Misa di Gereja ‘Delon’ Salvator

Di sela-sela Kursus Jurnalisme Sastrawi ke-12 di Yayasan Pantau, aku menyempatkan diri misa di gereja paroki Salvator, Petamburan, Minggu (24/7). Bersama mbak Endah Imawati, dari harian Surya Surabaya kami menggunakan angkot dari Jl Kebayoran Lama tempat kami kost selama ini.

Tak disangka ternyata umat dan muda mudi Katolik di gereja tersebut cukup aktif dan tertib. Bayanganku, jika di gereja di Jakarta maka suasananya akan jauh dengan di Pontianak. Misalnya dering hand phone yang bersahut-sahutan atau suara lainnya. Ternyata kondisi itu jauh berbeda seperti yang aku bayangkan. Umat dengan khusus berdoa, aku melihat miniatur Indonesia di gereja tersebut. Sebab bermacam warna kulit, potongan rambut dan cara berpakaian ada disana. Namun umunya berpakaian sopan.

Saat berangkat ke gereja, Rozana teman wartawan dari Serawak juga ikut. Namun ia hanya menunggu kami di luar gereja. Berkali-kali diajak ia menolak dengan alasan akan menyita perhatian. Sebab selain bahasanya yang lain juga menggunakan kerudung. “Sudah kalau tak mau masuk kamu tunggu saja di luar tapi ingat lho jangan kemana-mana,” pesan mbak Endah.

Sebelumnya kami juga janjian dengan Frans Obon, teman pelatihan dari Flores Post. Namun ternyata ia ada acara di Cibubur sehingga urung misa sama-sama.

Koor di gereja ini cukup bagus. Terlihat dari lagu-lagu yang dinyayikan, kualitas pemain orgen, soluis mapun dirigen. Bahkan menurut mbak Endah, Delon juga hadir pada misa kali ini dan menjadi salah seorang anggota koor. “Suaranya mendominasi. Bagus, sih sebelum tanda berhenti dilakukan dirigen ia juga belum berhenti. Namun kasihan anggota koor yang lainnya tak mampu ikuti vokalnya,” kata wartawan senior yang adiknya dosen di Politeknik Negeri Pontianak dan Politeknik Tonggak Equator.

“Aduh kenapa mbak tak beritahu dari awal. Kalau ndak kan aku bisa wawancana,” aku protes.

“Ia nya sudah ndak ada. Tapi hebat juga lho sudah terkenal masih mau jadi anggota koor. Jarang lho yang mau seperti itu,” kata mbak Endah lagi.

Gereja Salvator sendiri tidak terlalu besar. Jika dibandingkan hampir sama seperti gereja Maria Ratu Pencinta Damai, Pontianak. Pengaturan bangkunya juga nyaris sama, diatur berjejer panjang dan membentuk sudut. Bangunan paroki ini terbagi dua, bagian depan menjadi kantor paroki sedangkan bagian belakang sebagai gereja. Halaman yang cukup luas memudahkan berbagai kendaraan parkir. Meskipun demikian aku lihat masih kalah banyak jika dibandingkan motor atau mobil yang parkir di katedral Pontianak. Umat lebih memilih jalan kaki atau menggunakan kendaraan umum.

Minggu lalu yang memimpin misa adalah Pastor Kayetanus CICM atau Kongregasi Hati Maria Tak Bernoda. Pastor Kayetanus cukup bisa menarik perhatian umat, dengan intonasi suara, mimik wajah serta bahasa tubuh ia menjadi imam yang menarik saat memimpin misa. Mantan misionaris pernah berkarya di Afrika ini juga memiliki pengetahuan cukup luas tentang kekinian dan pengetahuan kitab suci. 20 menit ia memberikan kotbah tak terasa dan membuat aku kerasan. Padahal terus terang aku paling tak suka kotbah, apalagi jika pastornya bertele-tele, pengetahuannya rendah dan ngorol-ngidul tak tentu arah.

Kongregasi CICM di Jakarta ada di beberapa tempat. Diantaranya di Ciledug Jl. Barata Raya 32, Komplek BARATA, Ciledug, Tangerang, di Jl. Danau Buyan F1 No. 25A, Pejompongan, Jakarta. Kemudian ada juga di Jl. KS. Tubun 128, Slipi Jakarta dan rumah pastor CICM Jl. KS. Tubun II/12, Jakarta, mereka juga dapat ditemui di Skolastikat CICM : Wisma "Sang Tunas" Jl. Gotong Royong No. 71, RT 003/02, Pondok Bambu Jakarta. Sementara Provinsialat CICM di Jl. Sudirman 48, Ujung Pandang.

Satu pelajaran yang kudapat dari gereja ini, meskipun di tengah kota namun suasanya sungguh tertib dan khidmat. Bahkan jauh dari yang kubayangkan.

Usai misa kami melanjutkan perjalanan ke taman mini Indonesia indah. Kali ini kami didampingi Dayu Pratiwi dari Pantau. Semula tak ada rencana namun karena seharian tak akan ada kegiatan akhirnya kami mengunjungi taman mini. Cukup penat juga mengelilingi ‘miniatur Indonesia’ yang memuat 27 provinsi sebelum pemekaran itu. Kami berjalan kaki dan menempuh perjalanan sekitar 3 kilo meter dari pertama start.*

[ read the rest of this entry » ]

Wednesday, June 27, 2007 |

Mencetak Rupiah dari Kilatan Blitz


“Foto mas, 15 rebu. Kelihatan Monas (monumen nasional),” seorang laki-laki tua, menawarkan jasa pemotretan kepadaku saat keluar dari Monas.

Laki-laki berkulit coklat kehitam-hitaman itu berusia sekitar 40 tahunan. Ia memakai kemeja abu-abu lusuh, celana panjang drill hitam serta sandal karet. Terlihat guratan di dahinya. Sehari-hari ia menghabiskan waktunya di monumen nasional. Pekerjaannya menjadi juru foto ‘bayaran’ kepada para tamu yang berkunjung.

“Kalau hari libur mah bisa 30 kali jepret. Tapi kalau hari biasa dapat 10 kali juga sudah untung,” kata laki-laki yang mengaku sebagai Pak Amat, saat kutanya berapa banyak ia dapat memfoto dalam satu hari kerja.

Sekali jepret dan selesai dicetak dalam tempo 2 menit ia menawarkan jasa Rp15 ribu dengan ukuran 6R atau setara dengan 15,2 x 20,3 cm. Untuk mendukung aktivitasnya pak Amat menggunakan kamera digital pocket 4 mega piksel. Ia juga membawa printer Kodak Easy Share dengan tenaga batre yang disimpan di sebuah kursi tak jauh dari tempat ia beroperasi.

Untuk menyakinkan calon pelanggan, dicantolkannya tas kecil berikut beberapa lembar hasil jepretan ‘terbaiknya’. “Satu, dua, tiga. Klik,”. Sebelum diprint, hasilnya ditunjukkan dulu dengan calon pelanggan. Jika oke langsung diprint, jika kurang puas boleh ulang sekali lagi.

Pak Amat beroperasi di bagian luar Monas. Tepatnya ditangga masuk lorong bawah tanah sebelum tempat penjualan karcis masuk. Selain dirinya ada beberapa juru foto bayaran yang juga menekuni pekerjaan yang sama. Untuk bersaing dengan teman se-profesinya ia harus pintar-pintar meyakinkan pelanggan. Baik dengan tutur kata yang ramah dan sopan serta gaya yang menyakinkan.

“Tak boleh terlalu murah dari yang lain. Sudah ada semacam kesepakatan, tak apa-pa sih hanya tak enak saja,” katanya saat kutanya mengapa tak jual dengan harga dibawah standar.

Amat telah 30 tahun menekuni pekerjaan itu. Awalnya ia menggunakan kamera pocket konvensional dengan film. Kemudian menggunakan kamera poltrait. Poltrait jauh lebih mudah dari kamera konvensional, sebab setelah jepret dikibaskan beberapa menit bisa langsung jadi. Hanya saja kedua kemera ini membutuhkan modal cukup besar setiap harinya.

“Kalau digital harga kamera dan alat cetaknya yang mahal. Seterusnya modalnya sedikit dan praktis,” kata dia membandingkan.

Meskipun demikian, ia mengaku pengguna jasa dengan kamera poltrait dan konvensional lebih banyak dari pada sekarang. Sebab saat itu masih sedikit yang bawa kamera. Beda dengan saat ini, banyak yang membawa kamera digital termasuk HP yang ada fasilitas kameranya.

Aku mengikuti dan melihat proses Amat mencetak foto. Kebetulan temanku Frans Obon mengajak serta kami berempat, Rozana Ahmad Rony, Endah Imawati, Dayu Pratiwi dan aku untuk difotokan oleh pak Amat.

Kamera disambungkan dengan kabel USB ke printer. Tinggal tekan tombol ‘oke’ dua menit seperti yang dijanjikan, selesai. 15 lembar uang seribuan berpindah tangan dari dompet Frans Obon kepada pak Amat.

Selain pak Amat, di halaman Monas juga banyak yang menawarkan jasa untuk pemotretan. “Kalau di dalam kakinya tak kelihatan. Kalau di sini bisa seluruh tubuh,” kata salah seorang dari mereka menghampiriku dan menyodorkan harga Rp20 ribu.

“Oh ia ya,” kataku sambil mengeluarkan kamera sambil membidik monas.

“Sini saya fotokan. Stel (atur) saja dan saya tinggal jepret,” kata dia.

Kuserahkan kamera. Satu, dua, tiga. Klik...jadi. “Terima kasih pak. Maaf tak menggunakan punya bapak, sebab memory card saya masih banyak,” godaku.


“Tak apa-apa,” katanya sambil berlalu.
Mengisi hari-hari 'kosong', kami gunakan untuk mengunjungi beberapa tempat di Jakarta. Kosong sebenarnya hanya istilah saja. Sebab meskipun tak kuliah di kelas, kami oleh instruktur yang kebetulan minggu pertama masih Jannet ditugaskan untuk membuat tulisan, membaca buku dan artikel.

Artikelnya tak hanya bahasa Indonesia ada juga yang berbahas Inggris. Diantaranya ada “Kegusaran Tom Wolfe” oleh Septiawan Santana Kurnia; “The Girl of the Year” oleh Tom Wolfe; “Dua Jam Bersama Hasan Tiro“ oleh Arif Zulkifli; “A Boy Who Was Like a Flower” oleh Anthony Shadid.

Ada juga “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” oleh Chik Rini; “In Cold Blood” karya Truman Capote dan kliping dari harian The New York Times pada 1959 “Wealthy Family, 3 of Family Slain; “The Armies of the Night” karya Norman Mailer dimana Mailer.

Kemudian ada juga “Tikungan Terakhir” (laporan kematian wartawan Rudi Singgih) oleh Agus Sopian; “It’s an Honor” oleh Jimmy Breslin.

Sementara untuk mata kuliah Andreas Harsono pada minggu kedua ada The Elements of Journalism karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. “Media Bias in Covering the Tsunami in Aceh” karya Andreas Harsono.

“The Ethnic Origins of Religious Conflict in North Maluku Province, 1999-2000” oleh Chris Wilson, “Indonesia’s Unknown War and the Lineages of Violence in West Kalimantan” oleh Jamie S. Davidson dan Douglas Kammen; “Patterns of Collective Violence in Indonesia (1990-2003)” oleh Ashutosh Varhney, Rizal Panggabean, Mohammad Zulfan Tadjoeddin.

“Hiroshima” karya John Hersey. “Menyusuri Jejak John ‘Hiroshima’ Hersey”oleh Bimo Nugroho; “Orang-orang di Tiro” karya Linda Christanty; “Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan” karya Alfian Hamzah; “Republik Indonesia Kilometer Nol” karya Andreas Harsono; “Tujuh Kriteria Sumber Anonim” serta “Ten Tips for Better Interviews. Jadi kesempatan tersebut selain untuk lihat-lihat juga sekalian meliput.

Puas keliling di Monas, kami kemudian masuk di dalam. Naik lip hingga di puncak monas. Naik gampang, sedikit yang antri tapi giliran turun alamak, ngantri dan lama lagi. Tiba di atas foto-foto dulu, lihat kiri-kanan. Giliran yang turun lama sekali, berjejal dan berhimpit-himpitan. Di tengah situasi seperti itu ada pula muda-mudi yang coba berciuman. "Sabar sedikit bah, di rumah kek atau tempat sepi," gerutuku.

Saat kami berkunjung di Monas ada pula rombongan bule yang ikut melihat. Tampaknya seperti pegawai kedutaan besar, sebab membawa pengawal orang Indonesia dari PDL. Puas lihat-lihat ia diberi kesempatan duluan untuk turun. "Maaf ya kami duluan, terima kasih," kata seorang guidenya beramah-tamah. Mereka yang ngantri hanya bisa menggerutu dalam hati.

"Jangan lama-lama di sini. Kalau gempa bahaya, saya tak bisa bayangkan," kata Frans Obon, mengajak kami turun. Belakangan aku tahu ia memiliki pengalaman sendiri saat terjadi gempa di Flores tahun 1993. Cukup banyak juga yang meninggal, saat kejadian ia masih tidur siang di Seminari Tinggi Ledalero, Flores. Untung cepat melompat hingga selamat. Asramanya saja rata dengan tanah. Satu temannya bahkan meninggal dunia ditimpa balok kayu di kepala bagian belakang.

