Sudagung, Mengurai Pertikaian Madura-Dayak di Kalbar

Oleh: Stefanus Akim

Sejak berdiri hingga sekarang Untan sudah memiliki 38 guru besar atau profesor. Dari jumlah tersebut delapan diantaranya sudah meninggal dunia. Mereka adalah Prof H Mahmud Akil SH (Hukum), Prof Dr Syamsudin Djahmat M.Sc dan Prof Drs M Landawe (Ekonomi), Prof Dr Hendro Suroyo Sudagung (Fisipol), Prof Dr Mochtaruddin M.Pd, Prof Drs H Jawadi Hasid, Prof Dr H Azwar (FKIP) dan Prof Ir Sakunto MS (Kehutanan).

Mereka berkarya dengan ilmu masing-masing untuk kemajuan dunia pendidikan di Universitas Tanjungpura dan masyarakat Kalbar. Kini, meskipun mereka sudah meninggal namun karya mereka tentu saja masih dikenang oleh generasi saat ini. Para profesor itu tentu saja menghasilkan karya-karya ilmiah yang menyumbangkan kemajuan untuk dunia pendidikan utamanya di Kalbar.

Prof H Mahmud Akil SH, putra Kalbar kelahiran Darit Kabupaten Landak ini pernah menjabat sebagai Rektor Untan tahun 1991-1999. Sebelumnya selama dua periode menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Untan. Sebelum era reformasi, Mahmud Akil pernah mencalonkan diri untuk menjadi gubernur Kalbar periode 1998-2003. Namun akhirnya yang terpilih oleh H Aspar Aswin.

Sumbangan pemikiran, baik berupa hasil penelitian maupun bentuk lain tentu saja juga disumbangkan oleh Prof Dr Syamsudin Djahmat M.Sc yang mengabdikan dirinya di Fakultas Ekonomi Untan, Prof Drs M Landawe juga di Fakultas Ekonomi, Prof Dr Mochtaruddin M.Pd, Prof Drs H Jawadi Hasid serta Prof Dr H Azwar di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Termasuklah dan Prof Ir Sakunto MS di Fakultas Kehutanan.

Hendro Suroyo Sudagung misalnya melakukan penelitian tentang pertikaian etnik Kalbar. Ia menulis soal Migrasi Swakarsa Etnis Madura ke Kalimantan Barat yang diterbitkan oleh Institut Studi Arus Informasi (ISAI) April 2001.

Guru besar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Untan ini dilahirkan di Ngawi, Jawa Timur 16 Mei 1933 dan wafat 2 September 1998 di Surabaya. Ia meninggalkan seorang istri dan tujuh orang anak.

Ia menuntut ilmu di SMP di Ngawi, masuk SMA Bagian B/Ilmu Pasti (jurusan IPA) di Surabaya. Ia kemudian menimba ilmu di Universitas Gadjah Mada (UGM). Yogyakarta. Ia mendapatkan tiga gelar sarjana muda dari tiga fakultas, masing-masing Hukum, Ekonomi, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol). Gelar sarjana penuh diraihnya dari jurusan Fisipol UGM tahun 1962. Gelar doktor Sosiologi diraihnya di almamaternya di UGM dengan disertasi berjudul: Migrasi Swakarsa Orang Madura di Kalimantan Barat. Hendro meniti karir sebagai dosen Fisipol Universitas Tanjugpura (Untan) Pontianak. Ia pernah menjadi dekan Fisipol Untan (1968-1971 dan 1975-1979). Kemudian menjadi Pembantu Rektor I (1991-1994). Jabatan Guru Besar Sosiologi disandangnya pada 1987 dengan pidato pengukuhan berjudul: Pembinaan Bangsa dan Karakter Bangsa Melalui Hubungan Antar Suku Bangsa.

Hasil penelitian Sudagung ini banyak dikutip oleh penulis atau peneliti yanga akan menulis tentang konflik etnik di Kalbar. Bahkan sudah menjadi semacam rujukan, sebab bisa dikatakan dia lah yang secara serius melakukan penelitian tersebut. Penelitian tak hanya dilakukan di Pontianak namun juga di seluruh kabupaten yang ada saat itu. Sudagung juga melakukan penelitian di Jawa Timur yaitu di Sampang dan Bangkalan Madura.

Studi yang dilakukan oleh Sudagung bertujuan untuk menemukan pola migrasi swakarsa orang Madura. Pola migrasi swakarsa yang dimaksud meliputi proses perpindahan mulai dari tempat asal hingga tujuan. Termasuk didalamnya alat angkut dan sarana saat itu, pembiayaan dan lain-lainnya. Selanjutnya cara-cara mereka memperoleh pekerjaan, status sosial ekonomi orang Madura yang bermigrasi dan apa yang menyebabkan migrasi tersebut.

