Pemekaran Kebutuhan Masyarakat Kalbar

Semangat UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kesempatan kepada daerah untuk melakukan pembentukan atau penggabungan daerah baru. Begitupun dengan pemekaran daerah yang tak mungkin dihalangi.

“Mesti diketahui bahwa UU tersebut adalah keputusan politik DPR sebagai representasi rakyat dan itu wajib dipatuhi termasuk oleh pemerintah dan DPR,” kata anggota DPR RI, HM Akil Mochtar, SH, MH kepada Tribune, Senin (21/5) di Pontianak.

Ia menegaskan tak benar jika ada pernyataan yang mengatakan 85% daerah pemekaran mengalami masalah. Itu hanya cara pandang orang-orag pusat terhadap perkembangan daerah. Sebab daerah adalah sumber keuangan bagi pusat.

“Harus diingat bahwa pemekaran itu adalah keinginan rakyat bukan kehendak DPR. Kalau kita lihat syarat pertama pemekaran adalah rekomendasi DPRD sebagai representasi rakyat bukan keputusan bupati atau gubernur yang hanya sebagai syarat administrasi pendukung,” tutur politisi Partai Golkar yang memulai karirnya sebagai pengacara ini.

Akil melihat pemekaran di Kalbar sebagai suatu kebutuhan. “Bayangkan ribuan kilometer jalan tak ada aspal. Langkah strategis apa yang diambil pemerintah pusat selama ini untuk kita. Kalau Dana Alokasi Umum (DAU) atau Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah kewajiban pusat untuk diberikan ke daerah, sementara sektor lain, perbatasan misalnya hingga sekarang surat keputusan presiden saja tak dikeluarkan,” tegas Akil.

Menurut dia, pusat boleh tak memberikan pemekaran, namun APBD harus besar. Sebab daerah memberikan penghasilan besar untuk pusat, namun yang dikembalikan kecil. Selama ini indikator distribusi APBD tak jelas, hanya berdasarkan luas wilayah dan jumlah penduduk, sementara dari segi penghasilan tak dihitung. “Belum lagi pembagian APBD berdasarkan upeti, kabupaten mana yang berani beri upeti besar maka besarlah dia dapat kucuran dana ABPD atau APBN. Sekarang yang terjadi, kabupaten sama, namun jumlah APBD-nya berbeda, ” ungkapnya.

Sejak UU 22 Tahun 1999 soal Pemerintahan Daerah diputuskan, di Kalbar sudah memetik buahnya. Pemekaran pertama dirasakan Bengkayang yang sebelumnya bagian dari Kabupaten Sambas. Sambas sendiri pun menyusul dengan berdiri sendiri di luar Kota Singkawang. Hal sama terjadi untuk Kabupaten Pontianak yang mekar dengan Kabupaten Landak serta akan menyusul Kabupaten Kubu Raya.

Di wilayah Timur juga terjadi pemekaran dari Kabupaten Sanggau serta Sintang, masing-masing Kabupaten Sekadau dan Melawi. Dan saat ini yang akan menyusul berkembang adalah Kabupaten Kayong Utara yang semula ada di Kabupaten Ketapang.

Tujuan pemekaran wilayah yang terkandung di dalamnya otonomi atas daerah sendiri adalah mendekatkan layanan kepada masyarakat. Pada sisi lain terjadi pemerataan pembangunan bila ditinjau dari aspek tata pemerintahan, hingga sarana dan prasarana umum seperti jalan, jembatan, rumah sakit dan sebagainya. Ekonomi dan bisnis yang selama ini belum tersentuh juga dapat tumbuh dan berkembang.

Foto: Lukas B Wijanarko

[ read the rest of this entry » ]

Wednesday, May 30, 2007 |

Tanah dan Kekayaan Alam untuk Rakyat

Para aktivis lingkungan hidup di Pontianak akan menggelar seminar sehari dan aksi damai pada 4-5 Juni. Kegiatan ini sebagai upaya kampanye hari lingkungan hidup se-dunia. Pada hari pertama akan mengambil tema, ”Dampak Pembangunan yang Eksploitatif Terhadap Kerusakan Lingkungan di Kalbar”.

Kegiatan bertujuan untuk menyatukan kesepemahaman bersama tentang kondisi konkrit masyarakat dan lingkungan hidup di Kalimantan Barat sehingga muncul tindakan konkrit bersama.

Peserta untuk kegiatan ini diperkirakan 250 orang yang berasal dari masyarakat korban, organisasi massa, NGO’s, siswa pelajar, mahasiswa, politisi, pemerintah dan lainnya
Sementara untuk hari kedua mengambil tema, “Tanah dan Kekayaan Alam untuk Rakyat”.

Kegiatan ini bertujuan melakukan penekanan kepada semua pihak khususnya pemerintah dan pengusaha agar tidak membuka dan menyerahkan tanah dan kekayaan alam masyarakat kepada pemilik modal. Pada hari kedua ini diperkirakan akan dihadiri tak kurang 300 orang yang berasal dari masyarakat.

Hendi Chandra, aktivis Walhi Kalbar, mengatakan, tanah dan kekayaan alam menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat adat atau lokal, petani, nelayan dan masyarakat pekerja pedesaan lainnya. Sebab tanah dan kekayaan alam merupakan pondasi dari keberadaan masyarakat adat/lokal, petani, nelayan dan pekerja pedesaan lainnya.

“Misalnya dalam masyarakat adat, tanah dan kekayaan alam merupakan sarana untuk mendapatkan kebutuhan material dan spiritual dalam melangsungkan hidup dan kehidupannya. Karya seni dan kebudayaan yang berkembang di dalam masyarakat adat merupakan gambaran hubungan antara manusia dengan Tanah dan kekayaan alam. Secara umum gambaran tersebut bisa terlihat dalam cerita-cerita rakyat yang hidup bertutur tentang kehidupan di hutan atau sekitar hutan, bahkan pohon-pohon besar, atau spesies kayu tertentu dipandang sebagai perlambang kekuatan,” kata Divisi Kampanye Walhi Kalbar dan menyebutkan setidaknya ada 82 lembaga yang akan ikut dalam kegiatan tersebut.

Petaka yang mengencam keberadaan masyarakat adat di wilayah Kalimantan hadir tidak lebih dari 30 tahun terakhir ini. Dimana, sejak penetrasi modal (investasi) masuk semakin dalam ke wilayah Kalimantan dengan melakukan eksploitasi kekayaan alam yang sangat meruah.

Hutan perawaan dihancurkan tanpa mempedulikan fungsi hutan yang menjadi penyeimbang bagi kehidupan melalui konsesi Hak Penguasaan Hutan (HPH), kandungan di dalam perut bumi yang kaya akan bahan tambang dikeruk melalui konsesi Kontrak Karya Pertambangan (KKP). Dan, untuk melanggengkan tanah-tanah masyarakat adat sebagai tanah jajahannya dengan mengambil alih tanah-tanah tersebut untuk dijadikan perkebuan kelapa sawit melalui konsesi Hak Guna Usaha (HGU).

Hendi melihat praktek tersebut dilakukan dengan mengabaikan keberadaan masyarakat adat yang sudah turun temurun ada, menjaga, memanfaatkan dan menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari alamnya atau dengan kata lain menganggap bahwa masyarakat adat tidak ada sama sekali. Hancurnya Hutan akibat penebangan dan hancurnya tanah akibat pertambangan serta berubahnya tanaman rakyat yang heterogen menjadi tanaman homogen berupa sawit merupakan realitas yang bisa dilihat dengan mata telanjang.

Penyingkiran masyarakat adat dari realitas obyektifnya, telah menyebabkan masyarakat adat kehilangan penopang bangunan sistem masyarakatnya yakni alam dengan segala isinya. Dimana saat ini alam dan segala isinya yang secara turun temurun penguasaan dan pengelolaan secara komunal oleh masyarakat adat telah berpindah tangan dan terkonsentrasi (terpusat) pada segelintir orang pengusaha (dalam atau luar negeri).

Kondisi ini, jika di bandingkan dari hancurnya Jawa oleh penjajahan model lama dapat disimpulkan bahwa hancurnya Kalimantan lebih cepat.

“Untuk itu kami sebagai bagian dari masyarakat yang selama ini bergulat untuk keadilan tanah dan kekayaan alam bagi masyarakat adat/lokal, petani, nelayan dan pekerja pedesaan lainnya dan juga bekerja untuk memajukan entitas’ ujarnya.

Dengan mengambil momentum Hari Lingkungan Hidup se-Dunia para aktivis akan melakukan serangkaian kegiatan dengan tema sentral ”Tanah dan Kekayaan Alam untuk Rakyat”. Harapannya dengan rangkaian kegiatan tersebut akan menggugah semua pihak untuk ikut membendung penghancuran bumi yang dilakukan oleh kekuatan imprealisme. Serta, menyerahkan penguasaan tanah dan kekayaan alam secara adil kepada masyarakat adat/lokal, petani, nelayan dan pekerja pedesaan lainnya.

Secara umum tujuan dari kegiatan ini adalah ”Menjadikan Hari Lingkungan Hidup se-Dunia sebagai momentum untuk membendung penghancuran bumi”. Lebih khususnya, antara lain:
memberikan informasi kepada masyarakat luas, pemerintah dan pengusaha serta pihak-pihak lain bahwa penguasaan tanah dan kekayaan alam yang dilakukan oleh rakyat selama ini akan menjamin keadilan, kedaulatan, kesejahteraan masyarakat dan juga kelangsungan layanan alam.

Selanjutnya melakukan penekanan kepada semua pihak khususnya Pemerintah dan Pengusaha agar tidak membuka dan menyerahkan Tanah dan Kekayaan Alam masyarakat kepada pemilik modal.