Kami kemudian turun di lantai dua, di sebuah tempat yang dikenal dengan cawan Monas. Usai melihat-lihat Jakarta dari Monas, kami mengunjungi musium di lantai dasar Monas. Cukup banyak pengunjung dan diaromanya juga asik. Ada beberapa pengunjung baik dari Indonesia bahkan dari luar yang datang. "Aku pikir bahasa Inggris, rupanya bahasa Jepang," kata Dayu yang coba mengikuti rombongan pengunjung yang dipandu seorang guide.

Usai berkeliling kami Monas kami siap-siap pulang. Perut sudah keroncongan dan perlu diisi. Sebelumnya Dayu dan Nana Solat dulu di Mushola yang masih di lingkungan Monas. Kesempatan ini kami bertiga gunakan untuk meluruskan kaki. Uh enak sekali. Apalagi aliran minuman isotonik membahasi tenggorokan yang kering.*


[ read the rest of this entry » ]

Saturday, June 23, 2007 |

Mulai Kursus Narrative Reporting

Sabtu, 16 Juni 2007 pukul 08.00 dari Bandara Supadio Pontianak aku dan Rozanna wartawan Utusan Sarawak terbang ke Jakarta. Menggunakan pesawat Batavia, kami tiba di Bandara Internasional Soekarno Hatta.

Di bandara kami berdua diantar Asriyadi Alexander hingga bus pesawat Batavia. “Trims bos sudah ngantar. Maaf banyak meninggalkan pekerjaan buat kantor, diantaranya beban redaktur yang aku tinggalkan. Piss...hahaha”.

Sekitar 45 menit penerbangan, aku dan Nana tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Sempat ngeri juga, sebab beberapa kali pesawat goyang. Meskipun cuaca bagus. Namun untuk menghilangkan rasa khawatir aku memaksa untuk memejamkan mata yang tak ngantuk. Terus terang, aku takut naik pesawat tapi apa boleh buat ini harus dilakukan. Sebab kapan lagi mau belajar jurnalistik, di luar Kalbar lagi. Meskipun ini bukan penerbangan pertama buat aku. Kalau tidak salah ini penerbangan yang kesepuluh. Pertama sekali Pontianak-Kucing, Malaysia pulang pergi, Pontianak-Ketapang, sisanya Jakarta-Pontianak.

Dari semua pengalaman naik pesawat, ke Kabupaten Ketapang yang paling spot jantung. Pesawatnya kecil type ATR-42-300 dengan 46 tempat duduk yang dikelola PT Dirgantara Air Service (DAS). Suaranya nyaring memekakan telinga dan goyangannya, wah jangan tanya. Namun, puji Tuhan, selamat juga sampai tujuan. Bahkan sepengetahuanku belum ada kecelakaan yang menimpa penerbangan jalur ini.

***
“Selamat datang di Jakarta,” kata Nana agak berteriak

“Sudah pernahkan ke Jakarta,” tanyaku

“Belum juga, baru inilah,” kata Nana sambil membetulkan letak kacamata minusnya saat kami mulai turun dari pesawat.

Meskipun terlihat kelelahan, ia tampak bersemangat. Di Pontianak sebelum berangkat 45 menit lalu aku sudah SMS mbak Dayu Pratiwi mengabari jika kami akan berangkat.

“Oke, hati-hati mas Akim. Saya tunggu di apartemen mas Andreas ya,” jawabnya di seberang pulau.

“Ia lah batinku. Rumah Andreas Harsono di Permata Senayan-samping Kompas. Dimanakah itu,” batinku. Ah biarlah ada taxi toh, tinggal tunjukkan alamat pura-pura pintar dan busungkan dada (busungkan perut masuknya) biar tak dikadali.

Sebenarnya ‘Mbak Dayu yang baik’ pada email-email sebelumnya berjanji akan menjemput di bandara. Tapi belakangan dia batal. Aku maklum, sebab banyak yang harus diurus, mengingat pesertanya banyak 16 orang dari seluruh penjuru tanah air. Tentu saja masih banyak yang butuh bantuan daripada kami.

Meskipun demikian, ia sudah memberikan ‘peta’ rute yang harus kami tempuh. Kubuka ransel cari catatan. Kampret catatannya ketinggalan, aku ingat ternyata aku simpan di atas tv di rumah.

Ini nih emailnya mbak Dayu yang dikirim 14 Jun 2007 pukul 10:29.

Mas Akim yang baik,

Sebelumnya saya minta maaf karena saya tidak bisa menjemput ke bandara karena ada yang harus saya kerjakan. Saya akan menunggu kedatangan di tempat Mas Andreas (Apartemen Pemata Senayan-samping Kompas) karena lebih mudah dicapai. Namun saya akan memberikan rute perjalanan dari bandara.

1. Naik bus DAMRI - LEBAK BULUS
bilang saja ke kondektur turunnya di halte belakang MPR/halte Palmerah. Saya akan tunggu di apartemen permata senayan-samping Kompas.

2. Naik Taxi
saya sarankan naik taxi Blue Bird (warna biru) atau taxi Express (warna putih). Taxi Express lebih murah karena masih menggunakan tarif lama.
dari bandara naik tol slipi lalu keluar melalui tol Senayan - TVRI. Kemudian dari lampu merah Hotel Mulia ambil yang ke kanan arah Pasar Palmerah (nyebrang rel kereta api).
Saya akan tunggu di apartemen permata senayan-samping kompas

Jika sudah sampai atau mendekati lokasi, bisa sms atau telpon saya, saya akan menunggu di luar di tempat yang mudah di lihat. Setelah itu kita sama-sama menuju tempat pemondokan.

Bahan bacaan akan saya berikan ditempat pemondokan agar bisa dibaca terlebih dahulu sebelum kelas dimulai.

Saya kira itu saja, terimakasih

Salam hangat,
Dayu


Harusnya tak kebingungan toh, kan petanya sudah lengkah. Tapi dasar sial ketinggalan pula. Buka HP coba telepon dia, sial tak ada sinyal. Masih ada cara, buka menu Pengaturan, Pengaturan Telepon, Pilih Jaringan, pilih otomatis. Tit. gagal. Coba dari awal pilih Manual. Gagal. Tak kurang 100 kali, bengkak jempol tak berhasil juga. Kampret. Cuka minyak, orang kebingungan teknologi macet. Dasar, memang HP butut. Pantasan Nokia 6310 keluaran tanggal 03-09-2002.

Ah sudahlah, kutanya Nana ingat dimana kita dijemput. “Di Apartemen Permata Senayan Pal Merah samping Kompas,” katanya.

Ya udahlah, daripada malu dengan teman dari jiran baik coba saja. Kucari taksi sesuai petunjuk Dayu. Dapat. Tawar-menawar harga dan setuju Rp 100 ribu.

Untuk mengilangkan pucat, aku sok akrab dengan sopir taksi yang mengaku dari Tanggerang. Tiba-tiba saat habis bahan, ia berujar. “Wah HP-nya bagus pak. Yang kayak gini payah nyari sudah antik,” kata dia.

“Ah bapak bercanda,” aku dongkol, kalau aku punya dua sudah kulemparkan ini barang ke muka bapak pikir aku.

“Benar lho pak. Menteri-menteri banyak yang pakai kayak gini,” ah pikirku, berarti aku sama dengan menteri donk. Minimal sama dengan M Akil Mochtar, sebab aku pernah lihat ia pakai yang kayak gini juga. Hik...hik...hik...

Pandai sekali bapak ini buat hati dingin.

Saat-saat seperti ini aku ingat dengan Aleks dan Hanoto di kantor. “Sudahlah kim, nanti di Roxy kamu tukar tambah saja HP-mu itu,” kata dia.

“Berapa orang mau beli, paling-paling 100 ribu,” ujarku.

“Hik...hik...,” kata Hanoto. “Seratus ribu jak tuh bang,” ledek wartawan teknologi ini

Sekitar setengah jam, kami tiba juga di depan apartemen Andreas. Nana berinisiatif menelepon Mbak Dayu. “Dia bilang tunggu saja dibawah, mau dijemput,” kami pun duduk di sofa setelah sebelumnya izin dengan satpam.

“Hai...saya Dayu,” perempuan berkerudung itu keluar dari pintu kaca.

Oh ini rupanya Mbak Dayu. Cukup manis, sama seperti di telepon dan yang pasti ramah. "Jangan marah ya!"

Kami diajaknya ke lantai 18 di apartemen Andreas Harsono dan Sapariah Harsono. Seperti biasa mereka berdua sangat hangat menyambut kami. Bang Andreas juga memperkenalkan kami dengan dua wartawan dari Bisnis Indonesia.

Sambil duduk santai, Andreas yang selalu mengisi setiap kesempatan dengan diskusi lalu diskusi hangat dan mengalir. Aku dan Nana hanya banyak melongo dan menjadi pendengar setia, sebab baru saja lepas dari ‘ketegangan’ Ha...

Mbak Ari (panggilan akrab untuk Safariah) yang lahir di Pontianak itu pun menyiapkan makan siang buat kami. Ia bersama Mbak Rina orang Pantau dan Dayu tentu saja. Selesai, kami makan bersama. Istimewanya ada cabe Flores yang pedasnya minta ampun.

Menjelang Magrib saya diantar duluan oleh Dayu di tempat kost yang hanya berjarank 2 menit jalan kaki dari Pantau. Sementara Nana masih menunggu di apartemen bang Andreas, sebab teman se-kost-nya, mbak Endah Imawati belum tiba.

Tapi beruntung saat ini kami sudah ikut intensif pelatihan Jurnalisme Sastrawi angkatan ke-12. Ada 16 teman dari berbagai media yang ikut. Seperti ditulis Dayu mereka adalah: Aditya Heru Wardhana, video journalist di Trans TV sekaligus aktif di Aliansi Jurnalis Independen cabang Jakarta, Adriana Sri Adhiati, bekerja untuk Down to Earth sebagai researcher, campaigner and websiter co-administrator (part-time) di London. Ada juga Asep Mohammad BS, sejak tahun 2000 bergabung dengan majalah Swa sebagai wartawan. Edy Purnomo, dari harian Investor Daily, Emmy Kuswandari dari harian sore Sinar Harapan.

Dari Jawa Timur ada Endah Imawati, dari harian Surya Surabaya, dari Flores ada Frans Obon dari harian Flores Pos. Dari Jakarta ada Frans S. Imung, dari majalah Investor, Hillarius U Gani, dari Media Indonesia, juga ada Lisa Suroso, redaktur majalah Suara Baru yang juga pengurus pusat Perhimpunan Indonesia Tionghoa bagian humas. Dia banyak terlibat dalam kegiatan sosial organisasinya dalam bencana alam di Aceh dan Flores.

Kemudian tentu saja Rozzana Ahmad Rony, peserta satu-satunya peserta dari Malaysia. Dari Batam ada Said Abdullah Dahlawi, dari harian Sijori Mandiri, Batam, ada juga Sunaryo Adhiatmoko, yang aktif menulis untuk Lembar Ziswaf di Republika yang terbit setiap Jumat selain sebagai Public Relations Manajer Dompet Dhuafa Republika.

Ada juga Yayan Ahdiat, redaktur pelaksana View Magazine. Memiliki banyak pengalaman sejak tahun 1989. diantaranya menulis di Suara Pembaruan, Pelita, Jayakarta, Berita Buana, Suara Karya, Republika dan Media Indonesia dan Majalah VISTA-TV.

Ada aktivis LSM, Yuyun Wahyuningrum, mahasiswa penerima beasiswa di Universitas Mahidol, Thailand mengambil jurusan Human Rights and Social Development.

Sungguh sebuah tempat belajar yang menyenangkan dan teman-teman belajar yang juga menyenagkan serta kritis dan cerdas. Media dari Kalbar terutama kami Borneo Tribune harus belajar jika tak ingin jadi kambing congek atau katak dalam tempurung. *

[ read the rest of this entry » ]

Monday, June 18, 2007 |

Corat-Coret, Nikmati Kelulusan

Setiap tahun untuk merayakan kelulusannya para siswa terutama SMA selalu mencoret-coret seragam. Tak pilih laki-laki atau perempuan, aksi ini biasanya dilanjutkan dengan pawai di jalan raya.

Pemandangan serupa kembali terjadi di Pontianak kemarin pagi hingga siang, Sabtu (16/7). Ribuan siswa SMA dan SMK turun di jalan dan pawai di jalan-jalan. Diantaranya ada yang berdiri diatas motor. Tentu saja perbuatan seperti ini tidak baik. Sebab akan menganggu para pengguna jalan lain. Sebab masih banyak yang akan berangkat kerja atau melakuakn aktivitas lain. Belum lagi jalan-jalan kota Pontianak umumnya kecil dan sempit. Sementara kepadatannya hampir sampai di gang-gang.

href="http://3.bp.blogspot.com/_cWJqudnRM3I/RnQZOi4Ol7I/AAAAAAAAAGM/S7AEetN1vog/s1600-h/160607+pengumuman+sma+by+lukas+(26).jpg">Tahun ini nilai rata-rata yang harus dipenuhi peserta UAN adalah 5, jauh lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang rata-ratanya 4,5.
Sementara itu untuk tingkat SMK secara keseluruhan siswa yang terdaftar sebagai peserta UAN berjumlah 9,596 peserta yang lulus berjumlah 7237 atau 76,51 persen, sedangkan yang tidak lulus 2359 atau sekitar 23,59 persen.

Untuk tingkat Madrasah Aliyah (MA) yang terdaftar sebagai peserta UAN berjumlah UAN adalah 3.396 peserta. Dari jumlah tersebut yang lulus adalah 2239 siswa atau 65,93 persen, sedangkan yang tidak lulus 1157 atau 34,07 persen.

