Kisah Perempuan Berani yang Menyerang Tradisi Barbar

Judul Buku : In The Name of HONOR (A True Story):
Atas Nama Kehormatan
Pengarang: : Mukhtar Mai
Editor : Aisyah (edisi terjemahan bahasa Indonesia)
Penerjemah : M. Lukman Sadikin
Penerbit : Pustaka Alvabet, Jakarta, 204 halaman, 12,5 x 20 cm
Cetakan pertama : Maret 2007
Peresensi : Stefanus Akim

Buku ini merupakan sebuah kisah nyata dari seorang perempuan janda berusia 35 tahun. Dia tinggal di perkampungan kecil, Meerwala, selatan Punjab, Pakistan. Dia adalah salah satu dari 100 tokoh paling berpengaruh versi majalah Time tahun 2006.

Mukhtar Mai seorang yang buta aksara, namun berkat bantuan Marie-Therese Cuny, dari Prancis yang tertarik nasib tragisnya kisahnya berhasil ditulis dan dibukukan. Teks asli buku ini berbahasa Prancis; Deshonoree.

Perjuangan Mukthar Mai mendapat pujian dari sejumlah kalangan, salah satunya Nicholas Kristoff, dari The New York Times. ”Mukthar Mai adalah seorang pahlawan. Dia telah mengalami pemerkosaan dan kebrutalan pengadilan. Atas kejadian itu dia meyakinkan kita kan pentingnya pendidikan-dan harapan”.

Saat kejadian itu, ia adalah seorang perempuan miskin Pakistan berusia 32 tahun. Pada 22 Juni 2002, Muktar Mai dijatuhi hukuman oleh Dewan Adat di desanya dengan cara diperkosa. Dia dipegangi oleh empat orang laki-laki, ditelanjangi dan kemudian diperkosa beramai-ramai. Lalu, ia diperintahkan untuk berjalan pulang dalam kondisi setengah telanjang di hadapan 300-an penduduk desa. Dengan cara dipertontonkan dan dipermalukan di depan umum, Mai harus melakukan itu demi ’membayar’ suatu tindak kejahatan yang tanpa bukti, yang dituduhkan kepada adik laki-lakinya.

Adik laki-laki Mai, Abdul Syukur (12 tahun), dituduh memiliki affair dengan seorang gadis dari kasta yang lebih tinggi. Dewan adat akhirnya menjatuhkan hukuman kepada Muktamar Mai dengan cara diperkosa. Menjelang menit-menit pelaksanaan hukumannya, Mukatamr Mai meminta belas kasihan, memohon agar adiknya dibebankan dan membaca Al-Quran-satu-satunya bacaan yang dihafalnya.


Ia berasal dari kasta rendah Gujar dan harus berhadapan dengan klan lokal yang sangat berpengaruh dan agresif. Mereka adalah para petani dari kasta Mastroi yang kuat. ”Atas nama keluargaku aku harus memohon pengampunan dari mereka,” kata Muktar Mai yang ditulis dalam bentuk aku.

Meskipun ia seorang yang buta huruf, namun ia adalah seorang yang pemberani. Ia bahkan menjadi perempuan pertama di negaranya yang berhasil merebut kembali kehormatannya dengan cara menyerang balik tradisi barbar yang hampir saja membinasakannya.

Dalam buku ini, Mukhtar Mai dengan runut bercerita soal kejadian yang menimpanya. Sementara Marie-Therese Cuny dengan sabar mendengarkan dan mencatat apa yang diceritakan oleh Mukhtar Mai, ia dibantu pula oleh Naseem Akhtar, sepupu Mukhtar Mai sendiri. Ia tak menyangka kata-katanya telah dibukukan dan mengantarkan dirinya untuk bertemu dengan Menteri Luar Negeri Prancis pada Januari 2006. Dia berkesempatan berbicara mengenai hak-hak perempuan di sebuah tempat yang didedikasikan untuk perjuangan hak-hak asasi seluruh umat manusia: Place des Droits de l’Homme, Prancis.

Selain perjuangan seorang perempuan yang gagah berani untuk menyerang tradisi barbar dari buku ini dapat pula dilihat sistem hukum yang lemah dan mudah dibeli. Di kantor polisi misalnya, ia, diminta membuat cap jempol blangko kosong oleh seorang pemeriksa yang juga ’kaki tangan’ klas Mastroi dengan alasan demi kebaikan sendiri. Blangko itu ternyata berisi pernyataan yang menyebutkan jika ia tidak diperkosa dan hanya mengarang cerita. Untungnya saat sudah disidangkan di pengadilan ada seorang hakim yang masih memiliki hati nurani. Hakim itu bahkan meminta akar Mukhtar Mai untuk tegar dan menceritakan semuanya tanpa takut. ”Cerita yang kau ceritakan kepadaku berbeda dengan yang kau ceritakan kepadaku,” ujar hakim kepada Mukhtar Mai

Secara umum buku ini cukup menarik dan isinya bisa memompa semangat kaum tertindas untuk melakukan perlawanan. Hanya saja kadang-kadang kalimatnya sulit dipahami. Mungkin karena buku ini dibuat berdasarkan penuturan Mukhtar Mai, bukan hasil tulisan langsung. □

*Dipublikasikan Borneo Tribune 15 Juli 2007

Tuesday, July 17, 2007 |

1 komentar:

Anonymous said...

Everything about horse betting

Several states have enacted legislation allowing slot machines and other forms of gaming on-track. Tracks such as Mountaineer have used this additional source of revenue to improve their facilities, increase their purses and upgrade their overall level of racing. This legislation has also made it attractive for casino owners, such as Harrah's, to purchase and operate horse racing venues as a part of their business strategy.
[url=http://www.pulsebet.com]horce racing bet[/url]
There are however many controversies surrounding the horse industry. During races, some jockeys use a crop to hit the horse in the rump to direct their effort and possibly run faster. Based on the most detailed statistical study of whipping ever carried out, it is actually counterproductive and slows the horse down causing them to become distracted and dangerously go off course.


Perhaps the most important factor is the distance of these races, the Derby is a mile and a quarter (10 furlongs), the Preakness, a mile and three sixteenths (9.5 furlongs) and the Belmont at a mile and a half (12 furlongs) is the longest of the three. The horses that survive their attempt at the Triple Crown will seldom, if ever, compete at these distances again. And yes, survival is a consideration. Many Triple Crown hopefuls are never able to compete again after the Belmont, even potential superstars such as Smarty Jones in 2004.

[url=http://www.pulsebet.com]horse racing strategy[/url]
As the field takes shape for the 131st running of the Preakness Stakes this Saturday, the question on everyone's minds is do we finally have a horse that can win the Triple Crown?

Publikasi

Kategori

Powered By Blogger

Total Pageviews