SMA hasil UAN 2006 pada level 17 nasional. termasuk angka buta huruf yang masih tergolong tinggi.

Anggota DPRD Kalbar, Katarina Lies meminta agar dana tersebut benar-benar dimanfaatkan secara optimal. Ia minta agar daerah pedalaman yang jarak sekolah dengan pemukiman jauh menjadi perhatian utama. Apa lagi anak-anak sekolah harus berjalan satu hingga dua jam untuk tiba di sekolahnya.

****

Matahari makin condong ke barat. Di hilir terdengar pekikan motor pepet. Ketiganya bergegas, berdiri dan menengok ke arah Sungai Landak yang airnya cokelat karena aktivitas PETI dan perkebunan sawit.

Motor Pepet itu terus melaju dan meninggalkan suara yang memekakkan telinga. Gelombang yang ditimbulkannya menggoyang-goyangkan sampan yang ditambat di tepi sungai. Beberapa di antara sampan itu terangkat di delta yang rendah. Yang lain membentur tebing tanah atau tiang gertak kayu.

”Hoi...hoi..hoi...,” teriak para siswa laki-laki di motor pepet itu. Mereka melambaikan tangan dengan akrab ke arah kami.

Ketiganya kembali duduk. Ternyata itu bukan motor yang mereka tunggu-tunggu sejak satu jam lalu. Perut yang keroncongan memaksa mereka harus segera kembali ke rumah.

Sepuluh menit kemudian terdengar lagi motor pepet. Suaranya kencang dan memekakkan telinga. Sejurus kemudian mendekat. Suaranya turun naik. Kadang tinggi dan kadang rendah. Seorang siswa laki-laki memegang seutas tali nilon penambat, seorang lagi memegang kemudi, yang lain duduk tak acuh. Sejurus si pemegang tali nilon melompat di atas gertak.

”Bang kami jalan dulu,” Sumiati berguman ditujukan kepada saya.

Bersama kedua temannya ia naik ke atas motor pepet yang akan mengantarkannya pulang ke rumah.

Motor pepet itu berlalu. Ia meninggalkan suara yang memekakkan telinga, gelombang, serta asap hitam pekat keluar dari kenalpotnya. Esok hari rutinitas itu akan terulang kembali.■

[ read the rest of this entry » ]

Monday, February 11, 2008 |

Touring di Wilayah Timur



Libur satu hari, bertepatan dengan hari raya Imlek, Kamis (7/2) saya manfaatkan untuk jalan-jalan ke wilayah timur Kalimantan Barat. Menggunakan mobil Daihatsu Xenia, kami delapan orang: Nur Iskandar, AA. Mering, Tanto Yakobus, Ukan Tarmidzi alias Bang Fakun, Lazarus, Yohanes Supriyadi alias Lancui serta Bang Rustam, start dari Pontianak sekitar pukul 06.00 pagi.

Bertolak dari Borneo Tribune di Jalan Purnama No 02 , kendaraan yang dikemudian Nuris terus melaju menuju Pontianak Utara. Matahari masih malu-malu menampakkan wujudnya. Embun masih tebal menyelimuti jalan raya. Namun Nuris melaju dengan lincah di antara kendaraan pribadi dan umum yang melintas.

Kurang lebih satu jam, kami tiba di Pinyuh. Pinyuh adalah sebuah kota kecamatan kecil di Kabupaten Pontianak. Lokasinya strategis dan orang biasanya menggelarinya segitiga emas, sebab menjadi tempat persinggahan kendaraan dari arah timur (Ngabang, Sanggau, Sekadau, Sintang, Melawi dan seterusnya) serta dari arah utara (Singkawang, Sambas dan Bengkayang). Serta sebaliknya dari arah Pontianak menuju kawasan utara atau timur.

Meskipun kecil, namun kota ini hidup hingga tengah malam. Warung kopi, warung nasi masih ramai hingga tengah malam. Kondisinya kontras dengan Mempawah – ibu kota Kabupaten Pontianak – yang berjarak sekitar 11 km dari Pinyuh. Pukul 09 malam, Mempawah sudah sepi. Namun keunggulannya kota ini lebih bersih, asri dan tertata. Mungkin karena kota ini adalah pusat pemerintahan.


Pinyuh memiliki ciri khas sebagai kawasan Pecinan. Bangunan di sepanjang jalan merupakan rumah toko (ruko). Di bagian bawah biasanya dijadikan tempat usaha untuk berjualan. Mulai dari sembako, kelontong, pakaian, bengkel, rumah makan, warung kopi, swalayan dan semacamnya. Bagian atas untuk tempat tinggal. Di pinyuh juga dengan mudah kita menemui Kelenteng dan tempat praktik Lauya atau Laoya. Lauya adalah sebutan untuk dukun Tionghoa.