Tahun ini SMAN 3 Pontianak mengukir prestasi baik. 100 % dari 191 siswa sekolah yang beralamat di Jl WR Supratman dinyatakan lulus. Bahkan jurusan IPA ada 10 siswa yang masuk peringkat besar, nilai tertinggi disandang Charles Darwin Hariman dengan jumlah nilai 28,20 atau rata-rata 9,4. disusul Paula Arista, 27,73, Radian Azimi 27,20, Sri Retno Wulandari Amanda, 27,20, Renta Arta Christy Sitorus, 27,07, Nurhayati Nasyidah, 27,00, Wulan Trigitani Sijabat, 26,87, Eni Setianingsi, 26,80, Tari Mardiana, 26,80 dan Kardiyansah, 26,73.

Sedangkan sepuluh besar untuk jurusan IPS, rangking pertama ditempati Rangga Pahlevi dengan nilai rata-rata 27,85, disusul Petrus Agung Nugroho, 27,50, Wenti Ari Melur 27,15, Faris Presetyo Utomo 27,05, Yohanes Adi Nugroho, 27,05, Dicky Koesidrajit, 27,00, Levi Ponti Yuditia, 26,95, Dina Liunata 26,75, Santi Novianti Lestari, 26,75 dan Eva Rosalin 26,60.

Tahun ini bahkan ada lima siswa yang memperoleh nilai 10. Jurusan IPA bidang studi Matematika dan jurusan IPS bidang studi Bahasa Inggris. Untuk jurusan IPA bidang studi Bahasa Inggris diraih Yohanes Adi Nugroho dan Petrus Adi Nugroho. Kedua siswa ini kembar. Selanjutnya untuk IPS bidang studi Bahasa Inggris, nilai 10 diraih Carles Darwin Hariman, M. Sabli dan Tari Mardiana.

Jika melihat cara siswa-siswi SMA dan sederajat ini merayakan kelulusan, maka aku juga ingat saat-saat aku masih sekolah dulu. Tahun 2006, lulus dari SMA St Paulus Nyarumkop, Singkawang . Saat itu belum ada UAN, meskipun kelihatannya agak ringan namun berat juga. Kami yang diujikan ada 6 mata pelajaran, hasilnya disebut dengan Nilai Evaluasi Murni (NEM). Untuk jurusan A3 (Sosiologi) maka yang diujikan PMP, Bahasa Indonesia, Sosiologi dan Antropologi, Matematika, Ekonomi dan Tata Negara. Sedangkan Jurusan A1 (Fisika) ditambah dengan mata pelajaran Fisika dan Kimia, A2 (Biologi) ditambah dengan mata pelajaran Biologi dan A4 (Bahasa) ditambah dengan Bahasa Indonesia (kalau tidak salah. Mohon dikoreksi).

Soal corat-coret sejak saya sekolah dulu memang sudah ada. Bahkan yang ada sekarang warisan dari generasi sebelumnya. Hanya saja karena kami di lingkungan seminari, sekolah calon pastor maka suasana agak berbeda. Ya saat itu kami hanya coret-coret sedikit. Tidak kebut-kebutan.

Sebab sekian lama tak pulang kampung, rindu juga cepat-cepat pulang. Kami berasal dari semua kabupaten/kota di Kalbar. Aturan bapak asrama, biasanya pastor atau bruder kami boleh keluar lingkungan hanya minggu pertama bulan. Selebihnya harus ada di asrama. Kalau ketahuan maka ada hukumannya. Bahkan bisa dipanggil orang tua.

Usai mendengar kelulusan, kami langsung berkemas pulang. Mengemasi barang-barang di lemari pakaian. Mewariskan piring, sedndok, ember, tempat sabun, centong dan lain-lain yang rombeng. Bahkan ada kalanya menjual buku cetak yang habis dipakai.
Namun saat itu ada juga peristiwa lucu. Sebagian kami yang tak buru-buru pulang masih tinggal asrama. Saat itu kami ada yang namanya gudang, yaitu tempat lemari-lemari buku. Malam hari selepas ibadat malam, pintu sudah dikunci kebetulan Pastor Blasius Blino Pr, dari Flores sedang ke Pontianak. Malam itulah teman-teman makan dan minum sepuasnya. Bahkan kami juga beli arak di kampung hingga sebagaian ada yang mabuk. Ha....

Kini kenangan itu sangat indah. Masa-masa di SMA begitu indah untuk dikenang. Di sebuah asrama dan kompleks persekolahan tepat di kakai gunung poteng terdiri dari SD, SMP, SMA dan SMK dengan asrama Seminari (Widya), asrama Bhineka untuk SMK dan SMA, asrama Rini atau Sekabu untuk siswa putri SMP dan SMA serta Timonong untuk SMP Putra. Ada gereja paroki besar untuk sembahyang malam Kamis dan hari Minggu serta Kapel (gereja kecil) untuk siswa seminari didepan asrama Widya.

Belum lagi alamnya yang masih asri. Mandi pagi sekitar pukul 04.00 tulang menggigil. Bahkan rasanya seperti masuk dalam kulkas. Saat itu pukul 08.00 pagi bahkan kabut masih menyelimuti sebagain besar komplek persekolahan.

Kembali kepada soal kelulusan. Setiap orang tentu saja memiliki hak yang sama untuk menikmati kelulusan itu dengan cara masing-masing. Namun harus dipikirkan ada hak orang lain yang bersinggungan dengan hak kita dan itu harus dihormati. Jika tidak maka akan menyebabkan ketidakharmonisan dan gesekan-gesekan.

Saat ini mungkin sudah saatnya para siswa SMA atau SMK mencari model lain untuk menumpahkan kegembiraan setelah lulus sekolah. Ada cara-cara lain yang lebih bijak dan tepat. Belum lagi setelah tamat mau kemana? Melanjutkan sekolah ke mana. Ini lah masa-masa sulit untuk memilih. Sama seperti aku dulu. Apakah akan kuliah di perguruan tinggi umum atau melajutkan di Seminari Tinggi Pematang Siantar Sumatera Utara. *

*Teks Foto: Ada sedih ada duka, siswa SMA merayakan kelulusannya. (Lukas B Wijanarko)

[ read the rest of this entry » ]

Sunday, June 17, 2007 |

Kaligrafi dari Kulit Kambing hingga Batik Kayu

Perhelatan Indonesia City Expo (ICE) 2007 yang dipusatkan di Ayani Mega Mall benar-benar dimanfaatkan oleh peserta, baik stand pemerintah maupun swasta. Termasuk dari berbagai daerah se Indonesia.

Masing-masing daerah seakan ingin menunjukkan keunikan dan keunggulan masing-masing. Kontigen Jawa Timur misalnya, di standnya memamerkan Kaligarfi Arab dari kulit kambing. Mereka mengaku ini adalah salah satu produk unggulan yang dipamerkan.
Bermacam tulisan Arab yang diukir diatas media kulit kambing tersebut, mulai dari bacaan Basmalah, ayat Kursi hingga ayat-ayat pendek dalam Al-quran. Bukan hanya tulisan, kaligrafi yang dipamerkan memiliki berbagai macam ukuran. Mulai dari 20 x 30 hingga 25 x 50.

Harga yang ditawarkan mengikuti jenis dan besarnya tulisan yang dibuat. Ukuran kaligrafi kecil dihargai Rp 20 ribu dan yang besar dihargai Rp 1 juta. Selain menggunakan kulit kambing, bingkai kaligrafi terbuat dari kayu jati.

”Ppemasarannya lebih berkembang ke luar Jatim bahkan sampai ke Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Turki, dan Iran,” kata Niken, pengusaha yang ditemui Tribune di standnya.

Pengalaman masyarakat Jawa yang membuat wayang kulit dari kulit kambing sepertinya menjadi bekal untuk pembuatan dan pengolahan kulit kambing ini. Ia berbagi sedikit resep. Kulit kambing direndam dengan obat khusus selama satu jam, kemudian dijemur hingga kering setelah itu baru dipahat dan dilakukan pengecatan sesuai dengan ukiran tulisan.

Stand lain yang, Kota Makassar misalnya menyuguhkan perahu pinisi khas Makassar. Ikon ’Bugis’ tersebut dibungkus plastik putih, perahu yang dibikin dengan ukuran 20 centi tersebut melambangkan suku Bugis sebagai suku pelaut.

Memang suku asal Sulawesi Selatan ini memiliki catatan tersendiri dalam sejarah bahari, saat mengarungi ribuan kilometer lautan luas dari Indonesia hingga Madagaskar di Afrika Selatan, berabad silam.

Kepala Dinas Informasi dan Komunikasi Kota Makassar, M. Takdir alim Bakrie, saat ditemui mengatkan, perahu nenek moyang tersebut tetap menjadi idola suku Bugis. ”Meskipun sekarang sudah banyak yang pintar namun kapal kebanggan ini tetap kami pertahankan,” ujarnya.

Tetangga satu daratan, Kota Tarakan Provinsi Kaltim yang terkenal dengan Pulau Minyak memamerkan profile companynya. Dari profile companynya terlihat perkembangan pulau Tarakan berjalan seiring dengan perkembangan industri minyak bumi di Pulau Tarakan.

Kekayaan alam tersebut pertama kali ditemukan pada tahun 1869 oleh perusahaan minyak Belanda Koninklijke Nederlandsche Petroleum Company yang kemudian diganti oleh Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) pada tahun 1907.

Saat itu minyak bumi Tarakan terkenal di dunia karena kualitasnya sangat bagus sebagai ‘world purest oil’. Tahun 1906 produksinya mencapai 23.000 Barrels of Oil Per Day (BPOD).

Tidaklah aneh apabila pulau Tarakan dikenal pula sebagai pulau minyak. Kini dikelola PT. MEDCO E dan P, perusahaan energi swasta nasional. Tahun 2005, produksi minyak Tarakan mencapai sekitar 2.000-3.000 BPOD dan gas bumi sekitar 20-30 juta mscf. Gas bumi yang dihasilkan digunakan untuk suplai pabrik methanol di pulau Bunyu dan untuk pembangkit listrik di Kota Tarakan.

Kota Yogyakarta yang terkenal dengan para senimannya menampilkan kerajinan tangan. Satu diantaranya kerajinan batik kayu atau ‘wood batik painting’. Batik yang dihasilkan berupa keris, nampan, patung dan macam lainnya. Pembuatan kayu batik sama halnya dengan batik kain. Sementara bahan baku kayu yang digunakan antara lain, kayu bambu, kayu bule dan kayu damar.

Sementara Kota Palu Sulawesi Utara menampilkan mebel dari kayu Eboni. Bahan kayu ini dikenal karena daya tahan yang kuat serta kelangkaannya, kayu ini memiliki nilai jual cukup tinggi. Bagi masyarakat Palu kayu ini dijadikan kayu unggulan untuk pembuatan mebel. Kayu tersebut hanya bisa tumbuh di Sulawesi Utara.

Mebel terbuat dari kayu Emboni dipasarkan di luar negeri, seperti Jepang dan Taiwan sebagai lokasi pemasaran. Mebel yang dipasarkan di negara industri tersebut berharga 250.000 ke atas.

Selain dibuat sebagai mebel, kayu Emboni juga digunakan untuk membuat nampan atau tempat tisu. Harga tempat tisu ukuran standar dihargai Rp 15 ribu-20 ribu. Sementara untuk nampan dengan kapasitas 3-4 gelas dihargai 45.000 rupiah.

Kota Batam menampilkan Wooden Product of Batam Craft of Anak Kampung yang jika diindonesiakan poduk kayu dari Batam karya anak kampung. Kerajinan tangan dari bahan kayu ini merupakan satu dari beberapa pruduk unggulan yang dimilki Kota Batam.

Pameran ini tentu saja membuat masyarakat pengunjung puas. Sebab, bermacam suguhan ditampilkan. Bahkan bisa berbelanja sekaligus. *

*Teks Foto: Dua orang pengunjung sedang mengamati barang yang dipamerkan. (Lukas B Wijanarko)

[ read the rest of this entry » ]

Saturday, June 16, 2007 |

Optimalkan APEKSI dan ICE 2007

Suatu peristiwa langka saat Pontianak menjadi tuan rumah Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pemerintahan Kota seluruh Indonesia (Rakernas Apeksi) yang dilanjutkan dengan Indonesia City Expo (ICE) 2007. Kesempatan tersebut digunakan sebaik-baiknya, mulai dengan menyiapkan acara, mendatangkan menteri serta melayani para peserta. Perhelatan akbar ini dibuka di Pontianak Convention Centre (PCC) pukul 19.00, Senin (12/7).

Acara dilanjutkan dengan ramah-tamah yang terdiri dari berbagi kegiatan. Diantaranya: pembukaan, tarian selamat datang, makan malam, sambutan Walikota Pontianak, Buchary A Rahman, sambutan Ketua Apeksi dr H Jusuf SK, launching City Net Indonesia, penyerahan cendramata dan hiburan tarian multi etnis serta music live.
“Kegiatan ini merupakan kehormatan bagi Kota Pontianak. Sebab sebagai tuan rumah Rakernas Apeksi Indonesia City Expo (ICE) 2007 yang diselenggarakan 5 hari sejak 13-17 Juni tak semua kota bisa menjadi tuan rumah,” kata Walikota Buchary A Rahman saat ditemui Tribune.

Pada kesempatan tersebut hadir pula Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM), Suryadarma Ali dan Menteri Pekerjaan Umum, Joko Kimanto serta Dirjen Cipta Karya dan Penataan Khusus Perkotaan.

