Menunggu Motor Pepet Tiba

Oleh: Stefanus Akim


MOTOR PEPET
Para pelajar dari Kampung Mungguk, Kecamatan Ngabang menggunakan motor pepet sejenis motor klotok untuk pergi sekolah. Setiap siswa patungan Rp60 ribu sebulan untuk ongkos membeli solar. FOTO: AA. Mering.
___________________________________________________


Matahari sudah condong ke barat. Hawa panasnya masih membakar kulit. Tiga siswi berseragam baju putih dan rok biru bercengkerama sambil duduk di pangkalan Matalaya, Desa Raja, Ngabang. Masing-masing memegang buku tulis yang dikibas-kibaskan ke arah tubuh untuk dijadikan kipas. Udara panas. Titik-titik peluh yang keluar dari pori-pori menyatu mengalir membasahi wajah-wajah sawo matang hampir kehitam-hitaman itu.

Pangkalan Matalaya, hanya terdiri dari dua tonggak balok belian yang menancap miring di dasar sungai. Ia dihubungkan dengan kayu serupa yang melintang.

”Kami menunggu motor pepet, mau pulang ke rumah di Kampung Mungguk,” kata Sumiati, salah seorang dari ketiga siswi itu.
Kedua temannya, Yana dan Yani, mengangguk malu-malu.

Perkenalan saya dengan ketiganya terjadi tak sengaja. Saat mengunjungi Kampung Raja, saya melihat mereka duduk di sisi sungai. Saya berpikir mereka anak sekolah yang bolos, ternyata sedang menunggu jemputan untuk pulang ke rumah.

Sumiati, Yana dan Yani bersekolah di tempat yang sama, SMP Negeri 2 Ngabang. Usia satu dengan yang lain tak terpaut jauh, antara 13 hingga 14 tahun. Dari Pangkalan Matalaya dibutuhkan waktu satu jam lagi berjalan kaki untuk tiba di sekolah tersebut.

Usai jam sekolah sekitar pukul 12.00, mereka kembali ke Pangkalan Matalaya. Selama 1 jam berjalan di tengah panasnya terik matahari, barulah bisa mengaso di Pangkalan Matalaya. Tiba di Matalaya, masih dibutuhkan waktu sekitar 1 jam lagi barulah motor pepet tiba. Motor pepet sebutan untuk motor klotok. Pukul 14.00 mereka beranjak pulang ke kampung.

”Kami sampai di rumah biasanya jam 3 (pukul 15.00) sore,” timpal Yana.

Hari ini jemputan agak lama. Sebab, Dede yang menjadi juru mudi sekaligus siswa kelas 2 Aliyah pulangnya agak lambat. Usai jam sekolah ia menyinggahi teman-temannya yang sudah menunggu di pangkalan.

Untuk mengganti ongkos membeli minyak solar, setiap siswa dikenakan biaya Rp60 ribu sebulan. Ada sekitar 20 siswa/siswi yang menggunakan motor pepet milik Dede. Uang tersebut biasanya disetor awal bulan, namun jika terlambat sampai akhir bulanpun Dede mafhum, sebab tujuannya saling membantu agar bisa sama-sama mengenyam pendidikan.

Dari Kampung Mungguk ada tiga buah motor pepet yang mengangkut siswa-siswi. Juru mudi umumnya sekalian sekolah. Jika sakit barulah digantikan oleh orang lain. Bisa ayah, paman atau saudara.

Jarak antara Ngabang dan Kampung Mungguk tempat para siswa itu berasal sekitar 9 kilometer jika ditarik lurus. Jarang ada yang menggunakan jalan darat. Selain jauh juga penuh lubang. Aspalnya sudah mengelupas.

”Jalan darat jahat. Banyak lobang,” tutur Yana, saat kutanya mengapa tak menggunakan jalan darat. Arti ucapannya, jalannya jelek banyak lubang menganga.

Tak ada oplet atau kendaraan umum angkutan pedesaan menuju desa di hulu Sungai Landak itu. Jalannya rusak dan untuk menyeberangi anak sungai yang lebarnya 15 meter menggunakan jembatan gantung.

Tak hanya pulang sekolah yang butuh perjuangan, berangkat sekolahpun juga sama. Mereka harus bangun pukul 04.30. Mandi, menyiapkan buku, dan menunggu motor pepet. Pukul 05.00 motor pepet berangkat, jika terlambat terpaksa ditinggalkan. Sebab harus tiba pukul 06.00 dan mengejar masuk sekolah pukul 07.00 tepat.

”Sering terlambat,” tanyaku.
”Jarang. Tapi kalau terlambat dihukum. Biasanya bersih-bersih kelas, WC atau ruang guru,” papar Yani.

“Di kampung kami tak ada SMP, hanya SD jak,” sambung Sumiati.

Desa Mungguk masuk dalam Kecamatan Ngabang, berbatasan langsung dengan ibu kota kabupaten. Di desa itu ada sekitar 200 kepala keluarga. Penduduknya umumnya bekerja sebagai petani karet dan menanam padi.

***

Kepala Dinas Pendidikan Kalimantan Barat, Ngatman mengatakan, tahun 2008 ini Dana Alokasi Umum (DAK) Pendidikan bisa mencapai Rp507 miliar. Jumlah itu meningkat tiga kali lipat dari tahun 2007, yang sebesar Rp169 miliar. Tahun 2007 tiap kabupaten/kota di Kalbar memperoleh DAK bidang pendidikan berkisar antara Rp13-16 miliar.

Dana itu untuk memperbaiki sekolah yang rusak. Disalurkan langsung ke kabupaten/kota. Sementara peringkat kelulusan tingkat SMP masih di posisi 23 dari 33 provinsi tahun 2006 dan tingkat kelulusan SMA hasil UAN 2006 pada level 17 nasional. termasuk angka buta huruf yang masih tergolong tinggi.