Berbagai makanan ringan yang sebagian besar berbahan dasar makanan laut mudah ditemui di Pinyuh. Umumnya didatangkan dari desa sebelah. Sungai Purun, Semudun, Benteng – kampung nelayan di Mempawah – Sungai Kunyit, bahkan dari Singkawang adalah penyuplai makanan-makanan itu. Makanan ringan berupa ikan asin yang dikemas dalam kotak plastik, ebi, telur puyuh, terasi, telur penyu, kerupuk, serta berbagai macam penganan lainnya.



Ebi ukuran besar dijual Rp45 ribu, sedang Rp30 ribu dan kecil Rp25 ribu. Ikan teri kualitas bagus untuk ukuran bungkus kecil dijual Rp15 ribu, sedang Rp25 ribu dan besar Rp35 ribu. Sementara sotong kering yang bisanya digunakan untuk bahan utama sotong pangkong untuk ukuran besar dijual Rp80 ribu. Sedang Rp45 ribu dan kecil Rp25 ribu.

Usaha paling banyak digeluti di Sungai Pinyuh adalah warung kopi, warung nasi dan bengkel. Mungkin karena menjadi tempat singgah kendaraan umum dan kendaraan pribadi maka usaha-usaha jenis ini paling laku.

Bagi penikmat Chinese Food, Pinyuh juga menjadi surganya. Ada beberapa warung yang menyediakan nasi merah, nasi cap cai, bakmie, mie tiaw, kwee cap, serta yang lainnya.

Usai beristirahat sambil menikmati kopi panas, telur setengah matang dan telur penyu kami melanjutkan perjalanan. Tujuan selanjutnya di Ngabang, ibu kota Kabupaten Landak.



Ngabang sebenarnya juga tempat transit kendaraan darat baik yang berasal dari Pontianak maupun sebaliknya dari kawasan timur. Kota kecil ini juga menjadi tempat menjual barang dari desa sekitar, sebaliknya Ngabang menyediakan kebutuhan masyarakat sekitar. Sejumlah sekolah mulai dari TK hingga SMA dan SMA ada di sini. Para pejabat pemerintah, LSM, dan tokoh masyarakat membuat STKIP di bawah naungan Yayasan Pamane Binua. Direncanakan tahun 2008 sudah bisa menerima mahasiswa. Salah satu yang melatarbelakangi pendirian kampus ini karena Landak kekurangan tenaga guru sebanyak 13 ribu orang. Di sisi lain perguruan tingi di Pontianak tak mampu menyediakan kebutuhan itu ditambah jurusan yang diperlukan juga tidk ada.



Ngabang terus memacu diri untuk sejajar dengan kota-kota lain di Kalimantan Barat. Dulunya Ngabang hanyalah sebuah kota kecamatan, namun seiring pemekaran Kabupaten Pontianak menjadi Kabupaten Landak dan kabupaten induk perkembangannya sedemikan cepat. Tentu saja dengan beberapa ekses negatif yang tak dapat dihindari.

Di Ngabang, juga menyempatkan diri singgah di Kampung Raja. Dinamakan demikian karena kampung ini dulunya adalah pusat kerajaan Landak. Sisa kerajaan ini masih terlihat dengan berdirinya Istana Ismahayana serta rumah-rumah tua milik para petinggi kerajaan zaman dahulu. Sebelumnya kami bertemu dengan Bupati, Adrianus Asia Sidot.
Perjalanan dilanjutkan di Kota Sanggau. Kota Sanggau yang meupakan ibu kota Kabupaten Sanggau cukup besar dan padat. Mungkin jika dibandingkan dengan Singkawang jauh lebih besar. Sejumlah bank BUMN dan swasta, salah satunya Danamon membuka cabang di kota ini. Hotel dan penginapan juga cukup banyak dari yang kelas biasa, melati, hingga yang cukup berkelas. Begitu pun cafe serta tempat makan lainnya.



Kawasan pemukiman dan tempat wisata yang cukup menarik berada di Sanggau Permai. Orang di sana menyebutnya Bogor. Lokasinya yang berada di atas bukit, jalan berkelok-kelok, udara segar dan dingin, pemandangan indah serta sejuk lah yang menginspirasikan orang menyebutnya dengan nama itu. Di sana juga ada beberapa villa dan tempat pemancingan. Sanggau Permai dirancang oleh mantan Bupati Sanggau Kol (Pur) H. Baisuni saat ia memerintah di sana.