Sedangkan hasil umum dari kegiatan ini adalah ”Keterlibatan secara aktif dan kongkrit seluruh elemen masyarakat dalam membendung penghancuran bumi” sedangkan secara khususnya antara lain: Tumbuhnya kesadaran bersama akan kedaulatan rakyat atas wilayah, tanah dan kekayaan alam sebagai penjamin terwujudnya keadilan, kedaulatan, kesejahteraan masyarakat dan juga kelangsungan layanan alam serta ada tindakan konkrit dari pemerintah untuk membendung laju investasi yang merampas tanah dan kekayaan alam rakyat.*

[ read the rest of this entry » ]

|

Melihat Kota dari Kacamata Fotografer

Fotografi sebagai suatu bahasa komunikasi visual, terbukti mempunyai pengaruh besar di masyarakat. Fotografi sanggup menjembatani berbagai lapisan masyarakat, mulai dari strata sosial paling rendah hingga paling tinggi sekalipun.

Lukas B. Wijanarko, salah seorang Fotografer andal Pontianak yang pernah menimba ilmu di pulau Jawa akan memperlihatkan sudut-sudut kota dari sudut pandang fotografi. Ia menamai pameran ini ‘Presenting Pontianak’.

Hasil jepretan Lukas akan dipamerkan secara tunggal dan terbuka untuk umum selama 12 hari. Pembukaan pameran akan digelar di Hotel Kapuas Palace disertai dengan talk show terbuka tentang fotografi dan Kota Pontianak, pada 16 Juni 2007.

Selanjutkan secara bergantian akan dipamerkan di Kapuas Palace sejak 16-18 Juni 2007 dan di Matahari Departemen Store Ayani Mega Mall pada 19-24 Juni 2007.

Alumnus Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Fakultas Film dan Televisi, jurusan Fotografi bidang Jurnalistik tahun 1996-1998 ini akan menampilkan 30 karya dengan tema Dinamika Kehidupan dan Keindahan Kota Pontianak. Foto tersebut berukuran 60 x 90 dan 40 x 60 cm.

“Maksud dan tujuan dari pameran ini menampilkan berbagai dinamika kehidupan dan sisi-sisi keindahan Kota Pontianak untuk membangun image positif terhadap kota, memberikan informasi, sejarah, sehingga lebih mengenal identitas kota, masyarakat dan lingkungan sosialnya melalui foto yang dipamerkan,” kata Lukas.

Fotografer yang kini bergabung dengan Borneo Tribune ini menuturkan, kota sebagai suatu konsep tata ruang dan waktu merupakan wadah interaksi masyarakat yang menghuninya. Interaksi itu akan menghasilkan berbagai seni, budaya, dan teknologi. Dalam perkembangannya, beragama hasil kreasi dan akal budi manusia itu mengisi perkembangan suatu kota. Maka muncullah beragam seni arstitektur bangunan, jalan, jembatan, makanan, minuman dan lainnya.

“Beragam seni dan budaya itu, tentu saja membuat wajah kota menjadi semarak dan indah. Namun, bila potensi itu tidak digali secara maksimal, tentu saja tidak ada artinya. Masyarakat mesti digugah untuk menggali berbagai potensi dan kelebihan Kota Pontianak,” papar dia.

Fotografi dalam kapasitasnya sebagai bahasa komunikasi visual, punya kesempatan menjembatani keindahan wajah kota Pontianak. Selain itu, fotografi bisa berperan dalam setiap gerak dan perkembangan kota. Perkembangan dan kemajuan kota, bisa tercekam melalui foto. Pada akhirnya fotografi turut berperan menampilkan keindahan wajah kota Pontianak.

“Dalam rangka menjembatani hal hal itu, fotografi bisa menjembatani alat efektif bagi masyarakat untuk mengetahui dan melihat keindahan kota Pontianak. Pada intinya, fotografi bisa memotret segala keindahan dan kesemarakan kota Pontianak. Berangkat dari ide dasar itulah, sebagai warga Kota Pontianak yang lahir di kota ini, saya ingin membuat darma bakti sesuai dengan bidang yang saya tekuni sekarang.

Bagaimanapun juga Pontianak telah memberikan berbagai kenangan, pengalaman, proses kreatif di bidang fotografi yang saya tekuni,” tukas Lukas.*

*Diterbitkan Borneo Tribune 29 Mei 2007

[ read the rest of this entry » ]

Monday, May 28, 2007 |

Hakikat Gasing

Mengapa gasing bisa berputar lama? Gasing bisa berputar lama karena kesimbangan. Bentuk dan ukurannya yang pas membuat ia berputar lama. Bahkan saat kena uri (dikempar dengan gasing lain) ada yang masih tetap berputar.

Menurut temanku Muhlis Suhaeri (Pak Gasing), hidup juga seperti itu. Butuh keseimbangan. Jika tidak maka cepat akan tumbang.

Konon, menurut legenda masyarakat Dayak permainan gasing mempertemukan anak manusia dan anak pencipta dalam sebuah permainan. Nek Baruakng Kulup, si anak Tuhan turun ke bumi untuk bermain gasing dengan anak manusia.

Namun tak satupun, manusia yang menang. Para ayah 'talino' manusia kemudian marah, sebab setiap hari harus membuat gasing. Sebab gasing anak-anaknya pecah melawan Nek Baruakng Kulup.

Apa rahasianya? Ternyata teman mereka yang datang tak diketahui dan pulang tak diketahui ini makanannya beda. Jika mereka makan 'kulat karakng', sejenis jamur warna coklat kecil yang hidup di atas kayu yang baru ditebang teman mereka justru makan benda putih mirip ulat.

Terjadilah dialog dan tawar-menawar diantara mereka. "Kamu makan ulat," vonis manusia. "Bukan. Ini namanya nasi. Makan sepotong puas hati, makan sebiji perut kenyang," kata Baruakng Kulup.

Karena manusia merasakan enaknya makan nasi. Maka merekapun akhirnya minta bibit padi pada anak Tuhan. Untuk membawanya ia masukkan diujung kemaluan sebab takut Ayahnya marah. Oleh sebab itulah ada kayakinan setiap laki-laki harus sunat. Sebab jika tidak maka akan sial, sunat untuk membuang darah sial

*Gasing Berputar Ligat (Foto: Lukas B. Wijanarko)

[ read the rest of this entry » ]

|

Hakikat Burung Ruai

Konon pada zaman dahulu di daerah Kabupaten Sambas, tepatnya di pedalaman benua Bantahan sebelah Timur Kota Sekura Ibukota Kecamatan Teluk Keramat yang dihuni oleh Suku Dayak, telah terjadi peristiwa yang sangat menakjubkan untuk diketahui dan menarik untuk dikaji, sehingga peristiwa itu diangkat ke permukaan.

Kepercayaan orang bahwa di daerah tersebut terdapat sebuah kerajaan yang kecil, letaknya tidak jauh dari Gunung Bawang yang berdampingan dengan Gunung Ruai. Tidak jauh dari kedua gunung dimaksud terdapatlah sebuah gua yang bernama ”Gua Batu”, di dalamnya terdapat banyak aliran sungai kecil yang di dalamnya terdapat banyak ikan dan gua tersebut dihuni oleh seorang kakek tua renta yang boleh dikatakan ”sakti.

Cerita dimulai dengan seorang raja yang memerintah pada kerajaan di atas dan mempunyai tujuh orang putri, raja itu tidak mempunyai istri lagi sejak meninggalnya permaisuri atau ibu dari ketujuh orang putrinya. Di antara ketujuh orang putri tersebut ada satu orang putri raja yang bungsu atau si bungsu. Si bungsu mempunyai budi pekerti yang baik, rajin, suka menolong dan taat pada orang tua, oleh karena itu tidak heran sang ayah sangat menyayanginya. Lain pula halnya dengan keenam kakak - kakaknya, perilakunya sangat berbeda jauh dengan si bungsu, keenam kakaknya mempunyai hati yang jahat, iri hati, dengki, suka membantah orang tua, dan malas bekerja. Setiap hari yang dikerjakannya hanya bermain - main saja.

Dengan kedua latar belakang inilah, maka sang ayah ( raja ) menjadi pilih kasih terhadap putri - putrinya. Hampir setiap hari keenam kakak si bungsu dimarah oleh ayahnya, sedangkan si bungsu sangat dimanjakannya. Melihat perlakuan inilah maka keenam kakak si bungsu menjadi dendam, bahkan benci terhadap adik kandungnya sendiri, maka bila ayahnya tidak ada di tempat, sasaran sang kakak adalah melampiaskan dendam kepada si bungsu dengan memukul habis - habisan tanpa ada rasa kasihan sehingga tubuh si bungsu menjadi kebiru - biruan dan karena takut dipukuli lagi si bungsu menjadi takut dengan kakaknya.

Untuk itu segala hal yang diperintahkan kakaknya mau tidak mau sibungsu harus menurut seperti : mencuci pakaian kakaknya, membersihkan rumah dan halaman, memasak, mencuci piring, bahkan yang paling mengerikan lagi, sibungsu biasa disuruh untuk mendatangkan beberapa orang taruna muda untuk teman/menemani kakaknya yang enam orang tadi. Semua pekerjaan hanya dikerjakan si bungsu sendirian sementara ke enam orang kakaknya hanya bersenda gurau saja.