Pontianak diberikan kesempatan untuk memberikan pemaparan tiga pokok bahasan. Yaitu Air Bersih, Kesehatan dan Kebersihan. Ia melihat selama ini ada semacam paradigma bahwa sampah itu kotor. Tapi kalau diatur dengan baik justru mendatangkan uang. Misalnya saja kerja sama antara Gikoko dan Pemkot untuk menangkap gas metan dan bisa hasilkan uang triliunan.

Sementara itu untuk memberikan pelayanan yang maksimal, Pemkot diantaranya menyiapkan 90 Kamar Kelas VIP. Bahkan persiapan tersebut sejak Januari lalu. Kamar-kamar tersebut diperuntukkan bagi menteri, dirjen, walikota serta pejabat esselon lainnya.

Masuk pada sesi diskusi panel semua Walikota memaparkan keberhasilan dalam pembangunan. Peserta juga menyampaikan berbagai topik, di antaranya optimalisasi peran sektoral terhadap penanggulangan kemiskinan perkotaan.

Kesempatan sebagai tuan rumah tersebut digunakan Pemkot Pontianak untuk memperkenalkan pengelolaan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Batu Layang dengan investor dari Jepang, PT Gikoko Kogyo melalui sistem pembakaran gas methan untuk mendapatkan sertifikasi pengurangan emisi gas (CER) oleh `Clean Development Mechanism` (CDM) atau mekanisme pembangunan bersih standar ISO (international standard organization), katanya.

Pelayanan lain yang diberikan oleh Pemkot Pontianak diantaranya memberikan `food security` (keamanan makanan) bagi 500 para tamu yang akan menghadiri Raker APEKSI selama dua hari. Kota Pontianak juga diberikan kesempatan untuk memberikan pemaparan tiga pokok bahasan. Yaitu Air Bersih, Kesehatan dan Kebersihan.

Bahkan agar peserta APEKSI dan ICE 2007 merasa aman dan nyaman, Pemerintah Kota Pontianak bekerja sama dengan pihak swasta memberikan pelayanan terbaik diantaranya dengan meningkatkan pengamanan saat berlangsungnya dua kegiatan tersebut.
Pengamanan dimaksud dipusatkan pada penginapan, makanan dan kesehatan para peserta Rakernas. Wali Kota Pontianak, Buchary A. Rahman, kepada Tribune, mengatakan, pengamanan terhadap makanan (food security), ditangani Dinas Kesehatan Kota Pontianak.

“Dinas kesehatan melakukan pemantauan makanan dan minuman secara ketat ke tiap-tiap hotel dan catering yang terlibat dalam kegiatan Rakernas Apeksi dan Pameran. Kita tak mau nanti ada yang keracunan atau sakit perut atau keluhan lain karena disebabkan makanan,” terang Buchary.

Persoalan air bersih dan penginapan, ia mengatakan pihaknya sejak Januari telah melakukan antisipasi. Buchary yakin Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Pontianak telah melakukan pengamanan secara maksimal, bahkan tak segan-segan ia minum air ledeng produksi PDAM langsung dari krannya di Ayani Mega Mall.

Upaya ini untuk semacam bentuk penghargaan kepada PDAM yang berhasil dengan program air bersih dan management, mengurangi kebocoran, serta utang piutang. Di hotel pun, tempat para tamu beristirahat dilakukan pengamanan ketat. Hotel yang mendapatkan pengamanan itu antara lain, Hotel Kini, Santika, serta beberapa hotel pendukung lainnya, seperti Hotel Gajah Mada, Kapuas Dharma, Kapuas Palace, Merpati, Garuda, Peony, asrama haji dan lainnya.

Perhelatan akbar kali ini juga didukung oleh stakeholder lainnya. Poltabes Pontianak misalnya melakukan pengamanan baik secara terbuka maupun tertutup. “Kami jelas akan menjaga jangan sampai terjadi hal-hal tak diinginkan. Bagaimanapun kegiatan ini berada di wilayah hukum Poltabes Pontianak,” kata Wakapoltabes, AKBP Andi Musa.
Lokasi-lokasi yang menjadi pusat kegiatan, misalnya di Ayani Mega Mall sebagi tempat pameran ICE 2007 dan Pontianak Convention Center (PCC) sebagai lokasi seminar serta lokasi-lokasi penginapan para tamu dijaga aparat keamanan. “Kita tidak melihat berapa jumlah yang diturunkan, yang kami pikirkan kerawanan saat kegiatan dilakukan,” kata Andi saat diwawancarai Tribune.

Sementara itu kesempatan pameran di Ayani Mega Mall juga digunakan Pemkot untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dinas kependudukan Catatan Sipil (Dukcapil), misalnya memberikan pelayanan pembuatan akta kelahiran secara gratis.

Masyarakat sangat antusias menyerbu pembuatan akta gratis tersebut. Hari pertama saja puluhan pengunjung mendatangi stan tersebut. Tujuan kedatangan mereka ada yang sekadar untuk menanyakan persyaratan dan ada juga yang langsung mendaftarkan diri untuk pembuatan akta gratis. Selama dua hari saja, masyarakat yang mendaftar sudah berjumlah sekitar 33 orang.

Berdasarkan ketentuan yang ditetapkan Dukcapil, masyarakat yang dilayani untuk pembuatan akta kelahiran gratis dari usia 0-18 tahun. Namun menurut Kepala Seksi Kelahiran Kematian dan Pengesahan Anak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Djoko Haryanto, kebanyakan usia yang mendaftar diatas ketentuan.

Pelayanan pembuatan akta kelahiran gratis tersebut tetap menggunakan persyaratan. Persyaratan itu antara lain, persyaratan pendukung seperti surat keterangan dari rumah sakit, akta nikah atau perkawinan dan surat bukti kewarganegaraan. Untuk syarat wajib meliputi kartu tanda penduduk (KTP) orang tua, Kartu Keluarga (KK) dan suara keterangan atau pengantar dari kelurahan.

Bagi mereka yang usianya sudah lebih 18 tahun, joko mengarahkannya ke Kantor Catatan Sipil. Selain itu, mereka yang berusia lebih dari 28 tahun akan dikenakan biaya.
Besar biaya yang harus dikeluarkan warga yang mengurus KK dibedakan berdasarkan umur dan status. Mereka yang berusia lebih tua atau berstatus anak pertama akan dikenakan biaya yang lebih besar. Ia punya pengalaman tersendiri terkait pelayanan tersebut. “Banyak orang dari kabupaten yang mau mendaftar. Namun kita tolak sebab ini diperuntukkan bagi masyarakat Kota Pontianak,” kata dia.

Mengapa PT Gikoko mau memfasilitasi Kota Pontianak untuk mengurusi sampahnya? Semua itu berdasarkan Protokol Kyoto. Dimana negara-negara maju diwajibkan mengurangi emisi gas rumah kaca yang dapat menyebabkan meningkatnya pemanasan global.

Berangkat dari itulah pada tahun 1993 , Jepang dan Hongkong mendirikan sebuah perusahaan yang bernama Gikoko Kogyo Indonesia di Jakarta yang bergerak dalam bisnis Manufacturing dan Engginering. Selanjutnya perusahaan ini aktif mencari mitra untuk proyek Clean Development Mechanism (CDM) atau yang lebih dikenal dengan mekanisme pembangunan bersih.

Proyek ini bertujuan menurunkan emisi gas rumah kaca yaitu dengan melakukan pembakaran gas metana yang dihasilkan dari sampah. Dalam implementasi program ini PT. Gikoko telah melakukan penanda tangangan Memorandum Of Understanding (MOU) dengan Pemerintah Kota Pontianak pada 26 juli 2006 lalu untuk penerapan sistem Landfill Gas Flaring. MOU ini dilanjutkan dengan perjanjian kerjasama pada 18 Januari 2007 dengan model kontrak kerja selama 21 tahun.

Pada dasarnya tumpukan sampah akan mengeluarkan gas metana yang tampak seperti asap. Gas tersebut merupakan hasil penguraian an aerob yang dibantu oleh sejumlah bakteri. Gas metana ini merupakan salah satu gas yang menyebabkan terjadinya pemanasan global. Maka salah satu upaya untuk mengurangi pemanasan ini perlu dilakukan pembakaran pada gas metana hasil penguraian sampah tersebut.

*Teks Foto: Tower Pengolahan Sampah kerja sama antara Pemkot Pontianak dan PT Gikoko di TPA Batu Layang. Proyek ini menjual emisi gas metan kepada negara-negara maju. (Foto: Lukas B Wijanarko)

[ read the rest of this entry » ]

|

‘Mempawah Tempo Doeloe’ di Nederland

Seminggu lalu aku menerima surat dari salah seorang penulis senior di Kalbar, Ellyas Suryani Soren. Di pojok kanan surat tertulis Kepada Yth: Stevanus Akim, Redaktur Harian Borneo Tribune di Pontianak.

Aku agak protes sebab nama yang sebenarnya Stefanus, menggunakan ‘f’ bukan ‘v’ (Stevanus) seperti yang sering terjadi bahkan di kantor sendiri.

Namun protes tersebut terobati setelah membaca surat dari Pak Ellyas, yang harusnya sudah layak kupanggil kakek. Aku masih ingat saat aku masih bertugas sebagai Kepala Biro Harian Equator di Mempawah, Kabupaten Pontianak-tempat dulu aku bekerja selama 4,4 tahun (Mengundurkan diri April 2007), ia cukup sering bertandang ke kantor di Jl Terarai A3.

Kami biasanya berdiskusi terbatas, mulai dari isu pemerintahan, sastra, politik, kemasyarakatan, sejarah hingga pengalaman Pak Ellyas. Untuk ukuran usia seperti pak Ellyas, aku melihat semangat itu sangat luar biasa. Bayangkan di zaman yang sudah serba digital, ia masih menuangkan karyanya dengan mesin tik. Bahkan tak jarang menggunakan tulis tangan pula. Sebuah semangat yang layak mendapatkan aplus dari generasi saat ini.

Belum lagi kemana-mana masih menggunakan sepeda ontel. Memang untuk ukuran Mempawah, sebuah kota kecil arah ke arah utara Kota Pontianak yang berjarak sekitar 60 KM sepeda sudah cukup sebagai sarana transportasi. Sebab penduduknya jarang dan satu dengan yang lain saling kenal. Kemudian jarak yang ditempuh juga tidak terlalu jauh.

Untuk tempat tinggal dan menikmati hari tua, Mempawah sepertinya tempat yang cocok. Jauh dari hiruk pikuk kota, polusi rendah, tak pernah macet serta aman. Hanya saja fasilitas lain terutama pusat perbelanjaan mungkin agak jarang.

Mengacu kepada cerita di masyarakat, Mempawah dibangun dan dibesarkan oleh lima bersaudara dari Bugis. Namun, Opu Daeng Menambon, salah seorang dari lima bersaudara tersebut akhirnya menetap di Mempawah yang sebelumnya mempersunting salah seorang puteri raja dari Kalbar.

Sebelumnya di Mempawah, sudah berkuasa raja Dayak, Patih Gumantar dan anak-anaknya di Sebukit Rama. Pusat kerajaannya di Pekana, sekarang Kecamatan Mempawah Hulu Kabupaten Landak. Warga setempat mengenalnya dengan Pakana, Karangan.

Namun setelah istrinya meninggal, ia merantau dan ikut alur Sungai Mempawah dan sampai di Sebukit Rama, sebuah bukit indah yang bersebelahan dengan bukit Tiong Kandang. Di kaki bukit itu ada anak sungai dengan air yang jernih. Patih Gumantar kemudian memindahkan kerajaanya ke Sebukit Rama.

Dari awal ia penganut agama Kaharingan (?) anak-anak patih Gumantar kemudian menganut Islam. Apalagi setelah perkawinan dengan Opu Daeng Menambon.

Kepercayaan masyarakat, makam Patih Gumantar berada di sebukit Rama tak jauh dari Makam Opu Daeng Menambon. Ia mati tak wajar, kepalanya putus dikayau (hunting heat) oleh Suku Miaju-juga disebut Biaju. Sub suku Dayak yang berada di perbatasan Malaysia dan Bengkayang.

Terkait kiriman tulisan Pak Ellyas, aku membuat tulisan untuk Borneo Tribune. Meskipun awalnya sempat mendapat olok-olok dari teman redaktur, Muhlis Suhaeri. "Apa dia jon, kita dijajah 3,5 abad, kok buku sejarah dikirim lagi ke dia," kata Muhlis kletak-kletok dengan komputernya tepat di depanku.

Ia memang mengedit berita itu. Sebab ia menangani halaman Kalbar Tribune, berita seputar Kalbar. Tulisan yang selesai kubuat itu kuberi judul: ‘Mempawah Tempo Doeloe’ di Nederland, isinya kurang lebih seperti berikut:

Satu lagi karya tulisan putra terbaik Kalimantan Barat mengisi pusat dokumentasi Kerajaan-kerajaan Indonesia di Nederland atau Belanda. Ini setelah Ellyas Suryani Soren diminta mengirimkan karyanya ‘Mempawah Tempo Doeloe’ oleh Donald P Tiek, pemilik DO Pusat Dokumentasi Kerajaan Indonesia yang beralamat di Van Bleiswljks Raat 52 C 3135 AM Vloardingen Nederland.

“Via telepon beliau telah memberitahu saya bahwa buku tersebut telah diterima dengan baik dan disimpan di pusat dokumentasi,” kata Ellyas, anggota Penulis 66 dan Budayawan Kalbar.

Sampai saat ini, pensiuan PNS di Kantor Informasi Arsip dan Perpustakaan Daerah (IAPD) Kabupaten Pontianak sudah menulis enam buah buku. Buku-buku tersebut tersebar di perpustakaan Melaka, Kuala Lumpur, Selangor, Brunai Darussalam, Banjarmasin, Palembang dan Kepulauan Riau.

