Masa Depan Media Cetak di Narrative Reporting

Hari ini hampir tak ada warga yang mendapatkan breaking news dari suratkabar. Mereka mendapatkannya kebanyakan dari televisi, radio, SMS, telepon atau internet. Tantangan baru muncul: Bagaimana suratkabar bertahan bila mereka tak bisa lagi mengandalkan kebaruan? Tulis Andreas Harsono, ketua Yayasan Pantau, yang pernah belajar genre Narrative Reporting ini di Nieman Fellowship on Journalism di Universitas Harvard serta co-editor buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat.
Aku termasuk orang yang beruntung, sejak 18-29 Juni bersama 16 teman, dua diantaranya aktivis non government organization (NGO) dari Inggris dan Thailand serta sisanya wartawan baik dari Jakarta maupun dari luar mengikuti kursus narrative reporting atau di Indonesia populer dengan jurnalisme sastrawi. Meskipun namanya ada sastrawi, bukan berarti tulisan yang dihasilkan seperti 'nyiur melambai'. Kekuatan tulisan jenis ini pada detail, fakta sangat disucikan yang membedakan dari tulisan lain ia seperti film. Ada adegan, alur atau plot ada tokoh yang memiliki karakter.

Genre ini termasuk baru di Indonesia, yayasan Pantau yang diketua Andreas Harsono memperkenalkannya pertama kali di Indonesia tahun 2001. Termasuk membuat majalah Pantau yang juga menampilkan model tulisan jurnalisme sastrawi.

Genre yang muncul di Amerika ini pertama kali diperkenalkan oleh Tom Wolfe pada awal 1970an. "Wolfe mengenalkan sebuah genre baru: New Journalism. Ia mengawinkan disiplin keras dalam jurnalisme dengan daya pikat sastra. Ibarat novel tapi faktual. Genre ini mensyaratkan liputan dalam namun memikat. Wolfe bikin riset dengan materi-materi lama guna menawarkan jawaban ini," tulis Andreas dalam weblognya.

Ada dua tenaga pengajar kami, minggu pertama diampu oleh Janet Steele dari George Washington University. Ia menulis buku Wars Within. Janet masuk pada minggu pertama, 18-23 Juni, sisanya oleh Andreas Harsono.

Pola kursus yang diberikan oleh Pantau cukup unik. Hari pertama kami masuk kelas dan hari berikutnya 'kosong'. Kosong sebenarnya hanya istilah saja sebab kami dijejali dengan tugas baik membuat narasi maupun membaca buku, artikel, berita dan semacamnya.

Bermacam-macam buku dan bahan tulisan diberikan kepada kami selama dua minggu untuk dilahap. Diantaranya : "Kegusaran Tom Wolfe" oleh Septiawan Santana Kurnia; "The Girl of the Year" oleh Tom Wolfe; "Dua Jam Bersama Hasan Tiro" oleh Arif Zulkifli; "A Boy Who Was Like a Flower" oleh Anthony Shadid.

Kami juga diminta membaca "Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft" oleh Chik Rini; "In Cold Blood" karya Truman Capote dan kliping dari harian The New York Times pada 1959 "Wealthy Family, 3 of Family Slain." Selanjutnya "The Armies of the Night" karya Norman Mailer; "Tikungan Terakhir" (laporan kematian wartawan Rudi Singgih) oleh Agus Sopian; "It's an Honor" oleh Jimmy Breslin.

Literatur itu masih belum berakhir, sebab masih ada "The Elements of Journalism" karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel; "Media Bias in Covering the Tsunami in Aceh" karya Andreas Harsono. "The Ethnic Origins of Religious Conflict in North Maluku Province, 1999-2000" oleh Chris Wilson, "Indonesia's Unknown War and the Lineages of Violence in West Kalimantan" oleh Jamie S. Davidson dan Douglas Kammen, "Patterns of Collective Violence in Indonesia (1990-2003)" oleh Ashutosh Varhney, Rizal Panggabean, Mohammad Zulfan Tadjoeddin.

Ada juga karya narasi terbaik abad 20 versi Amerika: "Hiroshima" oleh John Hersey; Kemudian tentu saja "Menyusuri Jejak John 'Hiroshima' Hersey"oleh Bimo Nugroho.

"Orang-orang di Tiro" karya Linda Christanty; "Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan" karya Alfian Hamzah; "Republik Indonesia Kilometer Nol" karya Andreas Harsono; "Tujuh Kriteria Sumber Anonim" serta "Ten Tips for Better Interviews."

Janet masih menambah bahan bacaan kami "Violence Changer Fortunes of Storied Bagdad Street" karya Sudarman Raghavan; For New, Indonesian Fisherman are Forced to Abandon-Be Sea Official Must Move Quickly to Revive Industry" karya Advocates Say dan Ellen Nakashima dan "Soldiers Face Neglact Frustation at Army's Top Medical Facility" karya Dana Priest dan Anne Hill.

Model pelajaran di kelas diberikan dengan santai. Kami misalnya bisa sambil minum kopi atau air mineral sambil mendengarkan Janet atau Andreas memberikan bahan atau sesekali menyela. "Silahkan tak setuju dengan pendapat kami. Kalau ada keberatan, kritik atau masukan silahkan potong saja," kata Andreas saat pembukaan kelas.

Boleh dibilang yang ikut kali ini miniatur Indonesia-Andreas menyebutnya Indophit. Ada yang Flores, Batam, Jakarta, Jawa Timur bahkan dari luar negeri London dan Thailand serta media-media Jakarta baik cetak maupun TV. Suasana diskusi sangat akrab. Tak segan-segan diantara peserta memberikan tanggapan atau kritik kepada sesama peserta. Bahkan kepada pemateri, baik Andreas Harsono maupun Janet Stelle.