Sekali waktu pernah akibat perlakuan keenam kakaknya itu terhadap sibungsu diketahui oleh sang raja ( ayah ) dengan melihat badan ( tubuh ) si bungsu yang biru karena habis dipukul tetapi takut untuk mengatakan yang sebenarnya pada sang ayah, dan bila sang ayah menanyakan peristiwa yang menimpa si bungsu kepada keenam kakaknya maka keenam orang kakaknya tersebut membuat alasan - alasan yang menjadikan sang ayah percaya seratus persen bahwa tidak terjadi apa - apa. Salah satu yang dibuat alasan sang kakak adalah sebab badan sibungsu biru karena sibungsu mencuri pepaya tetangga, kemudian ketahuan dan dipukul oleh tetangga tersebut. Karena terlalu percayanya sang ayah terhadap cerita dari sang kakak maka sang ayah tidak memperpanjang permasalahan dimaksud.

Begitulah kehidupan si bungsu yang dialami bersama keenam kakaknya, meskipun demikian sibungsu masih bersikap tidak menghadapi perlakuan keenam kakaknya, kadang - kadang si bungsu menangis tersedu - sedu menyesali dirinya mengapa ibunya begitu cepat meninggalkannya. sehingga ia tidak dapat memperoleh perlindungan. Untuk perlindungan dari sang ayah boleh dikatakan masih sangat kurang. Karena ayahnya sibuk dengan urusan kerajaan dan urusan pemerintahan.

Setelah mengalami hari - hari yang penuh kesengsaraan, maka pada suatu hari berkumpullah seluruh penghuni istana untuk mendengarkan berita bahwa sang raja akan berangkat ke kerajaan lain untuk lebih mempererat hubungan kekerabatan diantara mereka selama satu bulan. Ketujuh anak ( putrinya ) tidak ketinggalan untuk mendengarkan berita tentang kepergian ayahnya tersebut.

Pada pertemuan itu pulalah diumumkan bahwa kekuasaan sang raja selama satu bulan itu dilimpahkan kepada si bungsu, yang penting bila sang raja tidak ada di tempat, maka masalah - masalah yang berhubungan dengan kerajaan ( pemerintahan ) harus mohon ( minta ) petunjuk terlebih dahulu dari si bungsu. Mendengar berita itu, keenam kakaknya terkejut dan timbul niat masing - masing di dalam hati kakaknya untuk melampiaskan rasa dengkinya, bila sang ayah sudah berangkat nanti. Serta timbul dalam hati masing - masing kakaknya mengapa kepercayaan ayahnya dilimpahkan kepada si bungsu bukan kepada mereka.

Para prajurit berdamping dalam keberangkatan sang raja sangat sibuk untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Maka pada keesokan harinya berangkatlah pasukan sang raja dengan bendera dan kuda yang disaksikan oleh seluruh rakyat kerajaan dan dilepas oleh ketujuh orang putrinya.

Keberangkatan sang ayah sudah berlangsung satu minggu yang lewat. Maka tibalah saatnya yaitu saat-saat yang dinantikan oleh keenam kakaknya si bungsu untuk melampiaskan nafsu jahatnya yaitu ingin memusnahkan si bungsu supaya jangan tinggal bersama lagi dan bila perlu si bungsu harus dibunuh. Tanda-tanda ini diketahui oleh si bungsu lewat mimpinya yang ingin dibunuh oleh kakanya pada waktu tidur di malam hari.

Setelah mengadakan perundingan di antara keenam kakaknya dan rencanapun sudah matang, maka pada suatu siang keenam kakak di bungsu tersebut memanggil si bungsu, apakah yang dilakukannya ?. Ternyata keenam kakanya mengajak si bungsu untuk mencari ikan ( menangguk ) yang di dalam bahasa Melayu Sambas mencari ikan dengan alat yang dinamakan tangguk yang dibuat dari rotan dan bentuknya seperti bujur telur ( oval ).

Karena sangat gembira bahwa kakaknya mau berteman lagi dengannya, lalu si bungsu menerima ajakan tersebut. Padahal dalam ajakan tersebut terselip sebuah balas dendam kakaknya terhadap si bungsu, tetapi si bungsu tidak menduga hal itu sama sekali.

Tanpa berpikir panjang lagi maka berangkatlah ketujuh orang putri raja tersebut pada siang itu, dengan masing - masing membawa tangguk dan sampailah mereka bertujuh di tempat yang akan mereka tuju ( lokasi menangguk ), yaitu gua batu, si bungsu disuruh masuk terlebih dahulu ke dalam gua, baru diikuti oleh keenam kakaknya. Setelah mereka masuk, si bungsu disuruh berpisah dalam menangguk ikan supaya mendapat lebih banyak dan ia tidak tahu bahwa ia tertinggal jauh dengan kakak-kakanya.

Si bungsu sudah berada lebih jauh ke dalam gua, sedangkan keenam kakaknya masih saja berada di muka gua dan mendoakan supaya si bungsu tidak dapat menemukan jejak untuk pulang nantinya. Keenam kakaknya tertawa terbahak - bahak sebab si bungsu telah hilang dari penglihatan. Suasana gua yang gelap gulita membuat si bungsu menjadi betul - betul kehabisan akal untuk mencari jalan keluar dari gua itu. Tidak lama kemudian keenam kakaknya pulang dari gua batu menuju rumahnya tanpa membawa si bungsu dan pada akhirnya si bungsupun tersesat.

Merasa bahwa si bungsu telah dipermainkan oleh kakaknya tadi, maka tinggallah ia seorang diri di dalam gua batu tersebut dan duduk bersimpuh di atas batu pada aliran sungai dalam gua untuk meratapi nasibnya yang telah diperdayakan oleh keenam kakaknya, si bungsu hanya dapat menangis siang dan malam sebab tidak ada satupun makhluk yang dapat menolong dalam gua itu kecuali keadaan yang gelap gulita serta ikan yang berenang kesana kemari.

Bagaimana nasib si bungsu ? tanpa terasa si bungsu berada dalam gua itu sudah tujuh hari tujuh malam lamanya, namun ia masih belum bisa untuk pulang, tepatnya pada hari ketujuh si bungsu berada di dalam gua itu, tanpa disangka - sangka terjadilah peristiwa yang sangat menakutkan di dalam gua batu itu, suara gemuruh menggelegar-gelegar sepertinya ingin merobohkan gua batu tersebut, si bungsupun hanya bisa menangis dan menjerit-jerit untuk menahan rasa ketakutannya, maka pada saat itu dengan disertai bunyi yang menggelegar muncullah seorang kakek tua renta yang sakti dan berada tepat di hadapan si bungsu, lalu si bungsupun terkejut melihatnya, tak lama kemudian kakek itu berkata, ” Sedang apa kamu disini cucuku ? ”, lalu si bungsupun menjawab, ” Hamba ditinggalkan oleh kakak - kakak hamba, kek ! ”, maka si bungsupun menangis ketakutan sehingga air matanya tidak berhenti keluar, tanpa diduga-duga pada saat itu dengan kesaktian kakek tersebut titik-titik air mata si bungsu secara perlahan-lahan berubah menjadi telur-telur putih yang besar dan banyak jumlahnya, kemudian si bungsupun telah diubah bentuknya oleh si kakek sakti menjadi seekor burung yang indah bulu-bulunya.

Si bungsu masih bisa berbicara seperti manusia pada saat itu, lalu kakek itu berkata lagi, ” Cucuku aku akan menolong kamu dari kesengsaraan yang menimpa hidupmu tapi dengan cara engkau telah kuubah bentukmu menjadi seekor burung dan kamu akan aku beri nama ” Burung Ruai, apabila aku telah hilang dari pandanganmu maka eramlah telur-telur itu supaya jadi burung - burung sebagai temanmu ! ”.

Kemudian secara spontanitas si bungsu telah berubah menjadi seekor burung dengan menjawab pembicaraan kakek sakti itu dengan jawaban kwek ... kwek ... kwek ... kwek .... kwek, Bersamaan dengan itu kakek sakti itu menghilang bersama asap dan burung ruai yang sangat banyak jumlahnya dan pada saat itu pula burung-burung itu pergi meninggalkan gua dan hidup di pohon depan tempat tinggal si bungsu dahulu, dengan bersuara kwek ... kwek .... kwek ... kwek .... kwek, Mereka menyaksikan kakak - kakak si bungsu yang dihukum oleh ayahnya karena telah membunuh si bungsu.

Mahkota: Bulu burung Ruai bagaikan mahkota bagi puteri 'Dayak'. Keanggunan dan keolokan gerakan burung Ruai menjadi inspirasi sejumlah tarian. (Foto: Lukas B. Wijanarko)

[ read the rest of this entry » ]

|

Kajari Minta Buku yang Dilarang Diserahkan

Kepala Kejaksaan Negeri Pontianak, Esly Demas meminta masyarakat yang menyimpan buku sejarah yang tidak menyantumkan peristiwa G30S/PKI untuk menyerahkan dengan suka rela.

“Kita minta kesadaran warga ataupun pemilik toko-toku buku untuk menyerahkan buku tersebut ke Kejaksaan. Sebab jika tertangkap atau terjaring saat operasi bersama maka akan diproses secara hukum,” kata Esly yang ditemui usai menghadiri Dies Natalis Untan di Auditorium, Senin (21/5).

Sejak seminggu lalu, Kejaksaan Negeri Pontianak juga sudah mengeluarkan surat edaran yang isinya meminta agar warga, pedagang atau siapa saja yang memiliki buku untuk menyerahkannya. “Kita tetap lakukan operasi tertutup terkait peredaran buku ini. Jika melewati batas waktu, namun kita menemukannya maka akan diproses sesuai dengan hukum yang berlaku,” kata dia sambil menuju mobilnya.

Adapun yang ditarik di peredaran adalah buku sejarah yang tidak mencantumkan peristiwa G30S/PKI. Ada 16 judul buku sejarah dimaksud, dimana 10 judul buku sejarah tingkat SMP/MTs dan 6 judul buku sejarah tingkat SMA/ MA/ SMK.

