Pak Sirat

Ketika Orang Kecil Memaknai Perbedaan
Oleh: Stefanus Akim

Hingga 25 Juni 2007 lalu aku masih sering berkunjung ke TK Bruder Kanisius Siantan. Pak Sirat, tukang sapu sekolah. Ia orang Madura, muslim, bekerja di yayasan Katolik yang dikelola para biarawan dari Kongregrasi Broeders Van de Congregatie van de Onbevlekte Ontvangenis atau Maria Tak Bernoda (MTB).

Saban hari sejak lima tahun silam ia tenggelam dalam rutinitas, menyapu halaman menggunakan sapu rotan yang dibelah halus namun keras. Sapu model itu paling cocok untuk membersihkan daun hingga butiran pasir. Usianya sekitar 50 tahun. Meskipun tubuhnya kecil dan pendek namun terlihat kuat dan mampu mengangkat beban berat. ”Seperti ini lah setiap hari, menyapu dan menebas rumput. Membersihkan kelas dan membantu memasak air untuk guru kalau petugasnya tak datang,” katanya.

Untuk kerja kerasnya, ia mendapatkan gaji Rp 800 ribu per bulan. Uang itu digunakan untuk menghidupi istri dan anak-anaknya. Bagi dirinya yang tak mengenal bangku sekolah, pak Sirat mengaku jumlah itu cukup berarti buat memenuhi kebutuhan keluarga. Ia mulai bekerja pagi sekali sebelum jam sekolah mulai dan pulang ke rumah setelah jam sekolah usai.

Aku duduk di bangku panjang yang terbuat dari semen di depan sekolah yang juga tempat parkir kendaraan sambil memperhatikan pak Sirat bekerja. ”Sret...sret...sret”. Sapu ditangannya mondar-mandir menyapu daun-daun kering yang jatuh dari pohon Ketapang (Terminalia catappa L). Daun-daun itu mengotori halaman yang semuanya dicor semen. Setelah dikumpulkannya dalam satu tempat, sampah itu dimasukkan dalam gerobak sorong menggunakan sepotong tripleks kecil.

”Sret...sret...sret...” pak Sirat kembali mengayunkan sapunya. Kali ini yang dibersihkannya sampah di dalam selokan yang juga terbuat dari semen. Kedua telapak tangannya yang berwarna gelap tak canggung mengangkat sampah basah ke dalam gerobak sorong.

”Panas ya pak,” sapaku. Kulihat beberapa kali ia menyeka keringat dijidatnya dengan punggung lengan.

”Ie...panas,” jawabnya singkat.

Dari situlah obrolan kami dimulai. Pak Sirat tak malu-malu menceritakan masa lalunya. Bagaimana ia bertemu dan kemudian bekerja dengan Br Alexando MTB yang kemudian mengangkatnya sebagai pegawai di TK Bruder Kanisius. Br singkatan dari Bruder. Seorang bruder adalah juga biarawan Katolik, sama seprti frater atau pastor. Bedanya, bruder tidak menerima tahbisan Imamat sehingga tak berhak memimpin misa. Ia biasanya bergabung dalam sebuah organisasi yang dikenal dengan ordo atau kongregrasi.

”Dulu saya kerja nukang, itu sekolah di belakang rumah bruder,” katanya saat kutanya soal pekerjaan yang dilakoninya.

Aku tahu maksud pak Sirat. Yang dimaksud pastilah kompleks sekolah SMA St Paulus. Di lingkungan itu juga terdapat TK hingga SMP yang semuanya menggunakan nama Melati. Sebuah yayasan pendidikan yang dikelola para Bruder MTB.

Saat mulai bekerja lima tahun silam, ia ikut teman-temannya. Jumlahnya belasan orang. Jarak antara rumah dan tempat bekerjanya cukup jauh. Untuk sampai di tempat kerja harus menggunakan kapal ferry penyeberangan atau opelet (angkutan kota). Kadang kalau kehabisan ongkos ia menumpang boncengan sepeda atau sepeda motor teman.
Pak Sirat dan teman-teman membangun gedung SD berlantai tiga. Bruder Alexandro yang mengepalainya, seorang biarawan MTB dari Italia yang juga mengelola Sekolah Pertukangan St Yosep di Sungai Raya. Zaman dulu orang mengenal sekolah pertukangan dengan Ambak School. Para siswa yang umumnya dari kampung diajari pertukangan, mulai tukang kayu, besi hingga beton.

Pak Sirat kini ikut duduk di kursi beton, mungkin mencoba menghilangkan lelah setelah bekerja di bawah terik matahari. Pak Sirat terus bercerita, suaranya lembut dan ramah.

Suatu waktu, kata dia, bruder Alex meminta dia mengambil cat di kamarnya. ”Di situ banyak duit. Ada yang seribu, lima ribu, 10 ribu di simpan di atas meja,” kenang dia.