Selain belajar di kelas, kami juga diminta membaca dan mengerjakan tugas. Bahan bacaannya, alamak. Selain tebal-tebal juga ada yang bahasa Inggris. Kami adalah angkatan ke-12 peserta jurnalisme satrawi yang digelar yayasan Pantau.

Diantara peserta seperti yang ditulis Dayu Pratiwi adalah, Aditya Heru Wardhana, yang bekerja sebagai wartawan video di Trans TV. Ia juga aktif di Aliansi Jurnalis Independen cabang Jakarta. Kemudian ada Adriana Sri Adhiati, saat ini bekerja untuk Down to Earth sebagai researcher, campaigner and websiter co-administrator (part-time) di London. Peserta lainnya adalah Asep Mohammad BS yang sejak tahun 2000 bergabung dengan majalah Swa sebagai wartawan. Ia yang bulan lalu wawancara dengan sejumlah pengusaha Pontianak diantaranya Asia untuk masuk dalam profil di majalahnya.

Kemudian Edy Purnomo, wartawan cukup senior alumnus sastra Universitas Indonesia tahun 1991 pernah bekerja di harian Bisnis Indonesia, harian Indonesia Shangbao dan kini di Investor Daily.

Dari Sinar Harapan ada Emmy Kuswandari, bergabung di harian sore Sinar Harapan sejak 2001. dari Surabaya ada Endah Imawati, bekerja di media sejak tahun 1994 di tabloid anak-anak Hoplaa. Baru tahun 2000 menulis untuk harian Surya Surabaya (masih dalam satu grup).

Sementara dari ujung timur ada Frans Obon, sejak 1994 bekerja di mingguan Dian. Bergabung dengan harian Flores Pos sejak didirikan tahun 1999 oleh Yayasan Dian dan menjabat sebagai Manajer Liputan sampai 2003. Sekarang Pak Frans, teman-teman menyebutnya menjabat sebagai Manajer Produksi (Pracetak) yang juga mengajar di Universitas Flores di Ende.

Teman sekampung Frans Obon adalah Frans S. Imung yang berkarir di Jakarta. Ia kini editor di majalah Investor. Hillarius U Gani, dari Media Indonesia.

Lisa Suroso, adalah wartawan cum aktivis kemanusiaan. Ia bekerja sebagai redaktur majalah Suara Baru dan pengurus pusat Perhimpunan Indonesia Tionghoa bagian humas dan banyak terlibat dalam kegiatan sosial organisasinya dalam bencana alam di Aceh dan Flores.

Dari negeri jiran ada Rozzana Ahmad Rony, dia bekerja sebagai wartawan di Utusan Sarawak, sebelumnya tahun 2003-2006 bergabung di Sarawak Tribune. Ia juga anggota Kuching Journalists Association dan anggota Sarawak Women for Women Society.

Said Abdullah Dahlawi, dari Batam. Kini i awartawan di harian Sijori Mandiri. Kemudian ada Sunaryo Adhiatmoko, mulai menulis sejak di bangku SMA, belajar jurnalistik di Institut Ilmu Sosial Politik IISIP Jakarta. Ia aktif menulis untuk Lembar Ziswaf di Republika yang terbit setiap Jumat selain sebagai Public Relations Manajer Dompet Dhuafa Republika.

Dua nama terakhir adalah Yayan Ahdiat, yang kini redaktur pelaksana View Magazine. Dan, Yuyun Wahyuningrum, mahasiswa penerima beasiswa di Universitas Mahidol, Thailand mengambil jurusan Human Rights and Social Development.

Orang Pantau jelas tak diragukan memberikan pelayanan dan bantuan kepada kami. Misalnya mereka mengantar jika ingin berkunjung ke suatu tempat atau kesulitan melakukan tugas. Kesempatan ini jelas saja kami pergunakan sebaik mungkin, apalagi dari daerah dan ingin tahu banyak Jakarta. Aku dan Rozzana serta Frans Obon dan Endah Imawati kemudian melihat-lihat museum Fatahillah (museum Sejarah, museum Wayang dan museum Kesenian dan Keramik, museum Textil). Tentu saja didampingi Dayu yang hapal Jakarta. Jika tidak maka dipastikan kami akan nyasar. Kami juga menyempatkan diri mengunjungi Monumen Nasional, Taman Mini Indonesia Indah dan Ancol. Bahasa kadang menjadi persoalan, namun karena tekatnya mau belajar maka semua bisa diatasi.

"Maaf setelah dua jam bahasa Indonesia saya sudah habis. Jadi saya harus bahasa Inggris," kata Janet sambil mengangkat kedua tangannya saat di kelas dan teman-teman peserta kursus pun langsung cekikan.

"Saya kira bahase English, ternyata bahasa Indonesia. Dibilang ngerti ya ngerti, dibilang tak ngerti ya tak ngerti. Sebab saya harus terjemahkan bahasa Indonesia ke bahasa Inggris kemudian ke Melayu," kata Nana kepada teman-teman saat kami perpisahan di samping kolam renang apartemen Andreas Harsono.

Bahan-bahan bacaan juga sudah disiapkan di kamar kost masing-masing, untuk yang di Jakarta bahkan diantar di alamat masing-masing. Model pelayanan seperti ini aku pikir harus ditiru oleh tempat kini aku bekerja, Harian Borneo Tribune. *

Dipublikasikan Borneo Tribune, 28 Juni 2007

Sunday, July 1, 2007 |

0 komentar:

Publikasi

Kategori

Powered By Blogger

Total Pageviews