Penarikan buku sejarah itu menyusul keluarnya surat keputusan Jaksa Agung No. Kep-019/A/JA/ 03/2007 tentang larangan beredar barang cetak buku-buku teks pelajaran sejarah SMP/MTs, SMA/MA/SMK yang mengacu kepada kurikulum 2004, tanpa mencantumkan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada peristiwa Gerakan 30 September.

Sepuluh buku sejarah untuk tingkat SMP/MTs yang ditarik adalah, ”Kronik Sejarah I” SMP karangan Anwar Kurnia penerbit Yudistira, ”Sejarah 2 untuk SMP” dan ”Sejarah 3” karangan Matroji (Erlangga), ”Pengetahuan Sosial Sejarah 1” karangan Tugiono KS (Grasindo), ”Sejarah 1, 2, 3 untuk SMP” karangan Agus Gondho, dkk. (PT Galaxi Puspa Mega), ”Pengetahuan Sejarah 1” karangan Machi Suhadi (Esis), ”Sejarah untuk SMP” karangan M. Erik Kamsori (Regina).

Selanjutnya ”Manusia Dalam Perkembangan Zaman 1,” karangan Umasih (Ganeca Exact), ”Pengetahuan Sejarah 1” karangan Wayan Badrika (Bumi Aksara), ”Memahami Pengetahuan Sosial Sejarah 1” karangan E. Yuhana Wijaya (Armico), dan ”Pengetahuan Sosial Sejarah” karangan Sri Yatin, dkk (Sarana Panca Karya).

Sedangkan 6 judul buku sejarah untuk tingkat SMA/ MA/SMK yang ditarik adalah, ”Sejarah 1 untuk SMA” karangan TB Purwanto, dkk, ”Sejarah 2 untuk SMA” karangan Maria Kusnawati, dkk (PT Galaxi Puspa Mega), ”Sejarah 1 SMA” dan ”Sejarah 2a SMA” karangan Tugiono KS, dkk. (Grasindo), ”Sejarah Nasional 1 SMA” dan ”Sejarah Nasional 2a IPS SMA” karangan Siti Waridah, dkk (Bumi Aksara), ”Sejarah untuk SMA” karangan Didin Sarifudin (Regina), ”Sejarah Nasional dan Umum 1” karangan Edhie Wurjantoro (Balai Pustaka), dan ”Sejarah Nasional dan Umum 1” karangan AE Hermawan, MM, dkk. (Sarana Panca Karya).

*Terbit di Borneo Tribune 22 Mei 2007

[ read the rest of this entry » ]

|

Rendah, Kunjungan Dosen Untan ke Perpustakaan

Kunjungan mahasiswa dan dosen ke perpustakaan Untan rendah. Menurut catatan Rektor Untan, Dr. H. Chairil Effendy, M.S, rata-rata pengunjung perpustakaan perhari hanya 2 orang dosen dan 315 orang mahasiswi.

Di sisi lain, kondisi gedung perpustakaan Untan sudah cukup memadai. Akan tetapi, jenis koleksi yang dimiliki masih perlu ditambah dan diperbaharui karena sebagian besar koleksi sudah “out of date”. Koleksi beberapa buku, textbook, referensi, jurnal dan majalah berjumlah 9.792 dan 29.345 eksemplar, belum termasuk koleksi yang tersebar di setiap fakultas dan lembaga-lemaga.

Menurut Chairil, pada Rapat Terbuka Senat Dalam Rangka Dies Natalis ke-48 Untan, angka tersebut sangat kecil sebab rasio ideal jumlah dosen dan mahasiswa dengan koleksi perpustakaan adalah 1:5. Sayangnya, yang sedikit itu pun belum dimanfaatkan secara optimal.
Dalam kesempatan itu Chairil memperkirakan rendahnya kunjungan dosen Untan ke perpustakaan bisa juga disebabkan para dosen lebih senang meng-acces sumber ilmu melaluui perpustakaan pribadi, dan internet yang semakin mudah dan biaya rendah.

Ditemui Tribune usai kegiatan, Chairil mengakui memiliki beberapa cara yang diharapkan dapat mengatasi persoalan rendahnya kunjungan dosen Untan ke perpustakaan. Diantaranya ia menyarankan agar saat dosen memberikan tugas kepada mahasiswa menggunakan literatur bahasa Inggris. “Dengan begitu mau tidak mau mahasiswa dan dosennya terdorong untuk membaca,” tandas mantan Dekan FKIP.

Chairil yang baru pertama kali memimpin rapat senat setelah terpilih sebagai rektor juga menyoroti sarana dan prasarana laboratorium yang relatif belum memadai, khususnya fakultas Pertanian dan Kehutanan. Kondisi fisik laboratorium di dua fakultas ini memprihatinkan dengan usia peralatan di atas 20 tahun. Kondisi ini diperparah oleh kurang lancarnya supply air bersih dan listrik sehinga kerap merusak peralatan yang ada.

Saat ini Untan menyelenggarakan pendidikan tinggi di delapan fakultas engan 48 program study, yang meliputi 1 program D-2, 11 program D-3, 30 program S-1 dan empat program S-2.

Menanggapi rendahnya kunjungan dosen dan mahasiswa ke perpustakaan, Ketua Program Studi Ilmu Politik, FISIP Untan Jumadi S.Sos, mengakuinya. “Melihat dari angka tersebut kunjungan dosen Untan ke perpustakaan memang rendah. Apalagi hanya 2 orang dalam satu hari,” kata dia.

Namun ia melihatnya karena persoalan ktersediaan referensi yang tak “up to date”, padahal ilmu pengetahuan berkembang, di sisi lain referensi sangat terbatas. “Yang perlu dilakukan saat ini adalah memperbaiki struktur, dengan terus menambah jumlah buku dan bahan bacaan lainnya,” kata Jumadi.

IT Untan juga harus terus dibenahi. Sebab sebagai tempat untuk menimba ilmu maka peragkatnya juga harus disiapkan. Bukan hanya penambahan buku secara fisik tetapi juga perangkat lain. “Seorang dosen sangat perlu buku dan bahan bacaan, begitupun mahasiswa. Sumber informasi itu tentu saja bukan hanya lewat buku bisa juga lewat internet. Kalau kita lihat kunjungan dosen ke perpustakaan memang rendah, rata-rata hanya 2 orang per hari. Namun, Jumadi beralasan, kemungkinan mereka membaca koleksi pribadi atau mengakses media lain.

Rektor Universitas Tanjungpura, Dr Chairil Effendi melakukan terobosan yang akan memudahkan mahasiswa melakukan proses administrasi keuangan. Sejak Mei 2007, pihaknya telah menggandeng Bank Kalbar untuk menata sistem keuangan secara ‘on line’.
Ia berharap pembayaran SPP mahasiswa tahun 2007/2008 di ‘counter’ Bank Kalbar dapat diakses oleh Bagian Keuangan di BAUK, Bagian Kemahasiswaan di BAAK dan Bagian Perencanaan di BAPSI. Counter Bank Kalbar nantinya akan ditempatkan di gedung Fakultas Kedokteran.

“Kartu mahasiswa baru yang diterbitkan bersama Bank Kalbar kelak akan berfungsi pula sebagai anjungan tunai mandiri (ATM). Hal ini akan lebih memudahkan proses administrasi keuangan mahasiswa,” tutur Chairil.

Untuk itu Bidang Kemahasiswaan akan mendata ulang jumlah riil mahasiswa Untan. Sebab masih ditemukan fakta adanya selisih jumlah mahasiswa di Fakultas, BAAK dan Puskom.
Sedangkan di Bidang Keuangan akan diberlakukan ‘single account’. Seluruh dana dari luar Untan harus masuk ke rekening rektor sebagai rekening penampung dan disetorkan ke Kas Negara, kecuali rekening-rekening khusus untuk PHK atau penelitian yang dipersyaratkan tersendiri oleh Dikti.

Penarikan dana operasionalisasinya akan dikeluarkan sesuai dengan perencanaan yang disusun sebelumnya dan disetujui oleh Senat Universitas. Seluruh dana yang tersisa akan dikelola untuk kepentingan dana pendamping PHK, pembangunan sarana dan prasarana pendidikan, subsidi silang kepada program studi yang memerlukan bantuan, pengembangan atmosfir akademik di antaranya penerbitan buku ajar, buku teks, jurnal ilmiah atau seminar. Termasuklah membantu dosen untuk studi lanjut atau mengikuti seminar di tingkat nasional atau internasional, bantuan untuk dosen studi lanjut, reward bagi mahasiwa berprestasi dan lainnya. *

*Dimuat BOrneo Tribune 22 Mei 2007

[ read the rest of this entry » ]

|

Panitia Gawai Berbagai “Tuah”

Pekan Gawai dan Gelar Budaya Dayak se-Kalimantan 2007 tak hanya dimeriahkan dengan perlombaan dan pertandingan, gelar budaya, pameran dan lainnya. Namun ada juga unsur sosial, salah satunya “Jepret Batuah” hasil kerjasama antara panitia dan Borneo Tribune.
Jepret Batuah, artinya foto sejumlah pengunjung beruntung di Betang. Batuah, mengambil bahasa Dayak Kanayatn yang artinya “rezeki”. Mereka yang berhasil tertangkap kamera dan dilingkari mendapatkan bingkisan menarik. Sejak hari kedua sudah ada tiga yang berhasil dijepret.

Jepret Batuah dibawah koordinator Yosef Odilla Oendoen yang juga Koordinator Seksi Acara PGGBDK 2007. “Kegiatan ini semacam berbagai kegembiraan dengan pengunjung dan penonton. Jadi bukan hanya peserta yang terlibat langsung dengan kegitan ini dan berbahagia, namun juga seluruh masyarakat yang menyaksikannya,” kata Yosef.

