Pantak Nek Intong, Quo Vadis Dayak?

Masyarakat Dayak tempo doeloe memiliki kebiasaan dan tradisi untuk mengenang tokoh yang sudah meninggal dengan membuat pantak. Pantak adalah sejenis patung kayu yang wajahnya mirip dengan wajah tokoh dimaksud.

Di Kecamatan Sungai Ambawang salah satu yang memiliki Pantak adalah Nek Intong yang lokasinya di ‘Bingkuakng’ yang masuk dalam wilayah Desa Durian-Duriatn. Berjarak sekitar setengah jam perjalanan dengan menggunakan motor air dari Ambawang Kuala.

Konon Nek Intong adalah seorang tokoh dukun yang sangat sakti, ia juga seorang pengalangok yang gagah berani. Pangalangok sebutan lain untuk panglima perang Dayak Kanayatn-Kendayan. Kala itu sepanjang sungai Ambawang masih banyak sekali buaya. Daun jatuh saja ditangkap, apalagi orang yang akan melintasi sungai itu. Hutannya masih rimbun dan dari seberang ke seberang masih nyambung. Binatang yang hidup di pohon seperti monyet, orang utan, tupai dan lainnya mudah saja pindah dari seberang ke seberang lainnya.

Dengan situasi seperti itulah ia menunjukkan kemampuan dan kesakiannya. Sehingga banyak yang bergantung dan mengharapkan kekuatannya.

Nek Intong juga berprofesi sebagai dukun Baliatn. Ia tak hanya mengobati manusia namun juga mengobati binatang yang hidup di sekitarnya. Suatu hari datang seekor burung Kulang Kulit yang sakit di pelataran rumah Nek Intong. Ia yang mengerti bahasa burukng menanyakan apa yang terjadi dan diinginkan oleh Kulang Kulit. ”Aku nian tek sakit. Dapat gek kao mantok aku, more aku,” kata Kulang Kulit yang artinya aku ini sakit. Dapat ndak kamu nolong saya, mengobati saja.

Ia yang menolong tanpa pamrih itulah akhirnya mengobati Kulang Kulit. Diambilnya babi di padulangan-kandang, ayam di kataraatn-kandang ayam, telur ayam, baras poe baras sunguh, pinang gamer timako rokok, dan paramu berobat lainnya. Termasuk darah asuk-anjing. Selesai baliatn, Kulang Kulit pun sembuh. Ia berjanji jika ada anak cucu keturunan Nek Intong yang diganggu maka sebut saja namanya. Di masyarakat Dayak, Kulang Kulit yang suaranya menggema pada malam hari semacam burung hantu yang menakutkan. Maka jika bersuara ada upaya yang dilakukan dengan nyampakng-ngingatkan bahwa manusia adalah keturunan Nek Intong.

”Ame kita’ ngaco kami. Kami nian panganak ucu Nek Intong,” itu kata ibuku jika ada suara Kulang Kulit. Artinya jangan kalian menganggu kami, sebab kami ini anak cucu Nek Intong.

Aku masih ingat saat tinggal di Nilas, sebuah kampung yang kini masuk di antara Parit Banjar dan Parit Baru, Desa Kubu Padi Kecamatan Kuala Mandor B. Jika ada suara burung itu sudah mulai riuh maka almarhum nenekku dan ibuku akan cepat-cepat nyampakng Kulang Kulit. Kampung yang dialiri Sungai Nilai yang tembus ke Desa Kopiang Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak itu memang terbilang sepi. Hanya ada tiga buah rumah yang jaraknya masing-masing sekitar 100 meter.

Di pantak biasanya orang membayar niat. Atok adalah salah seorang yang membayar niat. Bersama keluarga besarnya ia mengunjungi Pantak Nek Intong karena kelahiran anak pertamanya yang sehat sekitar tahun 1980, 3 tahun usia anak pertamanya. Anak pertamanya itu adalah aku yang kini menulis artikel Nek Intong, Quo Vadis Dayak?

Kembali ke Nek Intong, setelah ia meninggal anak cucunya membuatkan pantak untuknya. Untuk membuat itu bukan perkara mudah. Puluhan ekor babi, ayam, beras dan lain-lain disiapkan.

Kayu yang dipilih juga bukan sembarang kayu, namun kayu yang ’mau dan setuju’ untuk dijadikan pantak. Caranya dengan memotong sedikit kayu tersebut sambil berujar. ”Kami maok manjuat tak pantak Intong. Kita’ setuju gek ina’” artinya Kami akan membuat pantak untuk Intong, apakah setuju atau tidak.

Jika kayu setuju dan berjodoh maka ia akan mengeluarkan darah yang keluar dari bekas kulit tersebut. Jika tidak maka tidak akan keluar darah. Untuk mencari kayu seperti ini dibutuhkan waktu berhari-hari, masuk keluar hutan dengan rombongan yang tidak sedikit.

Saat merencanakan, memilih kayu, membuat, hingga selesai proses itu menggunakan upacara adat. Jika dilakuakn saat ini mungkin bisa membutuhkan dana ratusan juta rupiah.

