Stop Ekspansi Sawit di Kalbar

Tanah dan hutan adalah kedaulatan masyarakat adat. Jika keduanya sudah ‘terjual’, maka bencana akan datang. Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nasional (BPH AMAN Kalbar), Sujarni Alloy, meminta dengan tegas agar pemerintah menghentikan ekspansi sawit.

“Upaya itu dapat dilakukan dengan berbagai cara. Diantaranya: Hentikan pemberian izin baru diatas tanah dan Hutan yang sudah dikelola Rakyat, menghormati dan melindungi serta menghargai hak ulayat/adat, Stop Izin Konversi Hutan,” kata Surjani.

Selain itu tegakkan hukum secara adil dan menghargai hukum internasional dan HAM serta menjungjung dan mematuhi prinsip persetujuan bebas tanpa paksaan atau free prior and informed concent.

Kalbar Selama ini masyarakat dininabobokan oleh orang-orang tak bertanggungjawab yang menginginkan ekspansi besar-besaran. Misalnya saja disebutkan jika sawit masuk masyarakat adat sejahtera, jika sawit masuk masyarakat adat punya lahan produktif, jika sawit masuk masyarakat adat bisa santai dan jalan dibangun.

Namun fakta di lapangan berbanding terbalik. Misalnya saja kondisi hutan semakin rusak, kesejahteraan masyarakat bahkan menurun, terjadi peningkatan kerawanan keamanan, maraknya pencurian sumberdaya hutan dan penyelundupan dan perambahan terhadap batas negara. “Kondisi hutan di Kalimantan semakin rusak dan kesejahteraan masyarakat hanya impian,” kata Surjani.

Dampak lain yang ditimbulkan Banjir menjadi agenda rutin, kearifan lokal terancam punah, air bersih tercemar, karet loal terancam, species ikan berkurang, tembawang dihancurkan dan masyarakat diintimidasi.

Kedaulatan masyarakat adat tidak diakui. Misalnya terjadi perampasan tanah masyarakat adat dan dapat dilihat dari Kasus Nyayat, Adeng (Jangkang), masyarakat Manis-Mata, Semunying Jaya. Bahkan Pelanggaran HAM dengan menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan konflik juga terjadi.

Ada point penting rekomendasi Bappedalda Kalbar yang isinya antara lain kegiatan eksploitasi SDA yang tujuan awalnya untuk menyejahterakan masyarakat, pada kenyataannya tidak menerapkan asas kelestarian dan manajemen yang ramah lingkungan, sehingga bukannya menyejahterakan malah menimbulkan bencana yang sangat merugikan kehidupan masyarakat, terutama masyarakat sekitar hutan.

Pertumbuhan ekonomi yang masih terus berlangsung telah melampaui daya dukung bumi yang menyediakan sumber daya alam sebagai bahan bakunya sehingga keberadaannya semakin menipis. Bahkan pembangunan yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi berdampak negatif bagi kehidupan manusia juga lingkungan dan menipisnya persediaan sumber daya alam.

“Konversi hutan tropis di Kalimantan Barat telah menjurus kepada berkurangnya keanekaragaman hayati, pelepasan karbon ke atmosfir, kebakaran hutan, dan menurunnya fungsi DAS. Idealnya, pengelolaan sumberdaya alam ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan atau kemampuan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan. Pembangunan lingkungan hidup masih bersifat sektoral dan belum memiliki perspektif jangka panjang. Kekayaan alam terus dibabat dan dikeruk tanpa terkendali, baik legal maupun ilegal, aktivitasnya terus berlangsung tanpa ada kontrol yang baik dari pemerintah,” kata dia.

Ia melihat kebijakan dan sistem kelembagaan yang ada sebagian besar berdasarkan pada dikotomi antara penggunaan lahan untuk hutan versus pertanian sehingga dapat mengarah kepada konflik yang semestinya tidak perlu terjadi.

Dampak negatif sawit cukup besar: kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global, dan asapnya mengganggu kesehatan masyarakat serta mengganggu transportasi baik darat, sungai, danau, laut, dan udara.

Lemahnya penegakan hukum di bidang lingkungan dan keterlibatan aparat pemerintah dalam berbagai kasus pengelolaan Sumber daya alam (SDA) dan lingkungan semakin memperparah kondisi lingkungan di Kalimantan Barat.

Sumber kegagalan kehutanan di Indonesia antara lain adalah sentralisasi dan sektoralisasi. Secara operasional pemerintah dan sektor swasta kurang memperhatikan pengelolaan hutan secara holistik dalam satu ikatan ekosistem dimana Kawasan hutan negara cenderung dikelola berdasarkan statusnya bukan berdasarkan fungsinya.

