Mengintip Batavia Tempo Doeloe di Museum Sejarah



Stefanus Akim

Untuk melihat bagaimana kehidupan sosial masyarakat Jakarta tempo doeloe ada baiknya jika mengunjungi museum. Ada enam buah museum yang berada dibawah pengawasan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta: Museum Monumen Nasional, Museum Nasional, Museum Sejarah Jakarta, Museum Wayang, Museum Seni Rupa Keramik dan Museum Juang.

Tempat-tempat ini menjadi saksi bisu Jakarta tempo doeloe. Bahkan dari zaman pra sejarah dan kerajaan-kerajaan tertua di Indonesia. Mulai dari kerajaan Tarumanegara di Bogor serta kerajaan Sunda-Padjajaran.

’Dipandu’ Dayu Pratiwi dari Pantau serta ditemani Rozanna Roni dari Utusan Sarawak aku berkesempatan mengunjungi museum-museum tersebut, kecuali Museum Nasional. Museum Sejarah sangat menarik. Sebab selain situs-situs dan alat yang digunakan zaman pra sejarah, artefak kerajaan-kerajaan tua di Indonesia, zaman Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur) atau VOC yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602, persenjataan, lemari dan meja raksasa peninggalan Belanda hingga miniatur angkotnya ’Si Doel Anak Betawi’. Di bagian bawah ada lima buah penjara bawah tanah untuk tempat mengurung para penjahat dan pemberontak menurut versi VOC.

Bangunan ini dulunya adalah Stadhuis atau Balai Kota Batavia. Batu pertama diletakkan oleh noni Belanda usia 8 tahun pada 25 Januari 1707. Ia memang bukan orang sembarangan, Petronella Wilhelmina van Hoorn, putri Gubernur Hindia Belanda saat itu, van Hoorn.

Jika ditilik, maka bangunan ini sudah berusia 3 abad. Meskipun demikian lantainya yang terbuat dari kayu ukuran lebar 40 sentimeter masih terlihat bersih dan kokoh. Tak ada tanda-tanda rayap yang memakannya. Begitupun dengan dinding beton yang menopangnya juga masih kokoh. Sangat berbeda dengan kebanyakan bangunan made in ’anak negeri’ saat ini. Sebulan saja habis dikerjakan sudah banyak yang retas-retas.

Museum sejarah Jakarta terletak di Kawasan Kota Tua Jakarta. Tepatnya di depan Taman Fatahillah Jakarta Kota. Untuk masuk disini kita dipungut bea Rp2.000 per orang. Kita bisa menikmati mebel antik dengan ukuran-ukuran besar yang dibuat abad 17-19. Uniknya mebel itu perpaduan gaya Eropa, Cina dan Indonesia sekaligus. Yang cukup populer adalah meriam si Jagur, dimana buntutnya berupa kepalan tangan dengan menjepit ibu jari diantara telunjuk dan jari tengah. Bangunan bertingkat dan memiliki ruang lebar ini diperkirakan seluas lebih dari 1.300 meter persegi. Konon, bangunan balaikota itu serupa dengan Istana Dam di Amsterdam, terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah tanah yang dipakai sebagai penjara.


Pemerintah Indonesia pada 30 Maret 1974, kemudian meresmikannya bangunan bergaya Barok Klasik aband ke-17 ini sebagai Museum Fatahillah.

Dilihat dari luar, bangunan ini menampakkan keangkuhannya. Gagah dan besar. Pintunya terbuat dari kayu jati dengan tinggi 3 meter dan tebal 10 sentimeter. Dicat merah, ia menjadi kokoh dan kuat. ”Ini tak tembus peluru,” komentar Nana.

Secara umum gedung ini terbagi tiga. Bagian dalam dan masuk dari depan terdapat berbagai koleksi pra sejarah, batu zaman neolitikum, peninggalan kerajaan Purnawarman, uang logam dan timbangan barang zaman portugis. Di bagian atas terdapat koleksi mebel-mebel tua. Ada lemari, cermin, lemari arsip, meja bahkan lukisan pengadilan Sulaiman atau Salomo.