Anggota DPRD Kalbar, Katarina Lies meminta agar dana tersebut benar-benar dimanfaatkan secara optimal. Ia minta agar daerah pedalaman yang jarak sekolah dengan pemukiman jauh menjadi perhatian utama. Apa lagi anak-anak sekolah harus berjalan satu hingga dua jam untuk tiba di sekolahnya.

****

Matahari makin condong ke barat. Di hilir terdengar pekikan motor pepet. Ketiganya bergegas, berdiri dan menengok ke arah Sungai Landak yang airnya cokelat karena aktivitas PETI dan perkebunan sawit.

Motor Pepet itu terus melaju dan meninggalkan suara yang memekakkan telinga. Gelombang yang ditimbulkannya menggoyang-goyangkan sampan yang ditambat di tepi sungai. Beberapa di antara sampan itu terangkat di delta yang rendah. Yang lain membentur tebing tanah atau tiang gertak kayu.

”Hoi...hoi..hoi...,” teriak para siswa laki-laki di motor pepet itu. Mereka melambaikan tangan dengan akrab ke arah kami.

Ketiganya kembali duduk. Ternyata itu bukan motor yang mereka tunggu-tunggu sejak satu jam lalu. Perut yang keroncongan memaksa mereka harus segera kembali ke rumah.

Sepuluh menit kemudian terdengar lagi motor pepet. Suaranya kencang dan memekakkan telinga. Sejurus kemudian mendekat. Suaranya turun naik. Kadang tinggi dan kadang rendah. Seorang siswa laki-laki memegang seutas tali nilon penambat, seorang lagi memegang kemudi, yang lain duduk tak acuh. Sejurus si pemegang tali nilon melompat di atas gertak.

”Bang kami jalan dulu,” Sumiati berguman ditujukan kepada saya.

Bersama kedua temannya ia naik ke atas motor pepet yang akan mengantarkannya pulang ke rumah.

Motor pepet itu berlalu. Ia meninggalkan suara yang memekakkan telinga, gelombang, serta asap hitam pekat keluar dari kenalpotnya. Esok hari rutinitas itu akan terulang kembali.■

Monday, February 11, 2008 |

6 komentar:

Anonymous said...

jadi inget beberapa bulan lalu saat pergi ke suatu desa bernama Gunung Tamang lokasinya sebelum tayan, ditempuh dengan kapal kelotok selama 14 jam, kalo naik speed sih sekitar 3 jam, lokasinya sebelum tayan...

http://karangan.web.id/2007/04/13/tengah-malam-di-gunung-tamang.html

Anonymous said...

Artikel di blog ini bagus. Kami berharap bisa meningkatkan kerjasama dengan memasangkan WIDGET Lintas Berita di website Anda sehingga akan lebih mempopulerkan artikel Anda untuk seluruh pembaca di seluruh nusantara dan menambah incoming traffic di website Anda. Salam!

http://www.lintasberita.com/Lokal/Menunggu_Motor_Pepet_Tiba/

Anonymous said...

Bang Rizko, saya sudah baca tulisannya. Bahkan jauh hari saat kita belum copy darat. Perjalanan yang asik. Salam...

Buat Situs Lintasberita, trims tawarannya. Akan saya coba. Salam...

motosuki said...

saya sebagai pendidik merasa terenyuh dengan kondisi pendidikan indonesia, terutama kalbar yang terpuruk..
saat penerimaan mahasiswa baru di kampus saya, saya merasa prihatin dengan perbedaan yang mencolok antara anak daerah dan anak kota. anak kota biasanya lebih antusias dan mengerti apa yang diajarkan. sedangkan yang dari daerah kadang2 perlu waktu yang agak lama untuk menyerap, bahkan cenderung tidak mampu...
saat saya berjalan ke arah hulu mau pun ke arah selatan, saya melihat banyak sekolah yang siswanya hanya bermain2 di lapangan. kemana gurunya? gurunya cuma 1...sedih...
ingin rasanya saya mengajar mereka, tapi saya juga punya kewajiban di kota...mudah2an ada diantara mahasiswa saya yang tergerak mengajar mereka, walaupun mahasiswa saya bukan dididik untuk mengajar...

Anonymous said...

Dunia Pendidikan kita memang masih penuh tantangan, baik dari metode, sarana pendidikan sampai pada infrastruktur penunjangnya.

saya pernah mengunjungi sebuah kampung di Sanggau, kampung ini merupakan kampung pak Piet Herman Abik, (anggota DPD asal Kalbar, di kampung ini jika hendak sekolah SMP seorang anak harus berjalan kaki 1 jam lebih dari kampung ke jalan raya, kemudian masih harus menumpang bis menuju sekolahnya, saya bisa bayangkan betapa besar tantangan untuk menjadi terdidik di pedalaman.

Tugas Adik sebagai jurnalis adalah menyampaikan kenyataan ini agar menjadi perhatian bagi para pembuat kebijakan.

Salam hangat,

Andreas Acui Simanjaya

Anonymous said...

Dear Bang Andreas Acui dan Motosuki (sorry saya cari nama lengkapnya tak ade. he...)

Bang, terima kasih atas komentarnya. Ini membuat saya ingin dan ingin terus menyuarakan suara kaum lirih...

Persoalan ini saya pikir baru setitik dari sekian banyak persoalan pendidikan di daerah. Bahkan ada SD yang roboh. Sekarang kita menunggu bagaimana agar pejbat di daerah dan pusat membuat dunia pendidikan lebih baik.

Bukan hanya sebatas retorika dan janji-janji saat kampanye....ia kan?

Salam hangat