Dari Tradisi Lisan ke Tulisan

PEN CANTIK
Untuk memacu semangat menulis para peserta, Stefanus Akim membagikan hadiah berupa pen cantik dari FLEGT bagi siswa yang berbakat. Program ini adalah salah satu upaya meningkatkan dan menyadarkan siswa pentingnya tradisi tulisan. FOTO A. Alexander Mering/Borneo Tribune



Oleh: Maningsih

Sekitar 30 siswa-siswi SMA Budi Utomo akhir pekan kemarin mengikuti pengenalan dan pelatihan jurnalistik dasar yang diselenggarakan Borneo Tribune melalui Tribune institute bekerja sama dengan sekolah tersebut.

“SMA Budi Utomo memang melatih anak didiknya untuk menjadi siswa-siswi yang berpengetahuan luas agar kelak bisa menjadi bekal mereka di masyarakat,” kata Kepala Sekolah Budi Utomo, Yatie Nurhayati Rukmini Fatoni, SH, saat ditemui usai kegiatan tersebut.

Di mana menurutnya, di sekolah yang dikelolanya tersebut, memang ada kegiatan ekstra yang diselenggarakan bagi pengembangan diri anak. Di antaranya adalah kegiatan olahraga dan seni. Dengan bekerja sama dengan Tribune Institute yang bergerak di bidang pendidikan jurnalistik kata Yatie tentu akan menambah keragaman materi dan pengetahuan bagi anak didiknya.

Dia berterima kasih sekali karena Tribune Institute telah dengan sukarela membagikan pengetahuan di bidang jurnalistik, tulis menulis serta memotivasi anak didiknya untuk menulis dan menulis hingga menjadi suatu kebiasaan bahkan kebudayaan positif.

“Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan, berusaha memberikan yang terbaik kepada siswa,” tandas Yatie.

Stefanus Akim, salah seorang instruktur dari Tribune Institute yang juga Redaktur di Borneo Tribune pada penutupan acara tersebut mengatakan bahwa banyak sekali keuntungan menulis.

Antara lain, melatih kemampuan verbal siswa dalam berbahasa. Kemudian menyelamatkan sejarah, yang tak akan pernah mungkin terulang lagi. ”Dengan menuliskannya, maka generasi yang akan datang akan dapat memetik pelajaran dari peristiwa yang dituliskan hari ini,” kata dia.

Namun menurut Akim yang terutama ingin disampaikan oleh para tutor dari Tribune Institute melalui program ini adalah agar siswa yang cuma terbiasa dengan tradisi lisan ke tradisi tulisan.

Dari beberapa karya tulis bebas yang dikumpulkan peserta dari sejumlah sekolah yang melakukan kegiatan serupa di Pontianak dan sekitarnya, kentara sekali bahwa kemampuan menulis siswa SMA kita sangat jauh tertinggal dari sekolah-sekolah di pulau Jawa. “Apalagi jika dibandingkan dengan negara lain,” kata Mering, koordinator kegiatan dari Tribune Institute. Menurutnya ini biasanya berbanding lurus dengan daya membaca siswa yang kurang. Dari pengalamannya mengikuti Kembara Bahasa ke sejumlah sekolah di Malaysia beberapa waktu lalu, setiap siswa di Malaysia minimal membaca 2-3 buku dalam seminggu. Ini tidak termasuk buku pelajaran yang sudah menjadi kewajiban. Dia juga mengutip sebuah situs di internet, www.rumahdunia.net, yang menyebutkan kalau orang Indonesia lebih banyak menghabiskan uangnya untuk membeli rokok dari pada membeli koran.

Gejala lainnya kata Mering adalah sangat sedikit siswa yang menerapkan bahasa Indonesia ala EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) dalam mengerjakan tugas menulisnya.

“Hampir semuanya menggunakan bahasa TV, prokem, bahasa sinetron, lo…lo...gua…gua…. apa Bahasa Indonesia tak dianggap keren ya?” paparnya. Dia melihat gejala ini terjadi hampir di setiap sekolah. Sambil berseloroh, Mering mengatakan hal tersebut mungkin karena sejak anak-anak, remaja kita lebih banyak nongkrong di depan TV ketimbang ngobrol dengan guru Bahasa Indonesianya di Sekolah. Sebab jika melihat kurikulum pendidikan di Indonesia, sejak TK hingga bangku kuliah, remaja Indonesia sudah dijejali bahasa Indonesianya. Karenanya adalah sesuatu yang aneh jika kemudian banyak generasi muda yang bahasa Indonesianya berlepotan.

Pada sesi terakhir Diklat yang dilaksanakan dari 26-27 Oktober 2007 kemarin, Tribune juga menghadirkan salah seorang Redakturnya, Safitri Rahyuni yang baru saja kembali dari Australia untuk intensif program, pelatihan economic reporting. Fitri berbagi pengalaman dengan para peserta seputar dunia jurnalistik yang ditekuninya. Para peserta menjadi bertambah semangat ketika di akhir acara, Mering membagi-bagikan hadiah berupa pen cantik dari Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT), bagi yang tulisannya dianggap bagus. PLEGT adalah lembaga yang merupakan hasil kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Uni Eropa yang bergerak di bidang lingkungan, khususnya kehutanan. Di Kalbar, lembaga ini secara aktif mengkampanyekan upaya pemberantasan Illegal logging dan mengawal kasus-kasus terkait. Dalam sejumlah program pelatihan serupa dari sekolah ke sekolah yang dilakukan Borneo Tribune, FLEGT selalu memberikan support kepada Tribune Institute.*

Wednesday, October 31, 2007 |

0 komentar:

Kategori

Powered By Blogger

Total Pageviews