Ia mengatakan, meskipun bingkisannya tidak terlalu bernilai jika diuangkan, namun kegiatan seperti itu jelas saja akan membuat semakin semarak. “Siapa yang kita jepret, baik oleh panitia maupun wartawan Borneo Tribune tentulah ada penilaian. Tak ada unsur KKN atau kawan. Yang ada ialah menjadikan kegiatan ini semakin semarak dan semakin banyak masyarakat yang mau menonton,” paparnya.

Rencananya Jepret Batuah akan berlangsung hingga penutupan pada Minggu, (27/5). Akan ada lagi yang beruntung tertangkap kamera panitia atau wartawan Borneo Tribune. Jadi, jika Anda ingin mendapatkan “tuah”, maka rajin-rajinlah berkunjung di Pekan Gawai dan Gelar Budaya Dayak se-Kalimantan. Siapa tahu wajah Anda muncul di koran kebanggan masyarakat “Borneo” ini dan dilingkari, maka bingkisan akan menjadi milik Anda. Semoga!!!

Peserta lomba pop singer anak dan dewasa malam nanti akan unjuk kebolehan di Betang. Mereka berupaya untuk menjadi yang terbaik. Acara pop singer anak dimulai pada pukul 16.00-18.00, sementara pop singer dewasa mulai pukul 18.30-21.00. Sebelumnya sekitar pukul 09.00-11.00 panitia memberikan kesempatan kepada peserta untuk mengambil nada final pop singer.

Dipastikan masyarakat Kota Pontinak dan sekitarnya akan tmpah ruah pada menyaksikan lomba pop singer ini. Peserta baik dari Kalbar maupun dari luar, yaitu: Kaltim, Kalteng, Kalsel serta sanggar yang tergabung dalam Sekberkesda.

Untuk anak-anak pada babak final diwajibkan membawakan satu lagu wajib dan satu lagu pilihan. Sebagai lagu wajib putra adalah “Pesauku” dan putri “Adi Asih”. Sementara untuk lagu pilihan diantranya: Jalai Ti Nyamai, Padahatn Ka’ Jubta, Ku Nyabakng, Basa Urakng Tuha, Adi’a. Masuk dalam kelompok anak-anak umur 9-12 tahun.

Sementara untuk pop singer dewasa berumur 16-25 tahun. Sama seperti pop singer anak-anak, pada final kali ini akan diseleksi lima peserta terbaik putera-puteri.

Adapun lagu wajib putera adalah Dara Lawa (Dom Ibanic Putera), puteri akan membawakan lagu wajib Jodoh Ame Dipaksa (Alpino Dj). Mereka akan membawakan lagu pilihan berupa: Sebana Ngena Lagu, Kalimantan, Dayang Kumang, Cinta Mutueh, Jai Ja’ Sampe dan Nya Muntuh Mulia. Sebelumnya, Kamis (24/5) dilakukan perlombaan melukis kanvas, lomba menumbuk dan menampi padi.

Pameran yang digelar di Halaman Museum Pontianak banyak dikunjungi masyarakat. Mereka tertarik dengan souvenir, baik berupa manik-manik, pakin adat, patung dan kerajinan tangan lainnya.

Pantauan Tribune di lapangan pemeran itu ramai dikunjungi karena pernak-pernik yang beragam dan banyak pilihan. “Senang datang di sini, sebab asik saja melihat yang dipamerkan. Beberapa kerajinan juga dijual dengan harga terjangkau. Untuk gelang manik-manik atau pembungkus pulpen misalnya ndak sampai Rp 5.000. Hanya saja yang mahal mungkin baju, patung ukuran besar atau mandau,” kata Eka, seorang mahasiwi Untan asal Sanggau.
Memang hampir semua stand budaya pada Gawai Dayak dan Gelar Budaya Dayak se Kalimantan memajang berbagai asesoris yang menjadi ciri budaya Dayak. Tidak hanya pernak-pernik, buku-buku keakaraban warga Dayak dengan lingkunganya juga dipajang.
Jika tahun sebelumnya stand budaya bertempat di halaman rumah Betang, kali ini lokasi stand ditempatkan di halaman Museum Kalbar di Jalan Ahmad Yani atau sekitar 200 meter dari pusat lokasi.

Sekitar 30 stand ikut ambil bagian pada kesempatan itu. Diantaranya stand Senggalang Burong, Pama Raya yang menjual kaset-kaset Lagu Dayak, Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional (BPSNT) Pontianak yang bergabung dengan Direktorat Tradisi Jakarta, ada juga stand Forum Persatuan Pemuda Daya (F2PD), Komunitas Kota Kita, WWF, Sanggar Borneo Trigas, Borneo Colection, Sanggar Kausuta, Sanggar Uyan, IPMSA), serta yang lainnya.

Meskipun cuaca di Kota Pontianak kurang bersahabat karena guyuran hujan, namun antusiasme masyarakat untuk menonton kegiatan di Betang, Jalan Sutoyo tetap tak terbendung. Bahkan halaman parkir tetap penuh begitupun halaman depan betang, Selasa (22/5).

Di sisi lain kesibukan para orang tua mempersiapkan anak-anaknya juga terlihat. Ada yang membuat tato non permanen dari spidol, memasang ikat kepala dan aksesoris lainnya.
Meskipun demikian penampilan mereka tak mengecewakan. Para peserta peragaan busana ini menunjukkan kemampuannya masing-masing, baik putera maupun puteri. Bak peragawan/peragawati profesional mereka melenggang-lenggok di atas catwalk. Sementara penonton berjubel menyaksikan dengan penuh antusias.

Kegiatan malam tadi juga diselingi dengan empat buah tarian. Diantaranya tari Belian Karunya (Kalteng), Tari Norotn (Bengkawan) serta tari Berayah.

Sementara hari ini rencannya akan ada sejumlah tarian lagi untuk selingan, diantaranya tari Mandarus Apui dari Kalimantan Selatan, Tari Dariyak Maatam, Tari Bakaat dan tari Berburu Enggang.

Kegiatan pertama berupa melukis perisai, dilanjutkan dengan menyumpit perorangan putra/puteri, uri gasing, lomba Terompah atau Bakiak. Yang paling menarik adalah upacara adat Tolak Bala, yang selanjutnya Lomba Enggrang dan lomba menangkap Babi.*

*Dimuat Borneo Tribune 25 Mei 2007

[ read the rest of this entry » ]

|

Berdoa Bersama Wujud Kepedualian Terhadap Bangsa

Puluhan ribu umat Katolik dan Kristen seluruh Indonesia kemarin malam melakukan doa bersama sebagai wujud kepedulian terhadap kondisi bangsa. Hal yang sama terjadi di Kota Pontianak, tak kurang dari seribu orang yang tergabung dalam Jaringan Doa se-Kota (JDS) berkumpul di Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) Siloam Jalan Kartini, Jumat (25/5) sejak pukul 18.00-21.00.

Kemarin malam, suasana gereja Siloam GPIB yang bersebelahan dengan Mall Matahari lain dari biasanya. Jumlah umat yang datang lebih banyak dari hari biasanya. Bahkan dari gereja Kristen yang berbeda-beda serta umat Katolik.

Tepat pukul 18.00, lonceng gereja berdentang beberapa kali. Rombongan pemazmur dan pembaca kidung Salomo masuk dan berdiri di depan altar. Dengan lancar kelompok koor ini menyanyikan beberapa kidung pujian, dilanjutkan dengan mendaras Mazmur dan pembacaan kidung Salomo.

Kemudian dilanjutkan dengan doa yang dipimpin oleh pendeta atau pastor secara bersama-sama. Umat yang hadir juga larut dalam doa, ada diantaranya yang menangis. Terhanyut oleh doa karismatik.

Ketua JDS, Pdt. Ali Santoso, mengatakan, maksud dan tujuan kegiatan ini sebagai bentuk kepedulian Gereja, baik Katolik maupun Kristen di Indonesia terhadap kondisi bangsa. “Kegiatan serupa dilakukan di 113 kota di seluruh Indonesia. Kita berdoa pada hari yang sama sebagai bentuk kepedulian kita terhadap bangsa. Supaya dengan berdoa bersama kondisi bangsa ini lebih baik lepas dari kritis,” kata Ali berapi-api.

Pada kesempatan itu, umat juga berdoa untuk Pilkada Gubernur agar aman dan tidak terjadi keributan. “Kita berharap ada perubahan ke arah yang lebih baik. Orang Kristen juga akan membangun bangsa dan kota ini agar menjadi tempat yang indah, aman, dan tenteram untuk ditempati,” jelas Ali.

Lebih jauh Gembala di Gereja Pantekosta Karosmatika di Indonesia (GPKdI), menuturkan, apa pun yang direncanakan manusia jika tanpa pertolongan Tuhan maka tidak mungkin akan terjadi. Oleh sebab itulah maka umatnya mesti berdoa kepada Tuhan. Ada nas kitab suci yang mengatakan, “Mintalah maka kamu akan diberikan, ketoklah maka pintu akan dibukakan untuk untukmu”.

“Tanpa pertolongan Tuhan maka semua akan sia-sia. Untuk meminta pertolongan itu maka mari kita bersama-sama berdoa kepada-Nya di sulur Indonesia,’ papar Ali.
Saat ini sejumlah kemalangan yang menimpa Indonesia membuat umat Katolik dan Kristen prihatin. Jika bangsa ini ada kesalahan mohon Tuhan mengampuni.