Akhir-akhir ini, dirinya telah merampungkan sebuah buku Antologi Puisi ‘Lelaki Pulang Kampung’ dengan sambutan Ketua Dewan Kesenian Kalimantan Barat, H. Ibrahim Salim, Bupati Pontianak H Agus Salim, Ketua DPRD Kabupaten Pontianak H. Rahmad Satria, Selamat Muslana mantan guru Ellyas di KPA/KPAAN POntianak dan A. Muin Ikram seorang Pemerhati Sastra Budaya Kalimantan Barat.

Buku ini merupakan karya kreatif Ellyas yang ketujuh. “Untuk itu saya mohon respon maupun dukungan Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Pontianak agar buku ini bias dicetak. Mungkin ini karya terakhir saya, selanjutnya saya imbau generasi muda untuk menulis apa saja demi proses kreatif dan memperkenalkan daerahnya,” tutur dia.

Ellyas adalah salah satu penulis yang cukup produktif di Kabupaten Pontianak. Sebelum menjadi pegawai negeri di Kantor IAPD Kabupaten Pontianak, ia sempat menjadi wartawan di sejumlah media cetak terbitan lokal. Sempat pula mejadi penyiar Radio –sekarang Suara Praja Mempawah. Membuat skrip skenario drama radio, menulis cerpen, puisi dan antologi puisi. Di sela-sela tugas kesehariannya sebagai PNS, ia masih menyempatkan diri menulis buku dan karya-karya lain.

Di usianya yang sudah tak muda lagi, penulis sederhana yang kreatif dan mendapat gelar Dato’ Seri Budaya Astana oleh Panembahan ke-13 Keraton Amantubillah Mempawah, Mardan Adijaya Kesuma Negara, masih tekun menulis di media-media lokal. Kesederhanaan tampak dari kesehariannya, sebagai sarana transportasi ia cukup menggunakan sepeda ontel. Bahkan karya kreatifnya kadang hanya dibuat dengan tulisan tangan atau mesin tik. *

[ read the rest of this entry » ]

Tuesday, June 12, 2007 |

Kursus Jurnalisme Sastrawi XII

Jika tak ada aral melintang pertengahan bulan ini (18 - 29 Juni 2007) aku mendapat kesempatan mengikuti Kursus Jurnalisme Sastrawi Angkatan XII yang digelar Pantau Foundation Jakarta. Bangga, gembira bercampur aduk, sebab kesempatan ini sudah lama aku tunggu-tunggu.

Bertemu dan berdiskusi langsung dengan Andreas Harsono, pengampu materi Jurnalisme Sastrawi yang pernah belajar genre ini di Nieman Fellowship on Journalism di Universitas Harvard serta co-editor buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Dan, Janet Steele, dari George Washington University, yang menulis buku Wars Within.

Aku sangat berterima kasih kepada Borneo Tribune, tempat aku bekerja yang memberikan kesempatan langka ini. Terutama kepada Pimpinan Redaksi yang juga 'guru' bagiku, Nur Iskandar, teman-teman redaktur, wartawan, serta para alumni Pantau Foundation yang selalu menyemangati dan memberikan dorongan.

Mereka adalah Muhlis Suhaeri penulis buku Benyamin S, Muka Kampung Rezeki Kota yang bisa melihat persoalan dari sudut yang berbeda dan tak lumrah, Hairul Mikrad yang memiliki kerja keras tinggi dan kuat untuk membesarkan Borneo Tribune yang seimbang dengan postur tubuhnya.

Kemudian kepada Asriyadi Aleksander Mering, teman sekaligus abang yang selalu menyemangati saat-saat aku mulai lemah. Kepada Tanto Yakobus, rekan, teman, sekaligus abang yang tak bosan-bosan mengingatkan kalau salah. Juga kepada Safitri Rayuni, teman sekaligus adik yang baru melepaskan masa lajangnya. Selamat menempuh hidup baru...he...

Serta kepada pak Dr Yusriadi, 'guru' bagi teman-teman semua. Tokoh panutan yang bisa melihat semua persoalan dengan sudut keilmuan.

Tak lupa kepada istri tercinta, Benedicta yang rela cuti kerja selama aku tak ada di Pontianak. Serta kedua anakku, Alicia Gita Bamula dan Castilo Gagas Panamuan. "Maaf selama dua minggu ini bapak tak bisa antar sekolah di TK Bruder Kanisius Siantan pakai motor. Terpaksa kalian berpanas ria dengan mamak pakai oplet dan jalan kaki. Jangan nakal ya! Belajar yang rajin biar tambah pintar...Ha..."


Sebelumnya saat di Pontinak saya juga pernah mengikuti kursus Jurnalisme Investigatif dan Etika Media dengan pengampu Roberta Baskin yang digelar Harian Equator-Jawa Post Media Group tempat dulu saya bekerja selama 4,4 tahun. Selain Roberta Baskin ada pembicara lain diantaranya: Prof Dr Ralph Barney, Dr Elias Tana Moning, Atase Pers Kedubes AS Stanley Harsha dan Dahlan Iskan.

Aku juga pernah ikut seminar, wartawan investigasi yang digelar Lembaga Pendidikan dan Studi Arus Informasi (LPS-Air) bekerja sama dengan Jari Borneo Barat difasiltasi Direkturnya, Faisal Risa, senior saya di Lembaga Pers Mimbar Untan (LPMU). Diantara pemateri ada dari Tempo, Romy Fibri. Pelatihan pemantauan pemilu wartawan se-Kalimantan yang digelar atas kerjasama antara LPS-Air dan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) diantara pemateri adalah Hanif S, I Made Suardjana (redaktur Gatra) dan lainnya. Serta pelatihan dan kursus yang lain-lain tenatng Jurnalisme yang aku sudah lupa.

Tapi kali ini aku rasa cukup berbeda, sebab aku sudah baca beberapa karya Naratif Reporting. Rugi rasanya kalau sempat tak jadi.

Oh ia kembali ke kursus Jurnalisme Satrawi XII, berikut tulisan Bang Andreas Harsonoyang aku ambil dari weblognya

Silabus Kursus Jurnalisme Sastrawi XII

Jakarta, 18 – 29 Juni 2007


Hari ini hampir tak ada warga yang mendapatkan breaking news dari suratkabar. Mereka mendapatkannya kebanyakan dari televisi, radio, SMS, telepon atau internet. Tantangan baru muncul: Bagaimana suratkabar bertahan bila mereka tak bisa lagi mengandalkan kebaruan?

Sebuah jawaban dimunculkan di New York dan sekitarnya oleh Tom Wolfe pada awal 1970an. Wolfe mengenalkan sebuah genre baru: New Journalism. Ia mengawinkan disiplin keras dalam jurnalisme dengan daya pikat sastra. Ibarat novel tapi faktual. Genre ini mensyaratkan liputan dalam namun memikat. Wolfe bikin riset dengan materi-materi lama guna menawarkan jawaban ini.

Genre ini kemudian dikenal dengan nama “narative reporting” atau “literary journalism.” Sejak 1980an, suratkabar-suratkabar di Amerika banyak memakai elemennya ketika kecepatan televisi membuat suratkabar tampil dengan laporan mendalam.

Pantau Jakarta mulai mengajarkan genre ini pada 2001. Pesertanya, 15 orang dengan anggapan mereka bisa optimal. Kursus ini kini berlangsung per semester, Januari dan Juni. Ia diadakan selama dua minggu, frekuensinya Senin, Rabu dan Jumat, masing-masing dua sesi sehari. Jeda satu hari dimaksudkan buat membaca dan membuat pekerjaan rumah.

Ia diampu oleh Janet Steele dari George Washington University, yang menulis buku Wars Within, serta Andreas Harsono dari Pantau, yang pernah belajar genre ini di Nieman Fellowship on Journalism di Universitas Harvard serta co-editor buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Dayu Pratiwi mengurus logistik, administrasi dan pendaftaran.

MINGGU PERTAMA oleh Janet Steele Senin, 18 Juni 2007 pukul 10:00-12:00 -- Pembukaan: membicarakan silabus, perkenalan, bagi tugas, dan diskusi tentang jurnalisme sastrawi, tentang prinsip-prinsip dasar dalam melakukan reportase, membedakan mana yang fakta dan mana yang fiksi, kriteria dari gerakan “literary journalism.”

Bacaan: “Kegusaran Tom Wolfe” oleh Septiawan Santana Kurnia; “The Girl of the Year” oleh Tom Wolfe; “Dua Jam Bersama Hasan Tiro“ oleh Arif Zulkifli; “A Boy Who Was Like a Flower” oleh Anthony Shadid.

Senin, 18 Juni 2007 pukul 13:00-15:00 -- Diskusi lanjutan tentang definisi jurnalisme sastrawi, dari Tom Wolfe hingga Mark Kramer, dan pengaruhnya pada perkembangan suratkabar mainstream di Amerika Serikat.

Tugas untuk Rabu: Rekamlah pembicaraan dengan seorang teman, anggota keluarga, atau seorang nara sumber. Jadikan ia sebuah monolog. Buat transkripnya, lalu disunting sehingga enak dibaca. Topiknya bisa apa saja tapi cari yang bisa memikat pembaca. Contohnya, “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” oleh Chik Rini. Mohon tak membuat lebih panjang dari 500 kata agar semua peserta bisa mendapat bagian membacakan karyanya di kelas.

Rabu, 20 Juni 2007 pukul 10:00-12:00 -- Diskusi tentang pekerjaan rumah yang dibuat berdasarkan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.”

Bacaan: “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” oleh Chik Rini; sebagian dari buku “In Cold Blood” karya Truman Capote dan kliping dari harian The New York Times pada 1959 “Wealthy Family, 3 of Family Slain.”

Rabu, 20 Juni 2007 pukul 13:00-15:00 -- Diskusi tentang immersion reporting berdasarkan karya Truman Capote “In Cold Blood” serta membandingkannya dengan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.”

Tugas untuk Jumat: Tulislah sebuah narasi dengan gaya orang pertama (“saya” atau “aku” atau “abdi” atau ”gua” atau lainnya) untuk menggambarkan sebuah adegan. Gunakan model “The Armies of the Night” karya Norman Mailer dimana Mailer memasukkan dirinya dalam laporannya. Bahan ini akan dibacakan di depan kelas.

Jumat, 22 Juni 2007 pukul 10:00-12:00 -- Diskusi tentang pekerjaan rumah yang dibuat berdasarkan “The Armies of the Night” serta persoalan kata “saya.”

Bacaan: “Tikungan Terakhir” (laporan kematian wartawan Rudi Singgih) oleh Agus Sopian; “It’s an Honor” oleh Jimmy Breslin dan “The Armies of the Night” karya Norman Mailer.

Jumat, 22 Juni 2007 pukul 13:00-15:00 -- Diskusi tentang persoalan struktur narasi, dan bagaimana memanfaatkan narasi dalam berita hangat (breaking news) dengan contoh “Tikungan Terakhir” oleh Agus Sopian dan “It’s an Honor” oleh Jimmy Breslin.

MINGGU KEDUA oleh Andreas Harsono
Senin, 25 Juni 2007 pukul 10:00-12:00 -- Diskusi soal jurnalisme dengan The Elements of Journalism karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Mencari tahu di mana letak jurnalisme sastrawi. Diskusi tentang persoalan etika, pengelolaan emosi pembaca dan sebagainya.

Bacaan: “The Elements of Journalism” karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel; “Media Bias in Covering the Tsunami in Aceh” karya Andreas Harsono. Buku Sembilan Elemen Jurnalisme terjemahan karya Kovach dan Rosenstiel disediakan dalam paket.

Senin, 25 Juni 2007 pukul 13:00-15:00 -- Diskusi lanjutan soal jurnalisme dan nasionalisme, jurnalisme dan agama, jurnalisme dan etnik, ideologi, gender, dengan contoh-contoh di Indonesia.

Bacaan tambahan: “The Ethnic Origins of Religious Conflict in North Maluku Province, 1999-2000” oleh Chris Wilson, “Indonesia’s Unknown War and the Lineages of Violence in West Kalimantan” oleh Jamie S. Davidson dan Douglas Kammen, “Patterns of Collective Violence in Indonesia (1990-2003)” oleh Ashutosh Varhney, Rizal Panggabean, Mohammad Zulfan Tadjoeddin.

Tugas untuk Rabu: Bikinlah deskripsi dengan padat. Manfaatkan indra penciuman, pendengaran, warna, gerakan, kasar-halus, kontras (lucu, aneh, menarik) dan sebagainya. Hindarkan klise macam “nyiur melambai” atau “angin sepoi-sepoi.” Bikin deskripsi yang akan merampas perhatian pembaca! Maksimal 500 kata.

Rabu, 27 Juni 2007 pukul 10:00-12:00 -- Diskusi struktur narasi dengan contoh “Hiroshima” karya John Hersey. [Andreas Harsono]

Bacaan: “Hiroshima” oleh John Hersey; “Menyusuri Jejak John ‘Hiroshima’ Hersey”oleh Bimo Nugroho.

Rabu, 27 Juni 2007 pukul 13:00-15:00 — Satu isu namun muncul dalam empat pendekatan. Isunya Aceh namun muncul dengan empat naskah, empat gaya, empat struktur. Perhatikan perbedaan masing-masing struktur. Perhatikan masing-masing "tokoh cerita."