Yang cukup membuat bulu kuduk merinding adalah bangunan penjara bawah tanah di bagian belakang gedung. Ada lima pintu dengan jeruji disana. Penjara tersebut berbentuk setengah lingkaran gelap dan pengap. Bahkan aroma kencing dan bau tubuh manusia yang tak mandi juga tercium. ”Bayangkan kalau dipenjara di sini. Ventilasinya hanya dari depan belum lagi kalau penghuninya banyak,” celoteh Dayu.

Membuat seram adalah bola-bola besi yang seukuran bola voli dan ada juga bagian yang kecil. Bola-bola yang tak kurang dari 100 kilogram tersebut dipinggirnya terdapat semacam cantolan-cantolan. Cantolan itu digunakan untuk mengaitkan rantai di kaki para tahanan Belanda. Jangankan diangkat, digeser saja bola besi itu tak bergeming. Siapa yang ditahan di ruang yang muat untuk 80 orang itu? Mereka adalah garong, perampok dan maling. Bahkan Gubernur Jenderal Belanda di Sri Langka, Petrus Vuyst sempat ditahan disitu karena ia gila.Lebih kejam lagi, tulis Tri Harijono di Harian Kompas terbitan 11 Juni 2001, tempat tersebut menjadi tempat tahanan 500 orang Cina. Mereka ditahan karena memberontak terhadap VOC pada tahun 1740. Setiap hari para tahanan yang kurus kering itu diberi makan bubur encer dan air tawar. Kemudian satu per satu dieksekusi dengan cara digantung di depan gedung. Sementara para pejabatnya menyaksikan dari balkon di lantai dua.

Museum Fatahillah hanyalah salah satu di antara makin langkanya bangunan tua dan bersejarah di ibu kota, yang menjadi saksi bisu masa lalu. Hanya saja jika kita ingin berkunjung mesti memperhatikan waktu. Museum ini dibuka setiap hari Selasa hingga Minggu, mulai pukul 09.00-15.00 wib. Sedangkan museum ini ditutup untuk umum setiap hari Senin dan hari besar.
Menurut literatur yang pernah aku baca, di sebelah timur pintu utama museum Fatahillah, terdapat sebuah kafe yang bernama Kafe Museum. Kafe ini merupakan sarana pelengkap dari Museum Fatahillah dengan memanfaatkan gedung tua yang berarsitektur kolonial, sehingga penataan interiornya pun disesuaikan yang dilengkapi dengan pernak-pernik yang mengingatkan kita pada masa kolonial.

Menarik dari kafe ini adalah daftar menu makanan yang bernuansa Betawi tempo doeloe yang dipengaruhi beberapa budaya, seperti Cina, Arab dan Belanda. Mulai dari portuguese steak, ong tjai ing, kwee tiaw, tuna sandwich "van zeulen", "east indies" chef's, soup "Ali Martak", sampai ikan bawal "si pitung" dan pisang goreng " Nyai Dasima" tersedia di kafe ini. Namun menurut informasi harganya sangat mahal. Jangan khawatir masih banyak jajanan yang dijajakan pedagang kaki lima yang harganya terjangkau.

Dipublikasikan Borneo Tribune, 2 Juli 2007

Sunday, July 1, 2007 |

3 komentar:

Anonymous said...

bukannya dilarang menaruh kaki diatas situs bersejarah?????

Anonymous said...

Terima kasih atas tulisan ini. Saya jadi terinspirasi untuk lebih rajin mengunjungi museum saat datang ke tanah air kelak :)

Anonymous said...

iya nih... ulasannya sih bagus.. tapi tindakannya musti dijaga ya mba..
ayo sama-sama mencintai dan menghargai benda bersejarah :D

Publikasi

Kategori

Powered By Blogger

Total Pageviews