Ikut dalam JDS diantaranya gereja-gereja, Protesten, Pentakosta, Katolik dan lainnya. Kegiatan serupa juga pernah dilakukan di gereja Isaa Almasih di Ja;an Sugiono samping GOR Pangsuma. Kegiatan seperti ini sudah empat tahun berjalan, sebelumnya bernama Nation Prayer Conference (NPC) yang pertama kali menggelar doa bersama di GOR Pangsuma. Setelah itu di lapangan PSP (kini PCC), di GIA dan kemarin di GPIB Siloam.

“Tahun depan kita akan lakukan kembali hal serupa. Bahkan pada 17 Agustus tahun ini kita akan menggelar kembali, sebagai ucapan syukur atas kemerdekaan yang diberikan Tuhan kepada kita,” tandasnya.

Saat ditanya kegiatan ini dengan moment Hari Kebangkitan Nasional, Ali menuturkan ini adalah momen untuk mempertahankan keutuhan NKRI. “Kita sepakat untuk mempertahankan NKRI jangan terpecah-belah. Kita ingin membangun negeri ini secara bersama-sama, membangun dari berbagai aspek. Kita mau supaya kebangkitan nasional ini menjadi semangat pembaharuan juga bagi kita bersama,” kata dia.

Dalam kegiatan itu turut hadir anggota jemaar gereja. Diantaranya GPKdI, , GPIA (Gereja Pentakosta Isa Alamasih), GKPB, GKKB, GBI, GPdI, Gereja Sungai Yordan, Gereja Baptis, Katedral atau Keuskupan, GKII, Gekari, GSRI, Pugespol Businessmen Fellowship, GBI Antiokia, PGI, PLGII, Gereja Jesus Sejati, Gereja Advent, Gereja Bhetani Indonesia, GKB, GKKB dan GKE. Hadir juga pejabat Bimmas Kristen Pdt Piter Kalvin yang memberikan kata sambutan. Tak ketinggalan para mahasiswa yang tergabung dalam GMKI. “Serta masih banyak yang lain yang tak dapat kami sebutkan satu per satu. Mereka mendukung tak hanya tenaga namun juga materiil dan moril,” tuntas Ali.

Gerakan Doa se-Kota (GDS) yang dibentuk empat tahun silam bertujuan untuk memperkuat kegerakan doa melalui jaringan doa di kota-kota baik yang telah terbentuk maupun yang perlu dirintis.

Dalam situs http://www.sabda.org/, disebutkan, dibangunnya kesatuan umat melalui visi yang dinyatakan Tuhan melalui Firman dan Kesaksian dalam kebersamaan umat dari berbagai kota di seluruh tanah air maupun di luar negeri yang merupakan tujuan jangka menengah.
Pdt. Ruyandi Hutasoit, MA (Ketua Yayasan Bersinar Bagi Bangsa) dalam dalam artiklenya menyebutkan, dengan JDS diharapkan ada pembaharuan panggilan dan komitmen para peserta atau fasilitator untuk terlibat secara aktif dalam Gerakan Doa di kota-kota yang berdampak pada transformasi masyarakat atau kota secara nyata yang merupakan tujuan jangka panjang.
Ada tiga hal yang menandai sebuah kota bila telah mengalami transformasi: diantaranya, angka pertobatan jemaat di kota itu meningkat. Angka kriminalitas menurun, tingkat kesejahteraan kota semakin membaik.

Langkah-langkah yang diperlukan untuk membangun Gerakan Doa Sekota diantaranya, pemetaan rohani, yang dilakukan untuk mengetahui situasi dan kondisi suatu kota baik secara Ilmu Pengetahuan. Selanjutnya dapat diketahui secara detail kondisi kota secara fisik baik tingkat kesejahteraan, tingkat kriminalitas, bangunan bersejarah, jumlah gereja, tempat-tempat hiburan, dan lain sebagainya.

Sedangkan doa terobosan dilakukan untuk mengetahui atau melihat kondisi "rohani" dari kota itu (mengetahui tempat-tempat pemujaan yang ada serta roh-roh jahat yang ada yang menguasai kota itu).

Dengan demikian diharapkan terjadi rekonsiliasi atau perdamaian. Baik antar gereja atau denominasi, antar masyarakat, suku, desa, kota, bangsa, dan seterusnya.

*Dimuat Harian Borneo Tribune 27 Mei 2007

[ read the rest of this entry » ]

|

Perang Terhadap Narkoba

Ketua Gerakan Pemuda Anti Narkoba (GEPAN) Kalimantan Barat, Anwar Tedy, mengatakan, masyarakat Kalbar harus bersatu memerangi peredaran narkoba. Apalagi letak Kalbar yang terbuka dari daerah lain menyebabkan peredaran narkoba mudah masuk.

“Dibutuhkan kepedulian kita bersama untuk menghadang laju peredaran narkoba dan obat-obat terlarang lainnya. Semua pihak mulai dari masyarakat, aparat penegak hukum seperti polisi, kejaksaan, hakim dan institusi lain mesti bekerja lebih ekstra. Sebab jika kita lengah maka anak-anak kita, sebagai generasi penerus yang akan menjadi korban,” kata Tedy yang kemarin sore berkunjung ke redaksi Harian Borneo Tribune.

Dalam berkas seruannya, mereka menyatakan sejumlah sikap. Pertama, Kejaksaan Agung segera mengeksekusi terpidana mati kasus narkoba sebagai peringatan keras bagi setiap orang yang coba-coba mengedarkan narkoba. Kedua, agar aparat kepolisian, kejaksaan dan kehakiman menindak tegas anggotanya yang kolusi dengan para bandar dan pengedar narkoba.
Ia juga meminta agar pemerintah dan DPR segera merumuskan UU menyangkut hukuman atau sanksi yang seberat-beratnya terhadap pengedar, bandar, dan pemilik narkoba. “Seluruh masyarakat Indonesia mesti menyatukan tekad dan barisan memerangi secara total terhadap para pengedar dan mafia narkoba. Dan generasi muda jangan sekali-sekali mencoba dan menyentuh narkoba,” Tedy mengingatkan.

Sementara terkait dengan Hari Madat Sedunia yang akan jatuh pada 28 Juni mendatang, GEPAN akan mengadakan sejumlah kegiatan yang berorientasi pendidikan. Diantaranya akan bekerjasama dengan Borneo Tribune menggelar lomba menulis artikel tentang bahaya narkoba untuk tingkat SMA dan SMK.

“Sebagai bagian dari masyarakat yang peduli dengan masalah narkoba maka kami kira kita turut menjaga dan mengingatkan agar bahaya narkoba jangan sampai merasuki generasi muda kita. Dengan kegiatan seperti ini diharapkan dapat menjadi semacam filter,” papar dia.
Sementara Ketua Badan Narkotika Provinsi (BNP) Kalimantan Barat, Drs LH Kadir dalam situs Kalbar.go.id, mengatakan, pengentasan penyalahgunaan narkoba tidak hanya menjadi slogan dan retorika belaka. Apa lagi menjadi komoditas politik, tetapi hendaknya dilakukan tindakan konkrit seperti menggugah kesadaran masyarakat dan menjelaskan pada generasi muda akan bahaya narkoba, menumbuhkan keberanian masyarakat untuk melakukan penolakan terhadap ajakan untuk menyalahgunakan narkoba.

Dalam penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba BNP Kalbar bersama stakeholder dan organisasi kemasyarakatan lainnya telah melakukan kegiatan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat. Selain itu BNP juga telah memiliki panti rehabilitasi Wisma Sirih yang dikelola Rumah Sakit Jiwa Pontianak sebagai upaya melakukan pengobatan dan pertolongan terhadap pengguna narkoba.

Penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat addiktif merupakan fenomena sosial yang menjadi isu dan gerakan global bersifat kemanusiaan. Penyalahgunaan NAPZA berkaitan dengan tindakan kriminal, sex, HIV/AIDS dan permasalahan yang membutuhkan perhatian dan penanganan serius.

Berdasarkan data di Indonesia pengguna Norkoba mencapai 1,5 % dari populasi atau 3,2 juta orang dengan kisaran 2,9 s/d 3,6 juta orang terdiri atas 79 % laki-laki serta 21 % perempuan.
Kalbar sendiri di tahun 2005 ada 33 Kasus pengguna narkotika dengan 47 tersangka dan 57 kasus pengguna psikotropika dengan 95 tersangka.*

*Dimuat Borneo Tribune 28 Mei 2007

[ read the rest of this entry » ]

|

Pantai Kijing

Lelah menggelar pelatihan calon reporter Borneo Tribune selama dua minggu, kami para redaktur beserta keluarga, keluarga besar Borneo Tribune dan 10 reporter berlibur di Pantai Kijing. Selain menikmati indahnya pasir putih, kesempatan ini juga dimanfatkan untuk outbond bagi para wartawan, redaktur dan karyawan pada Minggu 6 Mei.

Aku sendiri mengajak serta kedua anakku, Alicia Gita Bamula yang kini berusia 6,3 tahun dan adiknya Castilo Gagas Panamuan (Lilo), pada 31 Juli mendatang genap 6 tahun.

Alicia dan Lilo sejak tiga hari sudah menyiapkan diri dan sangat bergairah mendengar akan ada kegiatan di Pantai Kijing. Usai menjemput di sekolah mereka, TK Bruder Kanisius mereka berdua selalu bertanya kapan berangkat. “Minggu. Besok,” kata ku sambil menstarter RX-King merah tahun 2003.

“Hore, kita main pasir ya pak. Nanti bapak kami kubur dengan pasir,” Lilo, mengingat liburan kami di Pantai Samudera setahun lalu.

“Kita bawa mainan atau beli pak? Kayaknya bawalah kan bapak tak ada duit,” timpal Alicia, mulai merayu.