Malam harinya setelah menikmati perayaan Imlek dan makan malam kami menginap di Villa Yerusalem. Villa ini milik salah satu pengusaha Tionghoa yang akrab dipanggil Akim. Berada di sebuah bukit dan terpencil dari pemukiman menjadikannya tempat yang sangat enak untuk beristirahat.

Dari villa ini pada malam hari kita bisa melihat lampu-lampu di Kota Sanggau. Pagi hari kita disambut hangatnya mentari yang berlawanan dengan dinginnya udara serta kabut tipis. Sejauh mata memandang yang ada hanya hamparan hijau tumbuhan. Tak ada kebisingan. Villa ini bertingkat tiga dengan cukup banyak kamar, tempat tidur, sound system, peralatan masak, listrik dan air. Sayang, kami buru-buru harus bertemu Bupati Sanggau, Yansen Akun Effendi sehingga kami pagi-pagi harus meninggalkan villa.



Menjelang siang, kami kembali ke Pontianak. Tubuh sudah capek dan mata ngantuk. Tinggal pak Nuris yang masih semangat. Sejak berangkat ia mengendarai mobil tak digantikan. Dalam perjalanan kami singgah di Gunung Seha, Pahauman. Membeli rebung, tengkuyung (sejenis siput sungai) dan Nuris membeli Katoro atau Ambin yang digunakan masyarakat Dayak untuk membawa barang. Tempat singgah terakhir sebelum tiba di Pontianak di warung Pengkang. Tiba di Pontianak sekitar 19.00 dan langsung kejar deadline.

*Keterangan Foto:
(1) Rauji, seoarang penjual rebung di Gunung Seha Pahauman, Kabupaten Landak.
(2) Memilih Ebi
(3) Terasi yang Dibungkus Daun Nipah
(4) Menikmati Sungai Landak di Pangkalan Matalaya, Kampung Raja
(5) Telur Penyu
(6) Pemandangan Sanggau di Villa Yerusalem
(7) Siap-siap Melanjutkan Perjalanan
(8) Pengamen di Sungai Pinyuh
(9) Sujan, Salah seorang Penjual Tengkuyung di Gunung Seha, Pahauman
(10) Ayo Semangat di Villa Yerusalem
(11) Mejeng dengan Latar Belakang Villa Yerusalem.

**Foto: AA. Mering


[ read the rest of this entry » ]

Saturday, February 9, 2008 |

Dosen, Menulislah Sekarang Juga!

Oleh: Stefanus Akim

Judul Buku: How to Write: Your Own Text Book
Penulis : R. Masri Sareb Putra
Penerbit : Kolbu
Cetakan pertama : Juli 2007
Halaman : xvi + 192; 13,0 x 19,0 cm
_________________________________

Dosen menulis buku? Mengapa tidak bahkan sudah menjadi keharusan. Di Indonesia mungkin belum lumrah jika tenaga edukatif membuat buku ajar. Di negara-negara barat kondisinya terbalik. Justru dosen yang tidak menulis kemampuannya dipertanyakan.

“Para dosen, menulislah sekarang juga!” si pengarang – R. Masri Sareb Putra – mengawali tulisannya dengan judul yang sangat provokatif. Kata-kata itu seakan menusuk langsung di sanubari. Ia ingin membangkitkan semangat rekan-rekannya sesama dosen untuk mulai membuat buku ajar. Masri meyakini buku adalah salah satu sarana pendidikan yang sangat ampuh. Dalam kaitannya dengan proses belajar-mengajar di pendidikan tinggi, dan agar belajar-mengajar mencapai sasaran yang diinginkan, para dosen dituntut untuk sanggup menuangkan gagasan dan bahan pengajarannya ke dalam tulisan.

Lewat buku ini, pengarang yang juga dosen full time di Fakultas Komunikasi, Universitas Multimedia Nusantara, Jakarta serta di jurusan Hubungan Masyarakat di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia Esa Unggul, ingin berbagi pengalaman dengan rekan-rekannya.

Menurut Masri, untuk memulai menulis yang terpenting adalah jangan ada rasa takut dan enggan. Waktu dan kesibukan jangan dijadikan kambing hitam untuk tidak mulai menulis.

Di bagi dalam empat bagian (bab) besar, buku ini mengulas sangat lengkap tentang kepenulisan buku ajar. Ini dimaklumi sebab teknik yang ada dalam buku ini sudah diujicobakan pada ratusan dosen di berbagai perguruan tinggi. Termasuklah kepada para peserta workshop penulisan buku ajar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Universitas Pelita Harapan, Universitas Mercu Buana, Universitas
Tarumaanegara, Universitas Al Azhar Indonesia, Akademi Sekretaris Tarakanita Kalimalang dan dosen Universitas Esa Unggul.

