Mimpi yang Harus Direalisasikan

Banyak rencana yang dilontarkan Walikota Buchary A Rahman terkait pembangunan Kota Pontianak. Diantaranya cukup besar dan membutuhkan dana yang tidak sedikit, misalnya saja penataan Kapuas Besar, Balai Kota dan Water Front City, Sundial dan Observatorium Khatulistiwa di Batulayang. Semua itu seolah hanya mimpi, namun mimpi yang harus diwujudkan. Tokh presiden pertama republik ini, Ir Soekarno pernah berujar, “Gantungkan cita-citamu setinggi langit”.

Banyak kalangan menilai rencana tersebut mengada-ada, namun banyak pula yang mendukung. Apalagi Pontianak memang butuh perubahan yang cukup mendasar. Meskipun demikian konsep yang dilakukan untuk perubahan tentu saja jangan sampai merusak dan mengubah yang sudah menjadi ciri khas kota ini.

Ketua Komisi D DPRD Kota Pontianak, Mongonsidi misalnya mengacungkan jempol untuk konsep pembangunan kota yang dilakukan Walikota Pontianak. Konsep tersebut diantaranya, penataan kawasan Kapuas Besar yang bakal dijadikan semacam pusat perdagangan, balai kota, water front city dan konsep lainnya.

“Siapa yang tidak tahu dengan konsep Pak Wali,” kata Mongonsidi, anggota DPRD Kota Pontianak, dari Partai Amanat Nasional pada wawancara dengan Tribune, pekan lalu.
Meskipun hal itu masih semacam mimpi, namun banyak hal yang harus dilakukan untuk mewujudkan mimpi tersebut. Seiring bertambahnya waktu, Kota Pontianak terus melangkah menuju kemajuan.

Ia melihat banyak indikator untuk melihat kemajuan, Diantaranya menjamurnya bangunan gedung bertingkat dengan arsitek maju. Pembangunan aluan-alun kapuas sebagai tempat bertamasya juga bentuk kemajuan kota. Di alun-alun tersebut sangat mudah menyaksikan hilir-mudiknya kendaraan air, baik kapal bandung, perahu sampan atau kendaraan air lainnya. Alun-alun itu akan lebih indah apabila konsep water front city wali kota dapat diwujudkan.

Politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) ini sangat mengimpikan jika Pontianak menjadi kota air seperti negara Belanda. Apabila pusat kota terletak di tepi sungai, maka keindahannya akan sangat terasa. Bukan tak mungkin akan banyak wisatawan yang akan berkunjung ke Pontianak.

Ia juga menyoroti pendidikan, sejak dipimpin Buchary, angka buta aksara terus mengalami pengurangan. Data di Dinas Pendidikan Kota Pontianak, tahun 2006 jumlah buta aksara mencapai 5.000 orang, namun tahun 2007 turun sekitar 2.000 orang dan menjadi sekitar 3.000 orang.

Sejumlah lembaga pendidikan berkualitas juga bermunculan di Kota Pontianak, mulai dari sekolah-sekolah negeri unggulan, sekolah swasta hingga sekolah bertaraf internasioal seperti Tunas Bangsa. Mulai tumbuhnya pendidikan berkualitas tersebut menjadi salah satu indikator bahwa Kota Pontianak terus menuju kearah yang lebih maju. Program regrouping atau penggabungan sekolah baik manajemen maupun bangunan juga menjadi salah satu indikator kemajuan kota Pontianak di segi dunia pendidikan.

“Ada segi positifnya regrouping, ini merupakan upaya efesiensi bangunan, tenaga serta biaya. Namun jangan sampai ada upaya lain dibalik regrouping, misalnya mau tukar guling atau semacamnya,” kata dia.

Selain kemajuan-kemajuan yang sudah dicapai Kota Pontianak, ada beberapa hal yang masih stagnan. Seperti penataan pedagang kaki lima (PKL) serta pengemis jalanan. Penertiban PKL masih perlu dioptimalkan oleh pemerintah kota.

Misalnya saja di Pontianak Utara, pasarnya masih terlihat kumuh dan tidak tertata dengan rapi. Sementara pedagang yang di pasar Dahlia, Sungai Jawi. Sekarang PKL itu sangat teratur dan sangat jauh berbeda dua atau tiga tahun sebelumnya.