Putri ku yang satu ini hari ini kunilai agak lain. Bisanya ia akan merengek-rengek minta belikan mainan atau sesuatu yang diinginkannya. Mungkin daya tarik Pantai Kijing lah yang membuat ia ‘tampil beda’.

Malam harinya giliran aku yang sibuk menyiapkan segala sesuatunya, sebab, Benedicta istriku yang perawat Rumah Sakit Santo Antonius, giliran piket pagi. Mulai membeli bermacam-macam wafer, minuman kaleng, roti tawar dan roti manis serta tak ketinggalan minuman bersoda dan air mineral.

Satu buah kantong kresek hitam penuh kujinjing saat keluar dari mini market Primadona di Jalan Tabrani Ahmad saat jarum jam menunjukkan pukul 21.00 WIB. Sepeda motor dua tak itu meraung saat kupacu degan kecepatan cukup tinggi menuju kediamanku di Jalan Tabrani Ahmad, Perumahan Pondok Mulia A6. Saat pintu dibuka ternyata mereka belum tidur dan menyambut dengan senyum ceria.

Pukul 05.00 WIB, jam weker ‘berteriak’ membangunkan kami sekeluarga. Setelah beres-beres, memasukkan makanan ringan dan minuman dalam ransel, serta masing-masing sepasang pakaian ganti kami menuju Parit Haji Husin II dimana bus dan sebagian besar peserta sudah menunggu.

Kedua anakku sangat menyukai perjalanan ini. Sepanjang perjalanan bernyanyi dan bersenda gurau. Apalagi ada Lindu, putri Aleksander duduk sama-sama mereka.

Taman wisata Pantai Kijing berjarak sekitar 70 KM dari Pontianak. Terletak di Desa Sungai Kunyit, Kecamatan Sungai Kunyit Kabupaten Pontianak dan hanya berjarak 15 KM dari Mempawah arah Kota Singkawang, ibu kota Kabupaten Pontianak.

Pantai Kijing dahulu menjadi salah satu tujuan wisata utama masyarakat Kalimantan Barat. Sebab dengan pasir putih, pohon kelapa berbaris rapi. Kerang dan binatang laut memiliki keindahan yang tak dapat dilukiskan. Jika mengarahkan pandangan ke laut, Pulau Temajo yang rencananya akan dijadikan pelabuhan internasional namun tak jadi-jadi terlihat jelas. Untuk menuju Pulau Temajo dapat menggunakan speed boat atau motor kelotok yang mengangkut penumpang dari Sungai Kunyit. Dengan merogoh uang Rp 50 hingga Rp 150 ribu, kita akan menikmati indahnya Pulau Temajo yang airnya sangat jernih dan pasir pantai yang lembut. Sungguh taman Eden yang ada di abad 21.

Di Pasir Panjang Lilo, Alicia serta Lindu bermain pasir. Yang lain masih di mobil, mereka sudah melompat dan langsung main di pinggir pantai. Sayang airnya keruh tak sejernih Pantai Samudera atau Pantai Kijing di Singkawang. Penyebabnya karena Kijing berada dalam posisi sebuah teluk, sementara di depannya ada Pulau Temajo yang mengakibatkan air kurang mengalir dengan bebas.

Bau anyir ikan, menusuk hidung. Hawa panas laut, menerpa kulit dan terik matahari membuat wajah terasa terbakar. Meskipun demikian anak-anak tampak menikmati wisata keluarga besar Harian Borneo Tribune kali pertama. Saking asiknya bermain, pakaian Lilo dan Alicia harus diganti di WC yang sekali masuk bayar Rp 1.000.

Kecapekan seakan tak terasa di tubuh mereka yang mungil. Bosan bekejaran, memungkut sisa kerang yang mati atau melempar batu ke laut.

Sementara para wartawan, redaktur dan karyawan melakukan outbond bersama yang dipandu Safitri Rayuni. Mulai dari lempar bola, blended (tutup mata) hingga main bola bersama. Nuris pada bagian terakir memberikan sedikit wejangan kepada para wartawan. Diantaranya pelarangan menerima amplop dari narasumber agar tidak memengaruhi berita.

Alumnus Fakultas Pertanian Untan yang baru saja usai menunaikan ibadah haji ini memang jago untuk memberikan motivasi dan suport untuk teman-teman. Pengalaman saat kuliah diantaranya di HMI dan Ketua Mimbar Untan, sebuah penerbitan kampus, ternyata saat bermanfaat. Ditambah sifat kerja keras dan selalu belajar membuatnya sangat wajar jika didaulat sebagai Pimpinan Redaksi.

Pukul 15.00, setelah semua acara selesai kami berkemas dan kembali. Dalam perjalanan pulang, Alicia dan Lilo tertidur. Bapaknya juga ngantuk, namun karena harus memangku Lilo maka rasa kantuk pun hilang. *

keterangan foto:
(1) Keluarga Besar Borneo Tribune, dari kiri: Safitri Rayuni, Mbak Uun Antara, Muhlis Suhaeri, Aku, Lilo dan Alek
(2) Alicia, Lindu dan Lilo 'Berebut' Makan Mie Gelas
(3) Lindu, Ocha, Alicia dan Lilo kembali 'Berebut' Makan Mie Gelas.

foto by: Safitri Rayuni

[ read the rest of this entry » ]

Friday, May 11, 2007 |

Say No to ‘Amplop’

Untuk menjaga independensi seorang jurnalis, maka ia harus tak mudah menerima sogokan. Termasuklah amplop. Bagaimana menanggulangi kiat tersebut? Borneo Tribune, sebuah koran yang akan terbit di Pontianak, Kalimantan Barat membuat rambu-rambu untuk para wartawan, redaktur hingga institusi korannya.

Koran ini didirikan dengan tiga dasar, yaitu idealisme, keberagaman dan kebersamaan. Untuk menentukan tiga pilar ini saja, para pendiri yang terdiri dari H Nur Iskandar, Yusriadi, A Aleksander, Tanto Yakobus, Hairul Mikrad yang juga merupakan ‘wisudawan’ Harian Equator harus berdiskusi panjang.

Yusriadi yang doktor Linguistik jebolan Universitas Kebangsaan Malaysia bahkan mengundang beberapa rekannya, termasuklah Dedy Afsar, dari Balai Bahasa. Belakangan setelah Safitri Rayuni dan saya bergabung motto tersebut lebih dimatangkan dengan diskusio panjang dan rutin. Tak hanya di kantor, namun juga di tempat-tempat santai seperti warung kopi, cafe, warung nasi goreng atau rumah makan. Tak hanya siang hari namun hingga ayam jantan berkokok teman-teman masih asik saja mendiskusikannya.

Kehadiran Bang Ukan Tarmizi, Atika Ramadhani, Syam, Zul HZ, Zul MS dan lain-lain di divisi pracetak, iklan dan ilustrasi semakin membuat diskusi semakin hangat dan alot. Belakangan saya diminta menyusun AD-ART Wartawan Harian Borneo Tribune. Maka mulailah kerja keras itu dilakukan. Dengan mengkompilasi kode etik jurnalistik AJI, PWI, KEWI dan lain-lain maka jadilah AD/ART Harian Borneo Tribune yang lebih mirip sebagai kode etik.

Pada pembukaan disebutkan, kemerdekaan berpendapat, berekspresi, adalah hak asasi yang dilindungi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kemerdekaan pers merupakan sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Wartawan Harian Borneo Tribune harus menyadari kepentingan bangsa, tanggung jaswab sosial, idealisme, keberagaman masyarakat, kebersamaan dan norma-norma agama, kesusilaan dan moral.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, wartawan HBT menghormati hak asasi setiap orang, karena itu BT dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.

Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan HBT memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, HBT menetapkan dan menaati Kode Etik serta hak-hak dan kewajiban wartawan.

Disebutkan juga Wartawan Harian Borneo Tribune bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Mengedepankan idealisme dan menghormati keberagaman serta menghormati kode etik jurnalistik, Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) dan norma-norma yang hidup di masyarakat. Wartawan Harian Borneo Tribune menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Tidak menyalahgunakan profesi kewartawanan, tidak menerima suap. Serta tidak menyalahgunakan identitas kantor, baik untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun kelompok.

AD/ART tersebut memuat 15 pasal pokok. Dewan Redaksi yang terdiri dari Pimred dan para Redaktur berhak membuat aturan selama tidak bertentangan dengan aturan di atasnya.
“Kita akan memerangi wartawan suap. Termasuk amplop dan akan menjaga terus komitmen ini,” tegas Nur Iskandar, di depan William Chang.

Pastor Fransiskan dari Ordo Capucin yang jago menulis artikel dan opini ini mengangguk-angguk setuju. “Saya salut dengan kalian, salut dengan kerja keras dan tekad. Saya yakin ini bisa sukses,” harap peraih Doktor di Universitas Gregorian Roma.

Eriyanto, kontributor Sindikasi Pantau dalam artikelnya yang berjudul Buruk Amplop, Fasilitas Diubah, menyebutkan, jika disederhanakan, ada beberapa pola wartawan amplop, terutama ditilik dari sisi modus operandinya, yakni yang aktif berburu amplop dan yang pasif. Untuk jenis kedua, mereka tak mengharapkan dapat amplop, tapi kalau ada .... ya diterima. Yang aktif, mereka datang ke suatu acara -diundang atau tidak diundang- kalau perlu meminta atau bahkan sedikit memaksa agar dapat amplop.