Masri sudah menulis 37 buah buku, artikel dan feature. Sejak tahun 1984, pria kelahiran Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat ini sudah menghasilkan 2.809 judul artikel. Sebuah karya luar biasa dan membuktikan dirinya penulis yang sangat produktif.

***

Buku ini juga memaparkan cerahnya pasar buku ajar di perguruan tinggi, motivasi, manfaat dan hambatan menulis, bagaimana membuat buku ajar yang powerful, serta membangun hubungan yang baik antara penerbit dan penulis.

Pengalamannya sebagai mantan Promotion Manager PT. Grasindo (1994-1996) dan Managing Editor PT. Indeks (2005-2006) sangat mempengaruhi bab empat tentang hubungan penulis dan penerbit (hal 131 dan seterusnya). Penulis seperti menceritakan sendiri bagaimana dinamika di ruang redaksi, teknik atau kiat agar karya penulis dilirik divisi redaksi dan selanjutnya bagian pemasaran setuju mencetak buku tersebut.

Dua bab pertama, penulis banyak memotivasi dosen-dosen calon penulis buku ajar agar mulai berkarya. Diawali gambaran prospek buku ajar, ragam buku untuk perguruan tinggi. Kemudian motivasi, manfaat dan hambatan menulis. Selanjutnya juga dibahas hal-hal teknis penulisan dan informasi-informasi bermanfaat lainnya. Termasuklah bagaimana gambaran materi yang bisa diraih para penulis.

Secara umum meskipun halamannya tidak terlalu tebal, namun buku yang ditulis penulis yang menyebut dirinya “baru” menulis 32 buku ini enak dibaca. Struktur penulisan khas model bahan ilmiah untuk kalangan kampus, namun bahasanya renyah untuk dikunyah. Bagi penulis yang sudah mahir buku ini tak terkesan menggurui, bagi yang pemula ia tetap santun.

Verba Volant, scripta manen – apa yang diucapkan akan berlalu, tapi yang ditulis abadi selamanya.*

*Edisi Cetak Borneo Tribune 3 Februari 2007

[ read the rest of this entry » ]

Saturday, February 2, 2008 |

Masa Depan Pontianak di Tangan Blogger


Blogger Kota Hantu
Para blogger "Kota Hantu" berfoto bersama di depan Plasa Telkom. Foto: AA. Mering.

KEMARIN malam, saya, Mering dan Yaser memutuskan bertemu dengan teman-teman blogger Pontianak di Cafe Telkom. Ada 13 orang yang hadir. Di antaranya bang Rizko, Yudi, Deni Chemod, Reza, Fifi, Angga, Cangak, Rovich, Zuhri, Fadli, Hernawan dan lainnya.

Sebelumnya kami tak saling kenal. Kenal paling-paling hanya lewat dunia virtual – blog – masing-masing saling ngintip. Pembicaraan mengalir deras. Tanpa sekat. Seakan kami semua sudah kenal satu sama lain sejak lama.

Teman-teman blogger yang ngumpul kali ini profesinya beragam. Ada dosen, wartawan, seniman, operator, arsitek dan sebagainya. Komunitanya pun beda-beda. Ada anggota komunitas Speedy Club, Blogger Pontianak dan Gamers.

Di jalan hujan turun rintik-rintik. Kami mengaso di tenda luar Cafe Telkom. Yang namanya tenda, bagian atasnya pastilah terbuat dari terpal. Namun tenda yang ini lain. Cukup cantik, ada tulisan telkom dengan logo serta bahasa-bahasa advertisement. Hujan yang tercurah dari langit tertahan bahan kedap air itu. Kami aman berbicara berbagai hal terkait komunitas blogger di Pontianak.

Masing-masing orang tanpa dikomando mengungkapkan pengalamannya selama bergelut di dunia blog. ”Ada yang nanya di chat boxm di Pontianak ada bandara ndak ya,” celetuk Mering.

Yang lain nyambung. ”Pontianak ada kucing ndak sih. Sebab orang sana (Kalbar) kan makan orang”.

Suasana makin tambah seru. Ada yang iseng jawab. ”Jangankan kucing, hutan pun habis dikunyah”. Pernyataan teman satu ini pastilah menyinggung soal maraknya illegal logging di Kalimantan Barat.