Sudagung menulis, orang Madura sejak lama mempunyai kebiasaan bermigrasi melampaui wilayah etnisitasnya, baik secara perorangan maupun kelompok. Van Gennep memperkirakan migrasi itu telah berlangsung sejak abad ke-13. Namun pengetahuan mengenai penyebaran suku Madura masih sangat terbatas.

Di zaman pemerintahan Hindia Belanda, trasmigrasi terhadap orang Madura telah dilakukan empat kali. Saat itu transmigrasi disebut kolonialisasi dan orang Madura pertama kali dikirim ke Madurejo, Kalimantan Selatan. Pada tahun 1938 dilakukan dua kali kolonisasi, pertama sebanyak 100 keluarga dan kedua 200 keluarga. Tahun berikutnya kembali dikolonisasikan dua rombongan. Yang pertama berjumlah 194 keluarga, kedua 116 keluarga. □

Tuesday, July 31, 2007 |

7 komentar:

Anonymous said...

Saya kesulitan mencari karya ilmiah 8 orang profesor Untan yang sudah meninggal itu di internet. Padahal untuk dokumentasi di dunia maya dan perkembangan ilmu pengetahuan ini penting & harus dilakukan.

Rektor Untan saat ini, Dr Chairil Efendy MS harus sudah memikirkan. Agar karya para profesor atau peneliti di Untan (terutama yg almarhum) juga bisa diakses di internet.

Situs Untan mestinya juga terus diperkaya. Banyak data, gudang ilmu dan pinjam istilah Demanhuri, Direktur Lembaga Pengkajian Pers dan Studi Arus Informasi Regional (LPS-AIR) mesti menjadi gudang ilmu bagi peneliti di Borneo Barat.

Pahrian Siregar said...

bung akim,
maaf mungkin komentar saye salah dan kurang berkenan
saye kok ragu ye, para guru besar itu punye publikasi yang 'mantap'. mungkin tadak betebarnye publikasi mereka karena memang publikasi mereka ndak layak untuk di-cited.
kalo memang ade, kan jadinye cukup bagus juga kalo bise kite akses.
deman sekarang udah jadi wak dir ye.. selamat man.. bile awak demo agek?

salam,
percakburok.blogspot.com

stefanus akim, said...

bung pahrian yg baik,

terima kasih sudah berkunjung & membaca tulisan serta blog saya yg sederhana.

bisa saja karya para profesor itu minim sekali. namun setidaknya ada disertasi makalah ilmiah yg dibuat saat mengambil gelar s2 atau bahkan s3.

sebenarnya akan lebih baik jika mereka menulis buku sesuai dengan ilmu & bidangnya atau minimal menulis opini di surat kabar agar ilmu itu berguna bagi masyarakat banyak.

regars,
stefanus akim

Pahrian Siregar said...

bung akim yang baik,
aku teringat sebuah liputan d kompas beberapa tahun yang lalu, sebuah wawacara bung jannes uedes wawa (koresponden kompas di pontianak saat itu yang saat ini sudah menjadi wakil biro kompas di bandung) dengan pak leo sutrisno, yang kala itu menjabat wakil ketua lembaga penelitian di untan. menurut pak leo, ternyata dari sedemikian banyak dosen yang ada di untan, hanya kurang dari 10% yang bertindak profesional. maksudnya selain mengajar, juga aktif melakukan penelitian dan mempublikasikan pemikirannya. sayangnya, autocritic dari beliau itu ditanggapi negatif dari banyak pihak. sehingga, kalo tidak salah beliau sejak kejadian itu, beliau agak menjaga jarak, jika diwawancarai seputar untan. mungkin 'trauma'.
waktu masih bermukin di kalbar, kabar miring lain yang kerap kudengar banyak dosen yang melakukan 'recycle research' untuk diajukan untuk urusan kepangkatan (cum). tapi ini hanya kabar burung, mudah-mudahan salah dan saat ini tidak terjadi lagi.
tabik,
ian

D. Sudagung said...

Mungkin di Pontianak sendiri penjualan buku-buku hasil disertasi seperti itu memang jarang, namun semoga saja ada inisiatif dari pihak Untan atau pihak yang concern dengan masalah pengembangan pendidikan Kalbar bisa mencoba mengumpulkan lagi hasil karya guru-guru besar yang pernah ada di Untan sampai sekarang. Saran bang akim juga untuk menampilkan hasil karya mereka di internet juga bagus, jadi lebih mudah diakses oleh penstudi atau mahasiswa.

Sebagai informasi saja buat bang pahrain, buku "Mengurai Pertikaian Etnis:
Migrasi Swakarsa Etnis Madura Ke Kalimantan Barat" yang ditulis oleh alm. Hendro Suroyo Sudagung pernah menjadi best seller di Surabaya.

Yudha Bhaskara Sudagung said...

setuju dgn my bro > tyo d. sudagung

Yudha Bhaskara Sudagung said...

stuju dgn my bro > tyo d sudagung

Publikasi

Kategori

Powered By Blogger

Total Pageviews