Mereka juga aktif membuat acara, perkumpulan, kalau perlu organisasi wartawan agar lebih mudah mengorganisasi uang amplop. Tak sedikit wartawan amplop yang menggunakan pola pemerasan, macam menghubungi narasumber, bukan untuk dimintai konfirmasinya, melainkan mengancam akan membeberkan keterlibatan si narasumber dalam suatu kasus. Wartawan amplop sering kali dihubungkan dengan penghasilan pas-pasan di perusahaan penerbitan tempatnya bekerja. Lantaran bergaji rendah, amplop bukan lagi sebagai penghasilan tambahan, melainkan sumber utama. Ada bahkan wartawan tak bergaji, hanya dibekali kartu pers, sehingga amplop menjadi tujuan utama. Kondisi macam itulah yang membuat banyak wartawan lain yang tak terimbas "kultur amplop" mengeluhkan ulah para wartawan bodrex tadi lantaran tindakan mereka itu membuat profesi wartawan menjadi cemar. Ia juga memaparkan metodologi survey yang dilakukan.

Sebagai sample survey ditujukan untuk berbagai media terbitan Jakarta, dipilih 20 media, dengan mempertimbangkan tingkat pembaca atau pemirsa tertinggi. Dasar datanya dari lembaga AC Nielsen. Media terpilih meliputi suratkabar harian (10 buah), majalah berita (empat buah), dotcom (dua buah), dan televisi (empat buah). Radio tak disertakan dalam survei ini karena AC Nielsen tak memperingkat program berita radio (peringkat hanya stasiun radio secara keseluruhan). Keduapuluh media itu adalah: Berita Kota, Bisnis Indonesia, Harian Terbit, Kompas, Media Indonesia, Pos Kota, Rakyat Merdeka, Republika, Sinar Pagi, Suara Pembaruan, Forum Keadilan, Gamma, Gatra, Tempo, Detik.com, Satunet.com, Anteve, RCTI, SCTV, dan TPI. Wawancara dilakukan secara langsung tatap muka, sejak 20 Januari hingga 2 Februari 2002. Dari 300 responden, 240 orang berhasil diwawancarai: 67,3 persen reporter dan fotografer; sisanya, redaktur dan redaktur pelaksana.

Meskipun baru akan terbit pada 19 Mei nanti, namun Borneo Tribune sudah mencoba memerangi momok yang menakutkan bagi narasumber. Selama ini di Kalbar ada narasumber pejabat yang bersembunyi jika melihat ada oknum wartawan tertentu datang. Mereka takut kedatangan sang oknum sebagai beban, sebab harus keluar beberapa lembar uang untuk menjaga tali silaturahmi. Meskipun demikian tentu saja masih banyak yang menolak amplop agar tak terpengaruh independensinya dalam menulis berita.*

[ read the rest of this entry » ]

Thursday, May 10, 2007 |

Sangahatn

Masyarakat adat Dayak Kanayatn mengenal tradisi bersyukur dan meminta dengan sebutan ‘nyangahatn’. Lewat tradisi yang hidup sejak dahulu kala hingga kini menjadi sarana untuk ‘berbicara’ dengan penciptanya . Ada pepatah yang selalu mereka pegang teguh, “Adat nang dinunak, dinali, dinamputn”. Adat yang ada sejak manusia ada yang diikuti dan disambung secara turun-temurun.

Nyangahatn menunjukkan perbuatan, oleh panyangahat atau orangnya sebagai bentuk ucapan syukur dan terima kasih serta permohonan kepada Jubata. Sebutan Tuhan bagi orang Dayak.

Adat, budaya dan tradisi Dayak sesungguhnya tak akan terlepas dari siklus tanam padi. Hampir semua upacara adat dilakukan dan bermula dri tanam padi.

Sejak mempersiapkan lahan untuk ditebas, sudah ada upacara adat. Biasanya secara bersama-sama masyarakat dalam sebuah kampokng ( kira-kira sebesar dusun) akan berangkat ke Panyugu. Disana seorang panyangahatn akan meminta kepada Jubata agar patahunan (proses lingkaran satu tahun padi dari mulai menebas hingga panen) bagus.















Pada upacara adat ini biasanya dipimpin oleh perangkat adat khusus menangani padi, Tuha Tahutn. Warga sekitar akan membawa parang, tangkeatn (bibit padi yang bulirnya paling bagus dan berisi yang belum dilepaskan dari tangkai), batu asah, inge (wadah pemungut padi), katam (anai-anai), dan laiinya.

Seorang panyangahatn kemudian akan membacakan mantranya mulai dari Sangahatn Bapipis (pembukaan dengan ayam masih hidup) serta Nyangahatn Masak (Ayam dan perangkat lain sudah dimasak).

Ia akan menandai setiap yang hadir dengan baras banyu. Beras dicampur dengan minyak tengkawang atau minyak kelapa yang dipercaya bisa mengobati dan melindungi. Ia juga akan mengoleskan tampukng tawar. Beras yang ditumbuk dengan kunyit di dahi mereka yang hadir.

Setelah melihat hari baik, maka warga akan mulai menebas di ladang masing-masing. Ada diantaranya yang akan balale (gotong-royong). Dalam bulan pertama hanya sedikit yang dianggap hari baik, namun pada bulan kedua mereka akan menebas atau menebang pohon (barimba’) hampir setiap hari. Pantangan itu tak boleh dilangar, sebab mereka percaya akan menimbulkan hal yang tidak baik. ‘Bujakng’, misalnya jika dilanggar maka keluarga yang bersangkutan bisa meninggal dalam usia muda. Parahnya lagi ada yang namanya ‘pati nyawa’, dimana bisa merenggut salah seorang keluarga tersebut. Sementara jika ‘kalalah idup’, maka mereka yang melanggar akan menanggung beban berat selama hidup. Misalnya saja bekerja sekuat apa pun bekerja namun hasilnya tetap nihil atau bahkan melarat.

Dari semua larangan tersebut mungkin hanya ‘kadakng’ yang biasa dilanggar oleh mereka. Sebab resikonya tak terlalu berat, hanya ladang yang bisa tak hangus terbakar jika dilanggar.

Setelah membakar ladang, kemudian menuggal. Setelah beberapa minggu kemudian ada upacara adat yang dikenal dengan ‘nyumbat lubakng tugal’. Upacara ini biasanya bersamaan dengan ‘ngarumput’ (merumput). Nyangahatn kali ini akan menggunakan sepasang ayam, beras pulut dan putih, tumpi’ (cucur), solekng (beras pulut yang dimasak dalam bambu), bontokng (beras dimasak dalam daun bemban) dan lain perangkat lainnya.


Warga kampung dilarang bersiul sebab padi dipercaya dijaga oleh ‘urakng barani’ yang dikenal dengan Kamang Muda'. Jika bersiul apa lagi panjang dan melengking maka dianggap memanggil mereka. Dalam tradisi dan kepercayaan Dayak Kanayatn ada tujuh orang kamang, Bujakng Nyangko Samabue, Kamang Muda Santulangan, Sarukng Sampuro, Sansa Lalu Samarawe, Bujang Gila Palepak, Nyaro Nyantakng Pajamuratn dan Bensei Sampayangan. Jika perang suku, biasanya mereka dipanggil untuk membantu. Sebab asal-usul urakng barani bersaudara dengan manusia.

Masih serangkian dengan nyumbat lubakng padi adalah balala’ atau pantangan. Warga dilarang ngalayui’ atau membuat tanaman layu. Termasuklah dilarang mematahkan daun, dilarang membunuh hewan, masuk atau keluar dari kampung bersangkutan, dilarang berteriak, dilarang bersiul dan membatasi berkeliaran di sekitar kampung.

Jika melanggar maka yang bersangkutan akan dikenai denda adat sebab sudah ‘ngarumpakng lala’ atau menerobos larangan dan pantangan. Bisanya Tuha Tahutn akan menyarankan yang bersangkutan makan sirih. Air sirih kemudian dioleskan di kening warga sekampung. Meskipun biayanya tidak besar, namun bisanya yang melanggar lala’ lebih memilih membeli ayam dan menyiapkan perangkat adat lainnya. Sebab darah ampa’ atau air sirih sama dengan darah yang bersangkutan yang diberikan kepada warga sekampung.

Lamanya balala’ tergantung berat tidaknya penyakit padi. Jika hama tikus atau yang lain begitu mewabah maka bisa tiga hari. Jika bisa-biasa saja maka cukup tiga hari yang dimulai sejak matahari terbit dan berakhir dengan matahari terbenam.

Upacara nyangahatn kembali akan dilakukan oleh warga kampung setelah usai panen sebagai bentuk ucapan syukur atas keberhasilan panen. Upacara kali ini agak besar dan dikenal dengan ‘makatn nasi baharu’. Makan nasi yang baru dipanen. Ada juga yang menyebutnya baroah. Upacara inilah yang kemudian menjadi cikal bakal naik dango.

Ada sedikit perbedaan antara antara Dayak Kanayatn yang berasal dari adat Karimawakng asal Mempawah atau Bangkule Rajakng dengan Adat Talaga yang berasal Pahauman. Jika Karimawatn nyangahatn malam dan makan juga malam hari, maka Talaga bisanya pada pagi hingga siang hari.

“Asak, dua, talu, empat, lima, anam, tujuh...oh kita’ Jubata yang badiapm kak aik dalam tanah tingi, puhutn ayak, puhutn tingi. Kita’ karamat ai’ tanah nang mampu nunu ai’ sakayu, nyambong sengat. Kami bapinta kami bapadah, ame babadi kak kami talino manunsia”. Yang artinya satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuk...Jubata yang menguasai di air dalam, tanah tinggi, pohon kayu besar, pohon kayu tinggi. Penguasa air dan bumi yang mampu membakar air satu sungai, menyambung nyawa. Kami meminta dan mengabarkan, jangan memberikan wabah kepada manusia.*

[ read the rest of this entry » ]

Saturday, May 5, 2007 |

Kategori

Powered By Blogger

Total Pageviews