Bacaan: “Orang-orang di Tiro” karya Linda Christanty; “Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan” karya Alfian Hamzah; “Republik Indonesia Kilometer Nol” karya Andreas Harsono; “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” karya Chik Rini.

Jumat, 29 Juni 2007 pukul 10:00-12:00 -- Mendiskusikan pekerjaan rumah, sumber anonim, referensi kedua, interview dan diskusi soal struktur.

Bacaan: “Tujuh Kriteria Sumber Anonim” serta “Ten Tips for Better Interviews.”

Jumat, 29 Juni 2007 pukul 13:00-15:00 -- Penutupan serta tanya jawab. Diskusi struktur bila ada peserta yang punya rencana bikin liputan panjang. Penyerahan sertifikat oleh Andreas Harsono.

[ read the rest of this entry » ]

|

Pontianak Tuan Rumah APEKSI & ICE 2007

Perhelatan akbar Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pemerintahan Kota Seluruh Indonesia (Rakernas Apeksi) secara umum akan dibuka malam ini di gedung Pontianak Convention Centre (PCC) pukul 19.00. Ratusan bahkan ribuan tamu diperkirakan akan hadir.

Acara akan dimulai dengan malam ramah-tamah yang terdiri dari berbagi kegiatan. Diantaranya: pembukaan, tarian selamat datang, makan malam, sambutan Walikota Pontianak, Buchary A Rahman, sambutan Ketua Apeksi dr H Jusuf SK, launching City Net Indonesia, penyerahan cendramata dan hiburan tarian multi etnis dan music live.
Kegiatan ini merupakan kehormatan bagi Kota Pontianak. Sebab sebagai tuan rumah Rakernas Apeksi Indonesia City Expo (ICE) 2007 yang diselenggarakan 5 hari sejak 13-17 Juni tak semua kota bisa menjadi tuan rumah.

Walikota Buchary A Rahman yang ditemui Tribune di kediamannya belum lama ini mengatakan, setakad ini pihaknya terus melakukan persiapan-persiapan dan semua sudah rampung, kecuali hal-hal teknis.

Besok harinya rencananya akan hadir Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM), Suryadarma Ali dan Menteri Pekerjaan Umum, Joko Kimanto serta Dirjen Cipta Karya dan Penataan Khusus Perkotaan. Pontianak diberikan kesempatan untuk memberikan pemaparan tiga pokok bahasan. Yaitu Air Bersih, Kesehatan dan Kebersihan. ”Selama ini ada semacam paradigma bahwa sampah itu kotor. Tapi kalau diatur dengan baik justru mendatangkan uang. Misalnya saja kerjasama antara Gikoko dan Pemkot untuk menangkap gas metan dan bisa hasilkan uang triliunan,” kata Buchary.

Penyelenggaraan ini merupakan hasil gotong-royong antara anggota-anggota Apekasi. Saat ini sudah 75 kota yang menyatakan siap hadir. Kota Jakarta Selatan bahkan akan membawa 50 orang rombongan, sementara Blitar dengan 20 orang.

“Mungkin kegiatan seperti ini tak langsung berpengaruh dengan Pendapatan Asli Daerah, namun ada hal positifnya. Katakanlah kalau ada 1.000 tamu yang datang maka pastilah ada yang membelanjakan uangnya di Pontianak. Sehingga penjual souvenir, hotel, penginapan, travel, taksi, penjual-penjual es akan kebagian rezeki,” ungkap dia.

Ia juga berharap agar para pengerajin yang ada di Pontianak dan sekitarnya menyiapkan hasil kerajinan. Sebab sudah menjadi kebiasaan yang lumrah jika tamu yang datang mencari oleh-oleh khas daerah yang dikunjunginya.

Apeksi adalah wadah yang dibentuk oleh Pemerintah Kota yang bertujuan untuk membantu anggotanya mempercepat pelaksanaan otonomi daerah dan menciptakan iklim yang kondusif bagi kerjasama antar-Pemerintah Daerah.

Selain tujuan di atas, Apeksi juga bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan anggota dalam DPOD guna diabadikan bagi akselerasi peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui demokrasi, peran serta masyarakat, keadilan, dan pemerataan yang memerhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.

Sedangkan visi adalah organisasi strategis untuk pemberdayaan kota-kota dalam rangka pelaksanaan otonomi di Indonesia. Dengan misi, berusaha untuk menjadi suatu organisasi yang terpercaya, profesional di bidang perkotaan dalam mendukung dan melaksanakan upaya terbaik bagi pemerintahan kota melalui pembangunan yang demokratis, transparan, otonomi yang bertanggung jawab, sebagai bagian dari masyarakat baru pada struktur pemerintahan di Negara Republik Indonesia.

Dalam situs, http://www.apeksi.or.id/ disebutkan Musyawarah Nasional (Munas) I Apeksi, tanggal 22-23 Juni 2000 di Surabaya, merampungkan dan mengesahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Apeksi. Dewan Pengurus dan Direktur Eksekutif pun dipilih. Wali Kota Surabaya H. Sunarto Sumoprawiro terpilih sebagai Ketua Dewan Pengurus Apeksi dan menjadi wakil Asosiasi Pemerintah Daerah yang duduk di DPOD. Munas juga menyepakati beberapa hal, termasuk di dalamnya besaran iuran dan Program Kerja Apeksi Tahun 2000-2001.

Waktu itu, Apeksi beranggota 96 pemerintah kota di Indonesia. Sejalan dengan perjalanan waktu, Apeksi mengalami beberapa perubahan, di antaranya adalah jumlah kota anggota dan kepengurusan. Saat ini Apeksi beranggotakan 91 pemerintah kota. Perubahan ini disebabkan oleh adanya pemekaran wilayah dan peningkatan status dari kota administratif menjadi kota otonom atau penurunan status dari kota administratif kembali menjadi kecamatan. Selain itu, Ketua Dewan Pengurus saat ini dijabat oleh Wali Kota Tarakan, dr. Jusuf SK.

Meskipun salah satu maksud utama pembentukan Apeksi adalah untuk memilih wakil kota-kota untuk duduk di DPOD, Apeksi telah mengambil peran yang lebih besar. Kota-kota kini memiliki kesempatan untuk mengawali pembentukan Asosiasi di tingkat nasional yang benar-benar demokratis otonom. Organisasi Apeksi dari sejak dini dirancang untuk memenuhi kebutuhan yang benar-benar diperlukan kota-kota (anggota).

Dalam rangka membantu maksud tersebut, bentuk organisasi dan gagasan mengenai peran dan lingkup kegiatan-kegiatan yang mungkin diemban Apeksi dapat pula disusun berdasarkan pengalaman Asosiasi Pemerintah Daerah yang sudah terbentuk dan terbukti sukses di tingkat internasional. *

*Diterbitkan Borneo Tribune, 12 Juni 2007
*Laporan: Stefanus Akim & Mujidi
*Teks Foto: Pekerja memasang tenda sebagai persiapan pembuatan stand ICE 2007 di Ayani Mega MAll. (Lukas B Wijanarko/Borneo Tribune)

[ read the rest of this entry » ]

|

Pontianak dalam Blog

Perkembangan Weblog di Pontianak akhir-akhir ini ternyata sangat tinggi. Salah satunya apa yang dimuat dalam http://www.yaserace.blogspot.com/. Berikut tulisannya yang coba saya upload kembali.

Sunday, June 10, 2007
Pontianak dalam Blog

Dulu saya sempat menulis begini:Satu dekade terakhir kita seakan terhenyak menyadari kenyataan bahwa kehadiran teknologi, apapun namanya, tetaplah hanya sebagai alat. Manusialah yang menentukan arah dan tujuannya—Man behind the gun. Laksana pisau yang bermata dua. Teknologi, dalam hal ini internet memiliki dua sisi kontradiktif yaitu positif dan negatif. Positifnya, melalui internet kita dapatkan lautan ilmu pengetahuan tanpa batas; kita dengan mudah menjalin komunikasi tanpa terbelenggu jarak, ruang dan waktu. Ilmu, hiburan dan komunikasi merupakan benang merah manfaat internet yang dapat diraih. (PCplus, 19-25 Februari 2003).

Meski pada saat menulis itu saya sangat sadar sisi positif internet, namun saya tidak menyangka bahwa eksploitasi sisi positif internet itu belumlah “selesai”. Bahkan hingga goresan tulisan ini anda baca.Ya, pada saat menulis itu (2003), saya yang baru mengenal sebatas e-mail, chatting, browsing saja sudah berani menulis sebegitu indahnya tentang internet. Apalagi sekarang, dengan pemahaman yang lebih berwarna. Hehehe.

Siapa yang menyangka, bahwa kita terhubung melalui lima rantai pertemanan. Saya akan terhubung dengan Bill Gates melalui kawan saya punya teman, temannya itu punya sahabat, sahabatnya itu punya sohib, Sohibnya itu punya rekan bernama Bill Gates! Ini berkali-kali dibuktikan secara ilmiah. Di internet, ini terjadi begitu mudah. Selain dengan friendster, juga bisa lewat e-mail.

Anda ingin menulis e-mail ke Presiden Ahmadinejad, misalnya. Anda cukup mengirimkannya kepada teman yang anda kenal. Nantinya e-mail itu, secara berantai, akan mampir ke inbox Ahmadinejad. Dengan catatan, Ahmadinejad punya account e-mail lho! heheheNamun kegundahan, seperti biasa, juga menyembul melihat bahwa kita tak beranjak, tak lebih hanya sekedar: pemakai (baca: konsumen).

Semua keajaiban di internet itu lahir dari pahlawan-pahlawan manca negara. Tersebut nama-nama: John Mauchly, David Filo, Jerry Yang, Gordon Moore dan masih banyak lagi. Kemana si Mamat, Amir, Budi, Joko, Agus. Kemana? Wait and see Hehehe.

Dengan kacamata “ni’mat”, setidaknya saya masih belajar menjadi pemakai yang produktif. Konsumen aktif, begitulah kira-kira. Salah satunya tercermin melalui blog ini.Berkaitan dengan blog, saya ingin menyisir aktivitas blogger Kalimantan Barat (ato Pontianak). Saya tidak mungkin masuk surga (dunia maya) sendirian! hahahaMetode yang saya pakai selain lewat googling, juga melalui jalan-jalan (blogrolling). Dari telusuran singkat saya, ada beberapa nama yang aktif: Nabilla dan Oesoep, salah duanya. Menyusul nama Rizqo, Zoel, Fadli dan Endi.Di jajaran media, nama Volare patut menjadi catatan. Namun sayang, posting terakhirnya dua tahun lalu.

Berikutnya, sejak kelahiran Borneo Tribune, terlahir blog-blog yang digawangi awak redaksinya, antara lain Stefanus Akim, Alex, Hairul Mikrad dan Tanto. Harapan besar tertumpu pada blogger ini, mengingat nama media yang disandangnya, Borneo Tribune. Koran ini patut menjadi catatan karena menyuguhkan menu berbeda dibanding koran lokal lainnya. Lebih banyak menu nurani. Agaknya ini diwakili oleh salah satu slogannya “idealisme”.Saya berharap ini menjadi gerakan “think globally, act locally”. Seperti yang dirintis angkringan Jogja, barudak Bandung, dan lainnya. Anda Setuju?

Saya yakin, blogger Pontianak, ups Kalimantan Barat, jumlahnya jauh melebihi daya searching saya. Maksud hati memeluk gunung, apa daya google tak sampai. Hehehe. Asumsi saya mengapa blogger lokal tidak terjangkau mesin pencari, selain karena jumlah blogger yang minim juga mayoritas blogger tidak sadar google. Untuk kasus pertama, saya rasa pelan namun pasti blogger lokal akan mengalamai peningkatan signifikan (Thanks Speedy!). Untuk kasus terakhir, sudah banyak blog yang mengulasnya. :)Ada masukan dari blogger lainnya?

[ read the rest of this entry » ]

Monday, June 11, 2007 |

Mimpi yang Harus Direalisasikan

Banyak rencana yang dilontarkan Walikota Buchary A Rahman terkait pembangunan Kota Pontianak. Diantaranya cukup besar dan membutuhkan dana yang tidak sedikit, misalnya saja penataan Kapuas Besar, Balai Kota dan Water Front City, Sundial dan Observatorium Khatulistiwa di Batulayang. Semua itu seolah hanya mimpi, namun mimpi yang harus diwujudkan. Tokh presiden pertama republik ini, Ir Soekarno pernah berujar, “Gantungkan cita-citamu setinggi langit”.

Banyak kalangan menilai rencana tersebut mengada-ada, namun banyak pula yang mendukung. Apalagi Pontianak memang butuh perubahan yang cukup mendasar. Meskipun demikian konsep yang dilakukan untuk perubahan tentu saja jangan sampai merusak dan mengubah yang sudah menjadi ciri khas kota ini.

Ketua Komisi D DPRD Kota Pontianak, Mongonsidi misalnya mengacungkan jempol untuk konsep pembangunan kota yang dilakukan Walikota Pontianak. Konsep tersebut diantaranya, penataan kawasan Kapuas Besar yang bakal dijadikan semacam pusat perdagangan, balai kota, water front city dan konsep lainnya.

“Siapa yang tidak tahu dengan konsep Pak Wali,” kata Mongonsidi, anggota DPRD Kota Pontianak, dari Partai Amanat Nasional pada wawancara dengan Tribune, pekan lalu.
Meskipun hal itu masih semacam mimpi, namun banyak hal yang harus dilakukan untuk mewujudkan mimpi tersebut. Seiring bertambahnya waktu, Kota Pontianak terus melangkah menuju kemajuan.