Siapa saja yang bisa dibuatkan pantak? Kategorinya adalah pagalar, pangaya, pangalangok-orang bergelar, orang kaya dan panglima perang. Pagalar diantaranya timanggong, pasirah, pangaraga (anak raga), singa, dukun dan lain-lain. Mereka umunya pengurus adat yang tanpa cela.

Pangaya adalah orang kaya yang sejarah kehidupannya baik, bersih dan jujur tidak ada cela. Ia memperoleh kekayaan dengan cara yang beradat.

Sedangkan pangalangok adalah kelompok panglima perang, orang yang memiliki kesaktian yang tak dimiliki oleh sembarang orang. Punya kemampuan lebih dari orang lain.

Dari semua pantak, yang cukup terkenal dan dipercaya memiliki kekuatan gaib adalah pantak Mamo-pantak Nek Mamo. Ia terletak di salah satu desa di Banyuke yang aku tak tahu persis lokasinya. Pantak tersebut yang sudah ratusan tahun bertunas dan hidup. Jika kita datang di lokasi dan mengatakan ingin mendapatkan berkah, rezeki atau kesaktian jika beruntung maka salah satu bagian pantak hidup itu akan jatuh. Misalnya daunnya, ranting atau bahkan ada hewan yang menghantarkan. Misalnya tikus yang tiba-tiba keluar dari lobang dan membawa ranting yang membawanya dekat kita.

Ada juga patung masyarakat Dayak Kanayatn yang mirip dengan pantak. Namun ia dibuat bukan berdasarkan tokoh. Ia umumnya dikenal dengan Nek Ampagok.

Salah satu contoh Ampagok adalah yang terletak di Kuala Retok atau Ambawang Kuala serta Koala Ampaning.

Ampagok umumnya digunakan untuk meminta berkah selama proses tanam padi. Mulai dari ngawah-melihat lokasi, nyumbat lubakng tugal-setelah habis nugal, hingga bahanyi-panen yang diakhiri dengan makatn nasi baharu-makan nasi baru. Tempat ampago biasanya dikenal dengan Pantulak atau Paburungan.

Kini keberadaan situs masyarakat Dayak Kanayatn tersebut terancam oleh tangan-tangan jahil. Banyak pencuri yang mengicarnya sebab harganya cukup mahal dan mungkin saja ada sebuah proses ’penghilangan’ sistematis agar generasi muda sekarang tercerabut dari akar budayanya. Quo vadis Dayak?-mau kemana Dayak? Semua tergatung kepada generasi muda saat ini.

Pencurian dan pengerusakan Pantak dan Ampago di ’Sunge Ambawang’ sudah berlangsung sejak lama. Bahkan sejak tahun 1970-an. Misalnya saja di Koala Babatakng, sekarang Desa Kubu Padi Kecamatan Kuala Mandor B ada misionaris Kristen yang menggesek pantak. Ia mengatakan itu adalah berhala, orang Kristen dilarang menyembah berhala. Pantak yang digesek itu kemudian ditenggelamkan di Sungai Babatakng.

Tahun 1990-an misalnya Ahua seorang tokoh Dayak yang rumahnya berjarak sekitar 50 meter dari Ampago Kampokng Ampaning terpaksa harus menarik senapan lantak. Ia melihat ada segerombolan orang yang mencoba mencuri Ampago dengan menggunakan speed boat namun digagalkan oleh Ahua.

Kasus terbaru tahun 2005, puluhan pantak dan ampago berhasil diamankan oleh Polisi Kota Besar (Poltabes) Pontianak dan Polisi Sektor (Polsek) Pontianak Timur dari salah seorang kolektor di Pontianak Timur. Ternyata situs bersejarah tersebut berasal dari Kecamatan Manyuke-Banyuke. Andreas Lani, politisi Partai Golkar yang kini anggota DPRD Kalbar asal Kabupaten Landak memastikan bahwa barang langka tersebut berasal dari tempatnya. Apalagi ia membawa tokoh adat dan orang kampung untuk memastikannya.

Di Kampokng, Desa Kubu Padi persisnya di muara sungai kecil dulu tahun 1980-an aku masih sering melihat ada ampago di muara sungai tersebut. Kondisinya tak terawat dan berada di tengah hutan sagu. Kini tak tahu persis mungkin saja sudah dicuri juga.

Di Sungai Ambawang ada sebuah bentuk inkulturasi dan akulturasi antara kepercayaan masyarakat Dayak dan Cina. Misalnya di Ambawang Kuala yang persis di pertigaan sungai Landak-Sungai Ambawang Pekong (tempat ibadah Cina) dan Pantulak (tempat Ampago Dayak) dibuat satu rumah. Lokasinya hanya dibedakan oleh sekat atau kamar. Begitupun di Kuala Retok, Kuala Mandor B. Bahkan banyak orang Cina yang membantu membangun Pantak untuk orang Dayak.

Meskipun pantak, ampago dicuri namun kepercayaan dan spiritnya tak akan pernah hilang. Ada kepercayaan ’karamat man panunggu aik tanah’-yang menunggu air dan tanah atau roh sakti tak pernah akan pergi dari tempatnya. Ia akan mencari media lain dan kesaktiannya tak akan pernah ikut dengan tubuhnya-patung.□

Sunday, July 22, 2007 |

0 komentar:

Publikasi

Kategori

Powered By Blogger

Total Pageviews