Beberapa hari kemudian ia kembali disuruh mengambil bahan bangunan. Setelah itu pak Sirat lebih sering diminta bruder masuk ke kamarnya, mengambil keperluan apa saja. Mulai cat, paku, alat tukang, kuas atau kabel.

Beberapa bulan kemudian pekerjaan itu selesai. Saat teman-temannya mencari kerja di tempat lain, pak Sirat justru diminta Alex untuk tetap tinggal membantu di lingkungan sekolah dan biara. Kerjanya apa saja yang bisa dikerjakan. Beberapa bulan kemudian ia diminta menjaga kebersihan di TK Bruder Kanisius karena sekolah itu kekurangan tenaga. Sejak saat itu hingga kini pak Sirat dengan tekun menjalani pekerjaannya.

”Saya tak tahu apa pertimbangan bruder menerima bekerja dengan dia. Mungkin saat masuk di kamarnya dia menguji saya.”

Ia punya beberapa kenangan manis selama bekerja dengan bruder Alex. ”Kalau dekat lebaran bruder piara ayam putih (ayam daging). Empat hari sebelum lebaran kami yang nukang dibagi ada yang tiga ekor ada yang empat ekor. Kami juga dikasi duit,” kenang Sirat.

Suatu ketika Alex menjual setengah harga tong air plastik untuk para pekerjanya. Tong yang berukuran 1.000 liter itu seharga sekitar 600 ribu. Mereka boleh mencicil dengan dipotong gaji. Setelah didiskon 50 persen menjadi 300 ribu. Pak Sirat tak ikut mengambil tong karena sudah memiliki banyak tempayan, tapi ia minta belikan sepeda agar lebih mudah berangkat bekerja. ”Harganya 400 ribu, saya diminta bayar 200 ribu nyicil,” kata dia tersenyum.

Suatu ketika bruder Alex sakit dan dirawat di rumah sakit Santo Antonius. Ini rumah sakit swasta terbesar di Kalimantan Barat yang dikelola Keuskupan Agung Pontianak dan kongregasi suster SFIC. SFIC kependekan dari Suster Fransiskanes Imacullate Conception yang jika diindonesiakan artinya Suster-Suster Fransiskus dari Perkandungan tak Bernoda Bunda Suci Allah. Pak Sirat menyempatkan diri mengunjunginya dan membawa buah-buahan untuk bruder Alexandro.

”Bruder senang sekali. Dia bilang pak Sirat tak usah bawa apa-apa, buah itu untuk anak dan istri saja di rumah. Pak Sirat tahu tidak disini biayanya mahal. Satu bulan gaji bapak tak cukup untuk membayar biaya satu malam. Jadi jaga kesehatan jangan sakit,”.

Saking senangnya bruder Alex tertawa sampai terbahak-bahak.

Ia juga ingat saat mengantarkan bruder Alex memberikan bantuan kepada korban puting beliung di Parit Wan Salim, Siantan. Keluarga yang kebanyakan Madura itu dibantu Rp 200 ribu per kepala keluarga.

“Orang barat itu tegas. Kalau dia marah, marah depan orang. Kalau dia minta tolong harus cepat maka dia akan senang,” ia menilai.

Kini setelah tiga bulan aku tak lagi pernah bertemu dengan pak Sirat. Namun aku membayangkan pastilah ia setia dengan pekerjaannya. Menyapu halaman, mengepel lantai hingga menebas rumput.

Saat ini justru aku lebih sering bertemu bruder Alex. Setiap pagi Supervisor Pembangunan di sekolah asuhan Yayasan Bruder itu mondar-mandir mengawasi pembanguan aula persekolahan, mengawasi pembuatan taman, mengatur parkir atau hanya bersapa sambil lalu dengan orang tua murid, guru atau para siswa. Ada keinginan untuk menanyakannya pandangannya soal pak Sirat, namun niat itu kuurungkan melihat kakinya yang tak pernah berhenti melangkah.

Pertemanan kedua orang ini sangat unik. Tak hanya sekedar atasan dan bawahan atau majikan dan buruh. Keduanya berbeda suku bangsa, ras, keyakinan dan pendidikan. Namun akrab dan saling menghargai. Bruder Alex orang Eropa, ras Kaukasoid biarawan Katolik dan berpendidikan tinggi yang diselesaikan di Eropa. Di sisi lain pak Sirat bangsa Indonesia, suku Madura, ras Mongoloid dan berpendidikan minim. Namun keduanya mengerti makna hakiki dan memaknai sebuah perbedaan. Keduanya tahu bagaimana memahami dan memberlakukan sesama manusia.□

*Edisi Cetak Borneo Tribune 24 Agustus 2007

Wednesday, August 22, 2007 |

2 komentar:

Anonymous said...

I seldom leave comments on blog, but I have been to this post which was recommend by my friend, lots of valuable details, thanks again.

vsint said...

HM......Artikelnya bagus gan

Kategori

Powered By Blogger

Total Pageviews