Selain PKL, bangunan-bangunan sarang burung walet di tengah kota juga mengganggu pemandangan kota. Akibat walet tersebut, beberapa bangunan di tengah kota berbentuk “roket”. Agar tidak merusak pemandangan kota, sebaiknya bangunan walet itu disamarkan

Pendapat berbeda dikatakan Arif Joni Prasetyo. Ia mengaku justru kesemsem dengan kondisi Pontianak tahun 1980-an. Kehidupan Pontianak tempoe doeloe begitu religius dan aman. Pontianak yang masih mengandalkan kendaraan air. Kerinduan suasana indah itu, membuat ia bersemangat berbuat baik untuk kota Pontianak

Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahterah (F. PKS), mengatakan, siapapun yang dipercaya menjadi pemimpin di Pontianak entah legislatif ataupun eksekutif berbuat banyak lah untuk kepentingan umat. Hl ini merupakan tujuan dan sebagai amal yang bernilai ibadah.

Ia mengaku akan berupaya mendorong agar Pemerintah Kota Pontianak mampu mewujudkan kota yang sesuai dengan visi-misinya dan mencari jalan keluar atau solusi terkait dengan berbagai masalah perkotaan. Terkait anggaran untuk pembangunan, Arif menilai itu bisa disepakati, asalkan peraturan daerah atau produk hukum yang mendukung terwujudnya visi Kota juga telah disepakati.

“Saya sangat menyukai kondisi Pontianak tempoe doeloe, sebelum tahun 1980-an. Waktu itu kehidupan masyarakat lekat dengan agama. Terbukti dengan ketaatan dalam menjalankan ibadah yang diperintahkan Tuhan Pencipta Alam Semesta. Banyaknya rumah-rumah ibadah di Kota Pontianak, qari’ dan qari’ah terkenal baik dalam kancah nasional maupun internasional, hingga kota Pontianak sangat diperhitungkan,” kenangnya.

Ia melihat Pontianak tempoe duloe juga terbilang aman. Kendaraan motor yang diletakkan di depan rumah nggak ada yang usil atau mengambil. Bedanya dengan sekarang, motor yang diparkir di depan rumah harus dikunci ganda.

Ia banyak berharap agar sejumlah persolan bisa diselesaikan oleh pemrintah daerah. Misalnya saja prostitusi, judi dan minuman keras. Terkait dengan permasalahan agama dan kebudayaan. Masyarakatnya dikenal sebagai masyarakat yang taat beragama. Pemkot dapat membuat berbagai macam program syi’ar agama. Ciri khas sebagai kota religius dikembalikan, salah satu caranya dengan menggali kembali dengan proyek Armel (tulisan Arab melayu), menjadi tulisan resmi pada nama jalan, papan nama kantor dan fasilitas-fasilitas umum lainnya.

Tahun 2008 sebagai tahun terakhir pengabdian Walikota, Buchary A Rahman dan wakilnya. Sebaiknya pasangan ini membuat gebrakan dan program yang monumental, yang bisa dikenang anak cucu. Misalnya waterway.

Saat ini memang sudah ada sejumlah bangunan yang dibangun saat pemerintahan Walikota Pontianak. Diantaranya Pontianak Convention Centre (PCC) yang sering sekali menjadi tempat kegiatan masyarakat, Water Front City (WFC), sekolah-sekolah, Pasar Dahlia, dan lainnya.

Untuk membangun Kota Pontianak tak hanya dari segi infrastruktur semata, namun segi rohani juga mesti diperhatikan. Sebab perlu keseimbangan antara yang fisik dengan yang rohani atau mental.


“Yang paling berperan dalam perjalanan hidup saya, adalah Allah SWT,” kata anggota Komisi A DPRD Kota Pontianak, Andri Zulfikar. Ia anggota DPRD Kota Pontianak dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) saat ditanya tentang dirinya.

Selain Sang Pencipta, Zulfikar menilai, teman seperjuangannya di PKS, yang jadi pendorongnya. Kenapa ia bergabung di sana, karena PKS merupakan partai yang selalu gigih menjalankan syariat Islam. Ini juga partai yang menjadikan Alquran sebagai panutan dan dasar pergerakan.

Ia menganggap, menjadi anggota DPRD amanat dari rakyat. Semua keluhan rakyat yang sampai padanya harus disampaikan. Baginya suka tidak suka, profesi itu harus tetap dijalankan. “Hal tersulit di kota ini, saat pemimpinnya sibuk dengan urusan pribadi,” kata Zulfikar.