Ia melihat banyak indikator untuk melihat kemajuan, Diantaranya menjamurnya bangunan gedung bertingkat dengan arsitek maju. Pembangunan aluan-alun kapuas sebagai tempat bertamasya juga bentuk kemajuan kota. Di alun-alun tersebut sangat mudah menyaksikan hilir-mudiknya kendaraan air, baik kapal bandung, perahu sampan atau kendaraan air lainnya. Alun-alun itu akan lebih indah apabila konsep water front city wali kota dapat diwujudkan.

Politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) ini sangat mengimpikan jika Pontianak menjadi kota air seperti negara Belanda. Apabila pusat kota terletak di tepi sungai, maka keindahannya akan sangat terasa. Bukan tak mungkin akan banyak wisatawan yang akan berkunjung ke Pontianak.

Ia juga menyoroti pendidikan, sejak dipimpin Buchary, angka buta aksara terus mengalami pengurangan. Data di Dinas Pendidikan Kota Pontianak, tahun 2006 jumlah buta aksara mencapai 5.000 orang, namun tahun 2007 turun sekitar 2.000 orang dan menjadi sekitar 3.000 orang.

Sejumlah lembaga pendidikan berkualitas juga bermunculan di Kota Pontianak, mulai dari sekolah-sekolah negeri unggulan, sekolah swasta hingga sekolah bertaraf internasioal seperti Tunas Bangsa. Mulai tumbuhnya pendidikan berkualitas tersebut menjadi salah satu indikator bahwa Kota Pontianak terus menuju kearah yang lebih maju. Program regrouping atau penggabungan sekolah baik manajemen maupun bangunan juga menjadi salah satu indikator kemajuan kota Pontianak di segi dunia pendidikan.

“Ada segi positifnya regrouping, ini merupakan upaya efesiensi bangunan, tenaga serta biaya. Namun jangan sampai ada upaya lain dibalik regrouping, misalnya mau tukar guling atau semacamnya,” kata dia.

Selain kemajuan-kemajuan yang sudah dicapai Kota Pontianak, ada beberapa hal yang masih stagnan. Seperti penataan pedagang kaki lima (PKL) serta pengemis jalanan. Penertiban PKL masih perlu dioptimalkan oleh pemerintah kota.

Misalnya saja di Pontianak Utara, pasarnya masih terlihat kumuh dan tidak tertata dengan rapi. Sementara pedagang yang di pasar Dahlia, Sungai Jawi. Sekarang PKL itu sangat teratur dan sangat jauh berbeda dua atau tiga tahun sebelumnya.

Selain PKL, bangunan-bangunan sarang burung walet di tengah kota juga mengganggu pemandangan kota. Akibat walet tersebut, beberapa bangunan di tengah kota berbentuk “roket”. Agar tidak merusak pemandangan kota, sebaiknya bangunan walet itu disamarkan

Pendapat berbeda dikatakan Arif Joni Prasetyo. Ia mengaku justru kesemsem dengan kondisi Pontianak tahun 1980-an. Kehidupan Pontianak tempoe doeloe begitu religius dan aman. Pontianak yang masih mengandalkan kendaraan air. Kerinduan suasana indah itu, membuat ia bersemangat berbuat baik untuk kota Pontianak

Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahterah (F. PKS), mengatakan, siapapun yang dipercaya menjadi pemimpin di Pontianak entah legislatif ataupun eksekutif berbuat banyak lah untuk kepentingan umat. Hl ini merupakan tujuan dan sebagai amal yang bernilai ibadah.

Ia mengaku akan berupaya mendorong agar Pemerintah Kota Pontianak mampu mewujudkan kota yang sesuai dengan visi-misinya dan mencari jalan keluar atau solusi terkait dengan berbagai masalah perkotaan. Terkait anggaran untuk pembangunan, Arif menilai itu bisa disepakati, asalkan peraturan daerah atau produk hukum yang mendukung terwujudnya visi Kota juga telah disepakati.

“Saya sangat menyukai kondisi Pontianak tempoe doeloe, sebelum tahun 1980-an. Waktu itu kehidupan masyarakat lekat dengan agama. Terbukti dengan ketaatan dalam menjalankan ibadah yang diperintahkan Tuhan Pencipta Alam Semesta. Banyaknya rumah-rumah ibadah di Kota Pontianak, qari’ dan qari’ah terkenal baik dalam kancah nasional maupun internasional, hingga kota Pontianak sangat diperhitungkan,” kenangnya.

Ia melihat Pontianak tempoe duloe juga terbilang aman. Kendaraan motor yang diletakkan di depan rumah nggak ada yang usil atau mengambil. Bedanya dengan sekarang, motor yang diparkir di depan rumah harus dikunci ganda.

Ia banyak berharap agar sejumlah persolan bisa diselesaikan oleh pemrintah daerah. Misalnya saja prostitusi, judi dan minuman keras. Terkait dengan permasalahan agama dan kebudayaan. Masyarakatnya dikenal sebagai masyarakat yang taat beragama. Pemkot dapat membuat berbagai macam program syi’ar agama. Ciri khas sebagai kota religius dikembalikan, salah satu caranya dengan menggali kembali dengan proyek Armel (tulisan Arab melayu), menjadi tulisan resmi pada nama jalan, papan nama kantor dan fasilitas-fasilitas umum lainnya.

Tahun 2008 sebagai tahun terakhir pengabdian Walikota, Buchary A Rahman dan wakilnya. Sebaiknya pasangan ini membuat gebrakan dan program yang monumental, yang bisa dikenang anak cucu. Misalnya waterway.

Saat ini memang sudah ada sejumlah bangunan yang dibangun saat pemerintahan Walikota Pontianak. Diantaranya Pontianak Convention Centre (PCC) yang sering sekali menjadi tempat kegiatan masyarakat, Water Front City (WFC), sekolah-sekolah, Pasar Dahlia, dan lainnya.

Untuk membangun Kota Pontianak tak hanya dari segi infrastruktur semata, namun segi rohani juga mesti diperhatikan. Sebab perlu keseimbangan antara yang fisik dengan yang rohani atau mental.


“Yang paling berperan dalam perjalanan hidup saya, adalah Allah SWT,” kata anggota Komisi A DPRD Kota Pontianak, Andri Zulfikar. Ia anggota DPRD Kota Pontianak dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) saat ditanya tentang dirinya.

Selain Sang Pencipta, Zulfikar menilai, teman seperjuangannya di PKS, yang jadi pendorongnya. Kenapa ia bergabung di sana, karena PKS merupakan partai yang selalu gigih menjalankan syariat Islam. Ini juga partai yang menjadikan Alquran sebagai panutan dan dasar pergerakan.

Ia menganggap, menjadi anggota DPRD amanat dari rakyat. Semua keluhan rakyat yang sampai padanya harus disampaikan. Baginya suka tidak suka, profesi itu harus tetap dijalankan. “Hal tersulit di kota ini, saat pemimpinnya sibuk dengan urusan pribadi,” kata Zulfikar.

Ia menilai, sekarang ini, pemimpin lebih banyak mengurus kepentingan pribadi. Selaku pengemban amanah, pemimpin seharusnya lebih mengorbankan waktu untuk rakyatnya.
Ia berpendapat, sebaiknya pemimpin punya banyak waktu tersedia. Apalagi, untuk kota berpenduduk sekitar 600 ribu orang, seperti Kota Pontianak. Pemimpin harus menyediakan waktu sepenuhnya, bagi warga yang dipimpin.

Pemimpin harus mengabdi kepada masyarakat selama 18 jam. Empat jam untuk istirahat, dan dua jam keluarga. Zulfikar mencontohkan mantan presiden Habibie. Menurut Zulfikar, waktu istirahat Habibie hanya dua jam. Agar waktu efektif ia menyarankan, kegiatan dilakukan terarah. Ia punya resep, sebagai seorang pemimpin, harus berpikir keras, mengerjakan apa yang diamanahkan dan mengerjakan sesuatu yang bermanfaat.

“Pemimpin di Pontianak kurang berkorban dengan waktu, tidak tegas menegakkan aturan, dan terlalu bertoleransi dengan pelanggar hukum. Sebagai pemimpin yang memegang amanah, sebaiknya penerapan hukum tidak pandang bulu. Siapapun dia, baik pejabat atau anggota dewan, apabila terbukti bersalah, harus ditindak tegas,” tegasnya.
Ia memandang, kota ini akan banyak perubahan, jika pemimpin punya ketegasan terhadap pelanggar hukum. Jika tidak memiliki ketegasan dan enggan menerima saran, sebaiknya berhenti saja.

Ketegasan pemimpin sangat berdampak dengan ketenangan suasana kota. Seingat Zulfikar, pada 1980-an, merupakan kenangan tidak terlupakan. Pada zaman itu, segala bentuk kriminalitas, hampir tidak ada. Zaman itu, masyarakat hidup dengan tenteram. Ia mencontohkan, sepeda yang ditinggal di pinggiran jalan, tidak bakal hilang. “Suasana seperti itu, seharusnya dikembalikan,” kata Zulfikar.

Ia berpendapat, meningkatnya angka kriminalitas, juga diakibatkan peningkatan jumlah penduduk. Selain karena bertambahnya angka kelahiran tiap tahunnya, kepadatan penduduk dikarenakan warga pendatang.

Cara mengatasi pertambahan penduduk pendatang, ia mengusulkan, pemerintah harus menyediakan kartu identitas sementara. Kartu itu berisi batas waktu bagi warga pendatang pencari kerja. Batas waktu ditetapkan selama tiga bulan. Bila di atas tiga bulan, pekerjaan tidak didapatkan, warga pendatang tersebut harus pulang.

Bentuk lain ketidaktegasan pemerintah adalah kumuhnya Pasar Sudirman. Padahal, pada era 80-an, pasar tradisional itu bersih dan rapi. Tak ditemukan pedagang kaki lima berjualan di trotoar. Sekarang ini, pedagang kaki lima menjamur. Tumpah ruah memenuhi jalan dan trotoar. Anehnya, mereka berdagang di depan toko orang lain. Menurut Zulfikar, berdagang seperti ini, sama juga menzalimi orang lain.

Agar tidak semerawut, pemerintah membuat perencanaan terpadu. Misalnya, jarak antara pedagang satu dengan pedagang lainnya, harus diatur. Perencanaan ini dapat dilakukan, bila pemerintah duduk satu meja dengan para ahli. Seperti, pakar lingkungan, tata kota, pedagang, masyarakat dan semua elemen berkompeten.

Meskipun demikian, ia berharap kedepannya, sungai Kapuas diatur seperti pinggiran Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Di sana, terdapat water front city. Warga bisa memanfaatkan kota untuk tamasya.

Pontianak sebenarnya ada lokasi serupa. Namanya Alun Sungai Kapuas. Namun, lokasi ini, kurang bisa dimanfaatkan untuk bersantai. Banyak ruko kecil dan pedagang di sana. Menurutnya, pelabuhan Senghie, juga tempat enak untuk bersantai. “Namun sayang, potensi itu belum terkelola dengan maksimal. Pemimpin harus bisa berfikir maju, dan selalu menciptakan inovasi atau temuan baru,” kata Zulfikar. *

*Stefanus Akim & Mujidi *Foto: Lukas B Wijanarko/Borneo Tribune
*Diterbitkan Edisi Khusus Borneo Tribune, 10 Juni 2007

[ read the rest of this entry » ]

Sunday, June 10, 2007 |

Tanah dan Kekayaan Alam untuk Rakyat

Para aktivis lingkungan hidup di Pontianak akan menggelar seminar sehari dan aksi damai pada 4-5 Juni. Kegiatan ini sebagai upaya kampanye hari lingkungan hidup se-dunia.

Pada hari pertama akan mengambil tema, ”Dampak Pembangunan yang Eksploitatif Terhadap Kerusakan Lingkungan di Kalbar”. Kegiatan bertujuan untuk menyatukan kesepemahaman bersama tentang kondisi konkrit masyarakat dan lingkungan hidup di Kalimantan Barat sehingga muncul tindakan konkrit bersama. Peserta untuk kegiatan ini diperkirakan 250 orang yang berasal dari masyarakat korban, organisasi massa, NGO’s, siswa pelajar, mahasiswa, politisi, pemerintah dan lainnya.

Sementara untuk hari kedua mengambil tema, “Tanah dan Kekayaan Alam untuk Rakyat”. Kegiatan ini bertujuan melakukan penekanan kepada semua pihak khususnya pemerintah dan pengusaha agar tidak membuka dan menyerahkan tanah dan kekayaan alam masyarakat kepada pemilik modal. Pada hari kedua ini diperkirakan akan dihadiri tak kurang 300 orang yang berasal dari masyarakat.

Hendi Chandra, aktivis Walhi Kalbar, kepada Tribune mengatakan, tanah dan kekayaan alam menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat adat atau lokal, petani, nelayan dan masyarakat pekerja pedesaan lainnya. Sebab tanah dan kekayaan alam merupakan pondasi dari keberadaan masyarakat adat/lokal, petani, nelayan dan pekerja pedesaan lainnya.

“Misalnya dalam masyarakat adat, tanah dan kekayaan alam merupakan sarana untuk mendapatkan kebutuhan material dan spiritual dalam melangsungkan hidup dan kehidupannya. Karya seni dan kebudayaan yang berkembang di dalam masyarakat adat merupakan gambaran hubungan antara manusia dengan Tanah dan kekayaan alam. Secara umum gambaran tersebut bisa terlihat dalam cerita-cerita rakyat yang hidup bertutur tentang kehidupan di hutan atau sekitar hutan, bahkan pohon-pohon besar, atau spesies kayu tertentu dipandang sebagai perlambang kekuatan,” kata Divisi Kampanye Walhi Kalbar dan menyebutkan setidaknya ada 82 lembaga yang akan ikut dalam kegiatan tersebut.