Yang lain mengungkapkan keinginan untuk belajar menulis hal sederhana namun renyah saat dibaca. Sebaliknya yang lain ingin belajar bahasa HTML. Pernak-pernik blog dan seterusnya. Kematian mantan penguasa Orde Baru juga tak lepas dari bahasan.

***

Cafe Telkom berada di Jalan Teuku Umar. Lokasinya sangat strategis dan berada di tengah kota. Suasananya nyaman. Satu kompleks dengan kantor telkom dan tentu saja fleksi. Di situ juga ada Anjungan Tunai Mandiri – bahasa Melayunya – dan Automatic Taller Machine – bahasa Inggrisnya.

Minuman yang disuguhkan juga beragam. Mulai yang hangat seperti capuccino, kopi, teh dan sejenisnya. Serta yang dingin ada teh es – ini minuman wajibku – ekstra jos susu, hemaviton energi drink, etc. Malam itu saya disuguhi cappuccino hangat oleh teman-teman. Cafe Telkom menjadi salah satu tempat favorit buat blogger Pontianak maupun buat mereka yang hanya sekadar searching, membuka email, atau chatting. Selain letaknya yang strategis, juga tak mesti bayar dan harga minumannya tentu saja tidak semahal seperti cafe-cafe lain. Maka jadi lah tempat ini tempat nongkrong bagi pencinta dunia virtual.

Di Pontianak saat ini, warnet-warnet mulai tumbuh pesat. Jika dulu hanya ada Warnet Mars di Siantan dan Pontianak Mall di Jalan Teuku Umar. Warnet Candika di Jalan KH Wahid Hasyim, Warnet Kopma di Untan atau Stella di Tanjung Hulu. Kini di sejumlah kawasan mulai bertebaran. Di Jalan Tabrani Ahmad tempat saya tinggal, misalnya sudah ada dua tempat. Begitu pun di Jalan Jeranding, Sungai Jawi, kawasan pasar, Gajah Mada, Sepakat dan seterusnya.

Sejumlah hotspot juga dimiliki oleh lembaga dan pribadi-pribadi yang mampu. Di setiap kampus di Untan kini dengan mudah bisa mengakses internet. Tentu saja jika membawa laptop.

***

Dari pertemuan sederhana dan hanya kongkow-kongkow para blogger banyak ide liar namun brilian yang muncul. Misalnya di setiap kawasan umum harus sudah ada hotspot. Sehingga Pontianak tidak malu jika ada tamu yang datang dari luar. Apalagi berbatasan negara langsung dengan Malaysia.

Dalam beberapa bulan terakhir lompatan dunia virtual di Pontianak sudah sangat jauh. Mungkin ini disebabkan dengan semakin terjangkaunya harga komputer (laptop). Serta didukung hotspot yang bertebaran di mana-mana. Ini adalah ancaman dan sekaligus peluang untuk daerah. Bisa dibayangkan jika para blogger itu menulis yang jelek-jelek saja tentang Pontianak – bad news is good news – itu lah muka Pontianak. Begitu pun sebaliknya jika para blogger menulis hal-hal baik, positif, penuh inspirasi maka wajah seperti itu lah yang akan muncul du dunia virtual.

Saat ini jika orang ingin berkunjung ke suatu daerah, maka yang pertama ia akan mencari informasi sebanyak-banyaknya lewat internet. Lewat 10 jari seseorang tak lagi perlu datang ke travel untuk membeli tiket. Bisa dibayangkan dahsyatnya peran blogger terhadap suatu daerah. Tak salah jika dikatakan masa depan Pontianak ke depan di tangan para blogger Pontianak. Apa lagi di tengah semakin tidak bermutunya pemberitaan media mainstream. Tidak informative, bahasa kering-kerontang, provokatif, sadisme, dan seterusnya.

***

Kulirik layar HP low end milikku yang baru saja aku beli dengan menukar HP lama yang sinyalnya kadang ada, kadang hilang. Jam sudah menunjukkan pukul 21.30. “Sudah larut,” batinku.

Aku dan Mering harus segera balik ke kantor. Masih ada tulisan wartawan daerah yang belum selesai diedit. Jika terlambat maka semua proses produksi juga akan terlambat. Akibatnya besok pagi koran datang siang di hadapan pembaca.

Di luar hujan masih rintik-rintik. Kupacu Yamaha YT-115 milik Mering menuju kantor. Kami harus segera tiba agar pekerjaan bisa diselesaikan. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari pertemuan sederhana itu. Masa depan Pontianak di tangan Blogger.

[ read the rest of this entry » ]

Friday, February 1, 2008 |