Misa di Gereja ‘Delon’ Salvator

Di sela-sela Kursus Jurnalisme Sastrawi ke-12 di Yayasan Pantau, aku menyempatkan diri misa di gereja paroki Salvator, Petamburan, Minggu (24/7). Bersama mbak Endah Imawati, dari harian Surya Surabaya kami menggunakan angkot dari Jl Kebayoran Lama tempat kami kost selama ini.

Tak disangka ternyata umat dan muda mudi Katolik di gereja tersebut cukup aktif dan tertib. Bayanganku, jika di gereja di Jakarta maka suasananya akan jauh dengan di Pontianak. Misalnya dering hand phone yang bersahut-sahutan atau suara lainnya. Ternyata kondisi itu jauh berbeda seperti yang aku bayangkan. Umat dengan khusus berdoa, aku melihat miniatur Indonesia di gereja tersebut. Sebab bermacam warna kulit, potongan rambut dan cara berpakaian ada disana. Namun umunya berpakaian sopan.

Saat berangkat ke gereja, Rozana teman wartawan dari Serawak juga ikut. Namun ia hanya menunggu kami di luar gereja. Berkali-kali diajak ia menolak dengan alasan akan menyita perhatian. Sebab selain bahasanya yang lain juga menggunakan kerudung. “Sudah kalau tak mau masuk kamu tunggu saja di luar tapi ingat lho jangan kemana-mana,” pesan mbak Endah.

Sebelumnya kami juga janjian dengan Frans Obon, teman pelatihan dari Flores Post. Namun ternyata ia ada acara di Cibubur sehingga urung misa sama-sama.

Koor di gereja ini cukup bagus. Terlihat dari lagu-lagu yang dinyayikan, kualitas pemain orgen, soluis mapun dirigen. Bahkan menurut mbak Endah, Delon juga hadir pada misa kali ini dan menjadi salah seorang anggota koor. “Suaranya mendominasi. Bagus, sih sebelum tanda berhenti dilakukan dirigen ia juga belum berhenti. Namun kasihan anggota koor yang lainnya tak mampu ikuti vokalnya,” kata wartawan senior yang adiknya dosen di Politeknik Negeri Pontianak dan Politeknik Tonggak Equator.

“Aduh kenapa mbak tak beritahu dari awal. Kalau ndak kan aku bisa wawancana,” aku protes.

“Ia nya sudah ndak ada. Tapi hebat juga lho sudah terkenal masih mau jadi anggota koor. Jarang lho yang mau seperti itu,” kata mbak Endah lagi.

Gereja Salvator sendiri tidak terlalu besar. Jika dibandingkan hampir sama seperti gereja Maria Ratu Pencinta Damai, Pontianak. Pengaturan bangkunya juga nyaris sama, diatur berjejer panjang dan membentuk sudut. Bangunan paroki ini terbagi dua, bagian depan menjadi kantor paroki sedangkan bagian belakang sebagai gereja. Halaman yang cukup luas memudahkan berbagai kendaraan parkir. Meskipun demikian aku lihat masih kalah banyak jika dibandingkan motor atau mobil yang parkir di katedral Pontianak. Umat lebih memilih jalan kaki atau menggunakan kendaraan umum.

Minggu lalu yang memimpin misa adalah Pastor Kayetanus CICM atau Kongregasi Hati Maria Tak Bernoda. Pastor Kayetanus cukup bisa menarik perhatian umat, dengan intonasi suara, mimik wajah serta bahasa tubuh ia menjadi imam yang menarik saat memimpin misa. Mantan misionaris pernah berkarya di Afrika ini juga memiliki pengetahuan cukup luas tentang kekinian dan pengetahuan kitab suci. 20 menit ia memberikan kotbah tak terasa dan membuat aku kerasan. Padahal terus terang aku paling tak suka kotbah, apalagi jika pastornya bertele-tele, pengetahuannya rendah dan ngorol-ngidul tak tentu arah.

Kongregasi CICM di Jakarta ada di beberapa tempat. Diantaranya di Ciledug Jl. Barata Raya 32, Komplek BARATA, Ciledug, Tangerang, di Jl. Danau Buyan F1 No. 25A, Pejompongan, Jakarta. Kemudian ada juga di Jl. KS. Tubun 128, Slipi Jakarta dan rumah pastor CICM Jl. KS. Tubun II/12, Jakarta, mereka juga dapat ditemui di Skolastikat CICM : Wisma "Sang Tunas" Jl. Gotong Royong No. 71, RT 003/02, Pondok Bambu Jakarta. Sementara Provinsialat CICM di Jl. Sudirman 48, Ujung Pandang.

Satu pelajaran yang kudapat dari gereja ini, meskipun di tengah kota namun suasanya sungguh tertib dan khidmat. Bahkan jauh dari yang kubayangkan.

Usai misa kami melanjutkan perjalanan ke taman mini Indonesia indah. Kali ini kami didampingi Dayu Pratiwi dari Pantau. Semula tak ada rencana namun karena seharian tak akan ada kegiatan akhirnya kami mengunjungi taman mini. Cukup penat juga mengelilingi ‘miniatur Indonesia’ yang memuat 27 provinsi sebelum pemekaran itu. Kami berjalan kaki dan menempuh perjalanan sekitar 3 kilo meter dari pertama start.*

Wednesday, June 27, 2007 |

0 komentar:

Kategori

Powered By Blogger

Total Pageviews