Petaka yang mengencam keberadaan masyarakat adat di wilayah Kalimantan hadir tidak lebih dari 30 tahun terakhir ini. Dimana, sejak penetrasi modal (investasi) masuk semakin dalam ke wilayah Kalimantan dengan melakukan eksploitasi kekayaan alam yang sangat meruah.
Hutan perawaan dihancurkan tanpa mempedulikan fungsi hutan yang menjadi penyeimbang bagi kehidupan melalui konsesi Hak Penguasaan Hutan (HPH), kandungan di dalam perut bumi yang kaya akan bahan tambang dikeruk melalui konsesi Kontrak Karya Pertambangan (KKP). Dan, untuk melanggengkan tanah-tanah masyarakat adat sebagai tanah jajahannya dengan mengambil alih tanah-tanah tersebut untuk dijadikan perkebuan kelapa sawit melalui konsesi Hak Guna Usaha (HGU).

Hendi melihat praktek tersebut dilakukan dengan mengabaikan keberadaan masyarakat adat yang sudah turun temurun ada, menjaga, memanfaatkan dan menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari alamnya atau dengan kata lain menganggap bahwa masyarakat adat tidak ada sama sekali. Hancurnya Hutan akibat penebangan dan hancurnya tanah akibat pertambangan serta berubahnya tanaman rakyat yang heterogen menjadi tanaman homogen berupa sawit merupakan realitas yang bisa dilihat dengan mata telanjang.

Penyingkiran masyarakat adat dari realitas obyektifnya, telah menyebabkan masyarakat adat kehilangan penopang bangunan sistem masyarakatnya yakni alam dengan segala isinya. Dimana saat ini alam dan segala isinya yang secara turun temurun penguasaan dan pengelolaan secara komunal oleh masyarakat adat telah berpindah tangan dan terkonsentrasi (terpusat) pada segelintir orang pengusaha (dalam atau luar negeri).

Kondisi ini, jika di bandingkan dari hancurnya Jawa oleh penjajahan model lama dapat disimpulkan bahwa hancurnya Kalimantan lebih cepat.

“Untuk itu kami sebagai bagian dari masyarakat yang selama ini bergulat untuk keadilan tanah dan kekayaan alam bagi masyarakat adat/lokal, petani, nelayan dan pekerja pedesaan lainnya dan juga bekerja untuk memajukan entitas’ ujarnya.

Dengan mengambil momentum Hari Lingkungan Hidup se-Dunia para aktivis akan melakukan serangkaian kegiatan dengan tema sentral ”Tanah dan Kekayaan Alam untuk Rakyat”. Harapannya dengan rangkaian kegiatan tersebut akan menggugah semua pihak untuk ikut membendung penghancuran bumi yang dilakukan oleh kekuatan imprealisme. Serta, menyerahkan penguasaan tanah dan kekayaan alam secara adil kepada masyarakat adat/lokal, petani, nelayan dan pekerja pedesaan lainnya.

Secara umum tujuan dari kegiatan ini adalah ”Menjadikan Hari Lingkungan Hidup se-Dunia sebagai momentum untuk membendung penghancuran bumi”. Lebih khususnya, antara lain:
memberikan informasi kepada masyarakat luas, pemerintah dan pengusaha serta pihak-pihak lain bahwa penguasaan tanah dan kekayaan alam yang dilakukan oleh rakyat selama ini akan menjamin keadilan, kedaulatan, kesejahteraan masyarakat dan juga kelangsungan layanan alam.

Selanjutnya melakukan penekanan kepada semua pihak khususnya Pemerintah dan Pengusaha agar tidak membuka dan menyerahkan Tanah dan Kekayaan Alam masyarakat kepada pemilik modal.

Sedangkan hasil umum dari kegiatan ini adalah ”Keterlibatan secara aktif dan kongkrit seluruh elemen masyarakat dalam membendung penghancuran bumi” sedangkan secara khususnya antara lain: Tumbuhnya kesadaran bersama akan kedaulatan rakyat atas wilayah, tanah dan kekayaan alam sebagai penjamin terwujudnya keadilan, kedaulatan, kesejahteraan masyarakat dan juga kelangsungan layanan alam serta ada tindakan konkrit dari pemerintah untuk membendung laju investasi yang merampas tanah dan kekayaan alam rakyat. *

*Borneo Tribune, 31 Mei 2007

[ read the rest of this entry » ]

Saturday, June 9, 2007 |

Minyak Sawit, antara Kenikmatan dan Bencana Ekologis

Sembilan Maklumat
Hari Lingkungan Hidup Se-dunia- 5 Juni 2007
‘’Tanah dan Kekayaan Alam untuk Rakyat’’

· Hentikan perampasan tanah Rakyat dan Penghancuran kekayaan alam
· Hentikan penghancuran hutan
· Hentikan perluasan perkebunan sawit baru , perbaiki sistem perkebunan kelapa sawit lama
· Usut tuntas kekerasan & kri minalisasi terhadap masyarakat adat, petani, nelayan, buruh, dan kaum pekerja lainnya
· Usir perusahaan Perampas tanah Rakyat dan Penghisap kekayaan alam
· Menolak kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat dan lingkungan
· Menolak sistem yang menghisap,menindas dan merusak tanah dan kekayaan alam


Konsumsi masyarakat akan minyak goreng sangat tinggi. Minyak nabati tersebut tak hanya tersedia di pasar tradisional namun juga di pusat-pusat perbelanjaan. Saat ini bahan yang terbuat dari minyak sawit lebih dominan dari kelapa, sering perluahan lahan dan produksi yang terus bertambah.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalbar, Saban Stiawan, pada seminar Hari Lingkungan di Anex kemarin, menuturkan, produk minyak kelapa sawit berupa minyak goreng telah diminati cukup lama dan menjadi kebutuhan di dunia. Terutama negara-negara maju yang tingkat konsumsi akan minyak goreng tinggi seperti Amerika, Eropa dan beberapa negara Asia lainnya. Oleh karena itu, permintaan dunia akan minyak sawit semakin meningkat.

“Atas dasar itu lah negara-negara berkembang yang menjadi korban seperti Indonesia, Papua Nugini dan Filipina. Dimana permintaan konsumen atau penikmat bisa mengalahkan kepentingan masyarakat yang secara langsung memiliki lahan maupun kawasan hutan,” papar Saban.

Dituturkan alumni, FKIP Untan ini, pada headlines di sebuah televisi swasta, pemerintah menekan harga minyak goreng dengan memasok 100.000 ton CPO. Upaya ini untuk menjaga keseimbangan nilai harga dalam negeri. Hal ini akan menambah penderitaan rakyat yang lebih mendalam, apalagi sebelumnya Wapres Jusuf Kala dan wakil perdana menteri Malaysia, Tun Sri Muhammad Najib, membuat kesepakatan bekerja sama melawan WTO dalam rangka menguasai sebesarnya pangsa minyak kelapa sawit dunia. “Karena itu perluasan perkebunan kelapa sawit memperlihatkan dinamika yang luar biasa,” ungkap dia.

Pada tahun 1995 luas total perkebunan kelapa sawit 2,024.986 Ha. Dengan komposisi, 32,5% perkebunan rakyat, 47,4% perkebunan swasta besar dan sisanya perkebunan negara. Dalam kurun waktu 10 tahun, total perkebunan sawit telah menjadi 5,601,776 ha, dengan rata-rata pertumbuhan 12,4% per tahun.

Menarik untuk dikemukakan bahwa komposisi 2 perkebunan tidak mengalami perubahan yang berarti, dimana perkebunan rakyat
meningkat sedikit dengan mengambil pangsa 34% dan perkebunan swasta besar juga meningkat.

“Permintaan akan minyak kelapa sawit berdampak secara langsung terhadap propinsi Kalimantan Barat, diwujudkan dengan luasan kelapa sawit mencapai 397.029 ha yang dicanangkan oleh Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat. Hal tersebut disampaikan
oleh Ir Wawan Hermawan selaku Kepala bidang Perlindungan dan Perencanaan Dinas Perkebunan,” ungkap Saban.

Data Dinas Perkebunan, Kalimantan Barat juga akan membangun sentral benih sawit tersebar dengan perkiraan anggaran sekitar Rp 15 miliar. Untuk memperluas perkebunan sawit, pemerintah telah membuat proyeksi pengembangan komoditas 2005-2008 dengan peningkatan. Misalnya tahun 2005 sebesar 382.324 Ha, tahun 2006 sebesar 397.029 Ha, tahun 2007 sebesar 411,734 Ha dan 2008 sebesar 426.439 Ha dengan pertumbuhan 4.0 persen.

Pemerintah Provinsi Kalbar juga menyediakan lahan seluas 20.000 Ha untuk perkebunan kelapa sawit bagi pegawai negeri sipil dengan memanfaatkan areal milik perusahaan yang izinnya terancam dicabut. Lokasinya di Kabupaten Pontianak, tapi pemerintah kabupaten pernah mengeluarkan izin kepada perusahaan hingga belum difungsikan hingga izin berakhir.

“Namun tidak disangka-sangka proses minyak goreng yang dikonsumsi semua elemen bangsa tampaknya tidak dapat dipisahkan dari tindak pemaksaaan, intimidasi dan kekerasan.
Kasus-kasus sengketa antara manajemen perkebunan dengan masyarakat adat atau lokal dapat ditemui di berbagai jenis perkebunan, tidak terbatas pada perkebunan kelapa sawit,” papar dia.

Akibat lain dari sisi minyak goreng (sawit) adalah dampaknya pada perekonomian rakyat. Dimana terjadi penghancuran basis eksistensi ekonomi masyarakat serta hilang sumber ekonomi lain. Kemudian berbuntut pada meningkatnya bencana banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan konflik vertikal dan horizontal.

Berdasarkan data Walhi Kalbar ada 51 kasus berupa perampasan lahan, penggusuran dan intimidasi (Edisi Khusus
Sawit/Th.XIV/2005). Kemudian gerakan civil society menggeliat di pelosok negeri baik kaum buruh, petani dan masyarakat adat. Tak kalah penting William Chang, Vikjen Keuskupan Agung Pontianak angkat bicara seputar sawit. Dia menyebutkan perkebunan sawit bukan juru selamat, tetapi bencana bagi sumber daya alam dan rakyat Indonesia, khususnya masyarakat lokal.

“Jalan keluar yang terbaik adalah segera menghentikan perluasan perkebunan sawit serta memperbaiki perkebunan yang sudah ada saat ini, mendorong potensi lokal dengan memperhatikan kemampuan dan sumber daya setempat. Sebab selain kenikmatan minyak sawit, bencana ekologis juga mengancam,” kata Saban mengingatkan.

Di Kalbar persoalan lingkungan semakin kompleks. Selain kerusakan lingkungan dan sumber daya alam, juga bisa menyebabkan konflik horizontal dan vertikal.

Pada seminar lingkungan yang digelar Walhi, 4 Juni 2007 bertema, ‘Tanah dan Kekayaan untuk Rakyat’, ada beberapa pointer penting. Diantaranya permasalahan lingkungan di Kalbar semakin kompleks bahkan semakin meluas seiring dengan “pembangunan” di Kalbar.

Isu Pilkada harus disingkronkan dengan isu kerusakan lingkungan. Bila perlu buat tawar-menawar politik dengan para calon gubernur, dan komitmen mereka dengan isu-isu lingkungan di Kalbar dalam visi dan misinya.

Apalagi perkebunan sawit ternyata lebih banyak dampak negatifnya daripada dampak positifnya, terutama terhadap penyumbangan penghancuran hutan Kalbar. Masyarakat diminta hati-hati dengan pembangunan yang bersifat eksploitatif karena bencana ekologis akan terjadi.

Masyarakat bersama aktivis lingkungan mesti bersuara bersama, merapatkan barisan untuk Kalbar yang bebas dari bencana. Kampanye arti penting lingkungan hidup harus dilakukan secara terus menerus.

Begitupun dengan penegakan hukum lingkungan masih menjadi menu utama bersama untuk mendorong dan mengawal kasus-kasus lingkungan sampai tuntas. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah harus pro rakyat dan lingkungan. Kedaulatan yang tertinggi adalah di tangan rakyat maka ”Tanah dan kekayaan alam adalah untuk rakyat” bukan untuk segelintir orang atau korporasi. Gerakan lingkungan harus menjadi gerakan bersama. Kolonialisme baru datang dalam bentuk kapitalisme melalui ekonomi dengan memberi utang kepada bangsa Indonesia.

“Bencana ekologis, seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, semburan lumpur, kerugian sosial terjadi karena tidak adanya kepastian hukum, kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat.
Pengambilan kekayaan alam dengan membabi buta telah menghancurkan aspek-aspek lingkungan. Semuanya demi memenuhi kepentingan kaum imperialisme dan kapitalisme.

Bencana ekologis yang terjadi harus ditanggung oleh anak negeri ini. Tapi...kita sudah tidak mau lagi menanggung derita. Kita sudah tidak mau lagi menerima bencana. Maka Tanah dan Kekayaan Alam Hanya Untuk Rakyat. Oleh karena itu Selamatkan Lingkungan Sekarang,” seruan pencinta lingkungan.

Foto: (1) Rino/Antara, (2) dan (3) Stefanus Akim/Borneo Tribune

Borneo Tribune, 5 Juni 2007

[ read the rest of this entry » ]

|

Kategori

Powered By Blogger

Total Pageviews