Ia menilai, sekarang ini, pemimpin lebih banyak mengurus kepentingan pribadi. Selaku pengemban amanah, pemimpin seharusnya lebih mengorbankan waktu untuk rakyatnya.
Ia berpendapat, sebaiknya pemimpin punya banyak waktu tersedia. Apalagi, untuk kota berpenduduk sekitar 600 ribu orang, seperti Kota Pontianak. Pemimpin harus menyediakan waktu sepenuhnya, bagi warga yang dipimpin.

Pemimpin harus mengabdi kepada masyarakat selama 18 jam. Empat jam untuk istirahat, dan dua jam keluarga. Zulfikar mencontohkan mantan presiden Habibie. Menurut Zulfikar, waktu istirahat Habibie hanya dua jam. Agar waktu efektif ia menyarankan, kegiatan dilakukan terarah. Ia punya resep, sebagai seorang pemimpin, harus berpikir keras, mengerjakan apa yang diamanahkan dan mengerjakan sesuatu yang bermanfaat.

“Pemimpin di Pontianak kurang berkorban dengan waktu, tidak tegas menegakkan aturan, dan terlalu bertoleransi dengan pelanggar hukum. Sebagai pemimpin yang memegang amanah, sebaiknya penerapan hukum tidak pandang bulu. Siapapun dia, baik pejabat atau anggota dewan, apabila terbukti bersalah, harus ditindak tegas,” tegasnya.
Ia memandang, kota ini akan banyak perubahan, jika pemimpin punya ketegasan terhadap pelanggar hukum. Jika tidak memiliki ketegasan dan enggan menerima saran, sebaiknya berhenti saja.

Ketegasan pemimpin sangat berdampak dengan ketenangan suasana kota. Seingat Zulfikar, pada 1980-an, merupakan kenangan tidak terlupakan. Pada zaman itu, segala bentuk kriminalitas, hampir tidak ada. Zaman itu, masyarakat hidup dengan tenteram. Ia mencontohkan, sepeda yang ditinggal di pinggiran jalan, tidak bakal hilang. “Suasana seperti itu, seharusnya dikembalikan,” kata Zulfikar.

Ia berpendapat, meningkatnya angka kriminalitas, juga diakibatkan peningkatan jumlah penduduk. Selain karena bertambahnya angka kelahiran tiap tahunnya, kepadatan penduduk dikarenakan warga pendatang.

Cara mengatasi pertambahan penduduk pendatang, ia mengusulkan, pemerintah harus menyediakan kartu identitas sementara. Kartu itu berisi batas waktu bagi warga pendatang pencari kerja. Batas waktu ditetapkan selama tiga bulan. Bila di atas tiga bulan, pekerjaan tidak didapatkan, warga pendatang tersebut harus pulang.

Bentuk lain ketidaktegasan pemerintah adalah kumuhnya Pasar Sudirman. Padahal, pada era 80-an, pasar tradisional itu bersih dan rapi. Tak ditemukan pedagang kaki lima berjualan di trotoar. Sekarang ini, pedagang kaki lima menjamur. Tumpah ruah memenuhi jalan dan trotoar. Anehnya, mereka berdagang di depan toko orang lain. Menurut Zulfikar, berdagang seperti ini, sama juga menzalimi orang lain.

Agar tidak semerawut, pemerintah membuat perencanaan terpadu. Misalnya, jarak antara pedagang satu dengan pedagang lainnya, harus diatur. Perencanaan ini dapat dilakukan, bila pemerintah duduk satu meja dengan para ahli. Seperti, pakar lingkungan, tata kota, pedagang, masyarakat dan semua elemen berkompeten.

Meskipun demikian, ia berharap kedepannya, sungai Kapuas diatur seperti pinggiran Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Di sana, terdapat water front city. Warga bisa memanfaatkan kota untuk tamasya.

Pontianak sebenarnya ada lokasi serupa. Namanya Alun Sungai Kapuas. Namun, lokasi ini, kurang bisa dimanfaatkan untuk bersantai. Banyak ruko kecil dan pedagang di sana. Menurutnya, pelabuhan Senghie, juga tempat enak untuk bersantai. “Namun sayang, potensi itu belum terkelola dengan maksimal. Pemimpin harus bisa berfikir maju, dan selalu menciptakan inovasi atau temuan baru,” kata Zulfikar. *

*Stefanus Akim & Mujidi *Foto: Lukas B Wijanarko/Borneo Tribune
*Diterbitkan Edisi Khusus Borneo Tribune, 10 Juni 2007

Sunday, June 10, 2007 |

0 komentar:

Kategori

Powered By Blogger

Total Pageviews