Banyak konsep pengelolaan SDA yang berasaskan kelestarian ditawarkan oleh para ahli yang kompeten tinggal bagaimana pemerintah sebagai aparatur negara mau untuk merobah kesalahan kebudayaan pemerintah yang bercirikan top-bottom menjadi bottom-top dalam pembuatan dan pelaksanaan suatu kebijakan pengelolaan SDA dan Lingkungan Hidup.

Untuk itu, AMAN Kalbar minta agar pemerintah mengakui Keberadaan Masyarakat Adat dengan cara mendukung hasil Resolusi Kongres AMAN III yang isinya mendesak sidang umum PBB untuk segera merealisasikan pengesahan Deklarasi tentang Masyarakat Adat paling lambat tahun 2007. Mendesak Pemerintah Indonesia agar ikut menandatangani Deklarasi Sidang Umum PBB tentang masyarakat adat dan pemerintah menghentikan segala bentuk pertambangan emas yang merusak lingkungan.

AMAN Kalbar juga mendesak pemerintah daerah untuk mengakui hukum adat dan pemerintah untuk mencabut semua ijin HPHH yang akan dan sedang beroperasi. Pemerintah untuk mencabut dan meninjau ulang semua ijin-ijin pertambangan; batu bara, uranium, batu glena, dan pertambangan emas.

Surjani menegaskan, pemerintah harus meninjau ulang semua kebijakan tentang perkebunan kelapa sawit dan mencabut HGU perusahaan-perusahaan sawit yang akan beroperasi, mempercepat pembangunan desa-desa tertinggal dan daerah perbatasan tanpa persyaratan kepada masyarakat.

AMAN Kalbar juga mendesak pemerintah agar meningkatkan perekonomian masyarakat adat, mendesak pemerintah untuk pemerataan pembangunan infrastruktur dan mendesak instansi militer agar membatalkan rencana latihan militer di kawasan perbatasan dan tidak terlibat dalam kegiatan ekonomi dalam bentuk apapun di kawasan tersebut.

Mereka juga menolak program transmigrasi di wilayah masyarakat adat tanpa melalui konsultasi dan persetujuan dari masyarakat adat di wilayah tersebut.

“Kami mendesak pemerintah Kabupaten Ketapang untuk mencabut Perda No. 15/2006 tentang Rencana Tata Ruang Kabupaten Ketapang, meminta pemerintah untuk meninjau ulang semua kebijakan yang berkaitan dengan taman nasional yang berada di wilayah masyarakat adat serta mendesak pemerintah untuk menghentikan praktik illegal logging berskala besar,” kata dia.

Selanjutnya pemerintah harus mempertegas dan memperjelas tapal batas antar negara dan antar kabupaten di Kalimantan Barat, mengembalikan sistim pemerintahan dari pemerintahan desa ke pemerintahan kampung, merealisasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dan mendesak pihak kepolisian untuk menertibkan segala bentuk perjudian, minuman keras, dan prostitusi.

“Kami mendesak pemerintah untuk melakukan perubahan-perubahan mendasar dari kebijakan-kebijakan yang tidak menghormati hak-hak masyarakat adat dan menimbulkan banyak konflik, seperti HPHH, Taman Nasional,” tegas dia.

“Kita seringkali mendengar kolonialisme telah mati. Jangan sampai kita terpengaruh atau terperangah oleh pernyataan itu. Saya tegaskan kepada anda semua, kolonialisme belumlah mati. Dan, saya meminta kepada Anda jangan pernah berpikir bahwa kolonialisme hanya seperti bentuk dan caranya yang lama, cara yang kita semua dari Indonesia dan dari kawasan-kawasan lain di Asia dan Afrika telah mengenalinya. Kolonialisme juga telah berganti baju dengan cara yang lebih modern, dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual, dan kontrol langsung secara fisik melalui segelintir elemen kecil namun terasing dari dalam suatu negeri. Elemen itu jauh lebih licin namun bisa mengubah dirinya ke dalam berbagai bentuk, ” Surjani menyitir pidato Soekarno dalam Kolonialisme belum mati saat Pembukaan Konferensi Asia Afrika (KAA) Bandung, 18 April 1955.*

*Borneo Tribune 8 Juni 2007

Saturday, June 9, 2007 |

0 komentar:

Kategori

Powered By Blogger

Total Pageviews