Jakarta-Pontianak, Nasi Melda dan Kemponan

Dua minggu di Jakarta ikut Pelatihan Kursus Jurnalisme Sastrawi angkatan ke-12 membuat lidahku rindu juga dengan masakan Pontianak. Sejak pesawat landing dari bandara Soekarno-Hatta, pukul 18.05 sudah terbayang sejumlah masakan khas ‘kota hantu’.

Melintas satu persatu seperti adengan film. Nasi Melda di Jalan Tanjungpura, nasi goreng Fatimah, nasi goreng Iin, nasi Akwang, nasi Cap Cai, daging merah, kwee cap, mie tiaw Jalan Penjara. Jreng...mampir juga ikan pedas, sotong pangkong, mak Etek dan lain-lain.

”Wah ini bisa kemponan,” pikirku dalam hati dan menjilat telapak tanganku.

Di Pontianak ada tradisi kemponan (Melayu)-sumpanan Dayak Kanayatn. Artinya jika kita ditawari makan oleh orang lain, maka pamali jika ditolak. Jika tak makan maka cukup jamah saja, ambil sedikit masukkan dalam mulut atau minimal oleskan di leher. Jika lupa, jilat telapak tangan.

Kalau melanggar pamali tersebut, resikonya besar. Yang bersangkutan akan mendapat bala’ atau musibah. Bisa kecelakaan atau jika kerja yang menggunakan senjata tajam bisa terluka. Gawat to, apalagi jika menggunakan pesawat. Bisa dibayangkan jatuh dalam ketinggian sekian ribu kaki maka hancurlah raga berkeping-keping.

Soal kemponan aku pernah mengalaminya atau mungkin hanya kebetulan. Saat masih menjadi Kepala Biro Harian Equator di Mempawah, aku menawari Erik, teman yang biasa main di biro minum jus.

”Ndak pak Akim, saye udah. Masih kenyang,” tolaknya.

Tak lama kami memacu sepeda motor mau ke Sungai Pinyuh untuk liputan santai. Tiba-tiba di depan kantor Bupati, des...tahu-tahu kami sudah terjungkal dan terseret tak kurang 3 meter dan ditahan trotoar. Kami ditabrak ibu-ibu yang buru-buru mau nonton pertandingan futsal. ”Tadi saye memang tak cempalet. Mungkin kemponen,” kata Erik meringis.

Ah...aku membuang perasaan itu jauh-jauh. Yang aku pikirkan hanya makanan-makanan itu. Tiba sekitar pukul 19.20 aku segera cari taxi. Tawar-menawar sebentar dan sepakat Rp 50 ribu sampai rumah dengan dua penumpang satu arah. Sementara teman seperjalananku, Rozanna-Nana dari Utusan Serawak naik taxi bersama Arsiyadi Alexander. Sebab mereka mesti cari hotel dan sebagainya.

Karena kecapekan, tiba di rumah langsung tidur. Terjaga sekitar pukul 10 lewat. Itupun setelah ada orang gedor-gedor pintu depan. Setelah dibuka ternyata Otoh, adikku dari kampung yang hantarkan sepeda motor ke rumah.

Saat terbangun, tayangan-tayangan kuliner itu kembali muncul. ”Wah ini tak bisa dibiarkan. Lagi pula perut memang sudah keroncongan,”.

Cuci muka sebentar, beres-beres sedikit. Aku memacu sepeda motorku. Pilihan beragam dan semuanya enak dan gurih. Namun akhirnya di tengah perjalanan aku arahkan ke Jalan Tanjungpura di rumah makan Melda. Temanku, Nana, akan tertawa jika disebut rumah makan. Sebab di Malaysia tak lazim. Lazimnya restoran.

Lima menit, sepotong ayam goreng berikut nasi hangat, telor asin beres. Peluh keluar saking nikmat dan pedasnya cabe. Ayam goreng Melda memang khas. Ia digoreng garing dan kering. Sementara kuahnya, mak nyus...

Ah...tenang sudah. Aku pikir baik juga kalau pengalaman ini ditulis dalam weblog. Beberapa orang yang kukenal juga ternyata mengalami hal yang sama soal makanan. Misalnya Bang Andreas Harsono. Ia bercerita saat study di Nieman Fellowship on Journalism di Universitas Harvard ia merindukan es campur.

Sapariah Harsono-Mbak Arie, istrinya juga ternyata pernah mengalami hal yang sama. Ia merindukan bakwan Sungai Jawi. Weleh...weleh.

”Aduh kalau ke Pontianak sore bisa makan nasi goreng Siti Fatimah, kemudian malamnya makan nasi Melda,” kata Mbak Arie saat aku dan Nana ngobrol tentang Pontianak di apartemennya di lantai 18. ”Kalau lempok durian di kita lebih asli tak dicampur tepung ya Kim,” kata dia makin jadi dan matanya menerawang.

”Kata mas Andreas Pontianak itu kota makanan ya bang Akim. Banyak makanan disana. Kapan-kapan mau dech disana,”kata Dayu suatu waktu.

Ya...Pontianak memang kota makanan.

Malam ini pun, pukul 02.10 mulai melintas lagi jenis-jenis makanan itu. Kini yang lewat pengkang di Peniti, saos kepiting Peniti dan Batu Ampar, mie goreng Singkawang, kelapa bakar, saos dan goreng udang Jembatan Kuning Mempawah, sop tulang sapi depan keraton Amantubillah. Dan sebagainya....makin parah ini. *

Sunday, July 1, 2007 |

2 komentar:

AMBS said...

Boz, saya tahu salah satu tempat makan enak di Pontianak (tapi saya lupa nama tempatnya). Saya tahu karena diajak makan ke situ oleh Pak Asia. Wuih, masakan seafood-nya mantab, bro! Nanti, jika suatu waktu saya ke Pontianak lagi, saya pasti akan mencari tempat itu lagi.

Sebenarnya, beberapa waktu lalu, saya sempat diundang oleh mas Kurnia, anak buah pak Asia yang pegang gas elpiji. Saya diundang waktu peresmian gas elpiji tersebut oleh gubernur Kalbar (kalo tidak salah). Sayangnya, saya tidak bisa memenuhi undangan tersebut.

Salam buat semuanya...

stefanus akim, said...

Mas Asep trims komentarnya. Tempat yg mas maksudkan kemungkinan Restoran Seafood Pondok Kakap. Untuk sampai di lokasi bisa dari Kampus STAIN Syarif Abdurahman, bisa juga dari Jalan Gajahmada.

Oh ia soal peresmian elpiji tersebut memang dilakukan Gubernur Kalbar Usman Ja'far dan Bupati Kab. Pontianak Agus Salim. Cukup banyak yang hadir termasuk dari Jakarta.

OK, mungkin itu dulu. Kalau di Pontinak boleh kontak-kontak.

Salam juga buat teman-teman di Jakarta...

Regards,
Akim

Publikasi

Kategori

Powered By Blogger

Total Pageviews