Mencetak Rupiah dari Kilatan Blitz


“Foto mas, 15 rebu. Kelihatan Monas (monumen nasional),” seorang laki-laki tua, menawarkan jasa pemotretan kepadaku saat keluar dari Monas.

Laki-laki berkulit coklat kehitam-hitaman itu berusia sekitar 40 tahunan. Ia memakai kemeja abu-abu lusuh, celana panjang drill hitam serta sandal karet. Terlihat guratan di dahinya. Sehari-hari ia menghabiskan waktunya di monumen nasional. Pekerjaannya menjadi juru foto ‘bayaran’ kepada para tamu yang berkunjung.

“Kalau hari libur mah bisa 30 kali jepret. Tapi kalau hari biasa dapat 10 kali juga sudah untung,” kata laki-laki yang mengaku sebagai Pak Amat, saat kutanya berapa banyak ia dapat memfoto dalam satu hari kerja.

Sekali jepret dan selesai dicetak dalam tempo 2 menit ia menawarkan jasa Rp15 ribu dengan ukuran 6R atau setara dengan 15,2 x 20,3 cm. Untuk mendukung aktivitasnya pak Amat menggunakan kamera digital pocket 4 mega piksel. Ia juga membawa printer Kodak Easy Share dengan tenaga batre yang disimpan di sebuah kursi tak jauh dari tempat ia beroperasi.

Untuk menyakinkan calon pelanggan, dicantolkannya tas kecil berikut beberapa lembar hasil jepretan ‘terbaiknya’. “Satu, dua, tiga. Klik,”. Sebelum diprint, hasilnya ditunjukkan dulu dengan calon pelanggan. Jika oke langsung diprint, jika kurang puas boleh ulang sekali lagi.

Pak Amat beroperasi di bagian luar Monas. Tepatnya ditangga masuk lorong bawah tanah sebelum tempat penjualan karcis masuk. Selain dirinya ada beberapa juru foto bayaran yang juga menekuni pekerjaan yang sama. Untuk bersaing dengan teman se-profesinya ia harus pintar-pintar meyakinkan pelanggan. Baik dengan tutur kata yang ramah dan sopan serta gaya yang menyakinkan.

“Tak boleh terlalu murah dari yang lain. Sudah ada semacam kesepakatan, tak apa-pa sih hanya tak enak saja,” katanya saat kutanya mengapa tak jual dengan harga dibawah standar.

Amat telah 30 tahun menekuni pekerjaan itu. Awalnya ia menggunakan kamera pocket konvensional dengan film. Kemudian menggunakan kamera poltrait. Poltrait jauh lebih mudah dari kamera konvensional, sebab setelah jepret dikibaskan beberapa menit bisa langsung jadi. Hanya saja kedua kemera ini membutuhkan modal cukup besar setiap harinya.

“Kalau digital harga kamera dan alat cetaknya yang mahal. Seterusnya modalnya sedikit dan praktis,” kata dia membandingkan.

Meskipun demikian, ia mengaku pengguna jasa dengan kamera poltrait dan konvensional lebih banyak dari pada sekarang. Sebab saat itu masih sedikit yang bawa kamera. Beda dengan saat ini, banyak yang membawa kamera digital termasuk HP yang ada fasilitas kameranya.

Aku mengikuti dan melihat proses Amat mencetak foto. Kebetulan temanku Frans Obon mengajak serta kami berempat, Rozana Ahmad Rony, Endah Imawati, Dayu Pratiwi dan aku untuk difotokan oleh pak Amat.

Kamera disambungkan dengan kabel USB ke printer. Tinggal tekan tombol ‘oke’ dua menit seperti yang dijanjikan, selesai. 15 lembar uang seribuan berpindah tangan dari dompet Frans Obon kepada pak Amat.

Selain pak Amat, di halaman Monas juga banyak yang menawarkan jasa untuk pemotretan. “Kalau di dalam kakinya tak kelihatan. Kalau di sini bisa seluruh tubuh,” kata salah seorang dari mereka menghampiriku dan menyodorkan harga Rp20 ribu.

“Oh ia ya,” kataku sambil mengeluarkan kamera sambil membidik monas.

“Sini saya fotokan. Stel (atur) saja dan saya tinggal jepret,” kata dia.

Kuserahkan kamera. Satu, dua, tiga. Klik...jadi. “Terima kasih pak. Maaf tak menggunakan punya bapak, sebab memory card saya masih banyak,” godaku.


“Tak apa-apa,” katanya sambil berlalu.
Mengisi hari-hari 'kosong', kami gunakan untuk mengunjungi beberapa tempat di Jakarta. Kosong sebenarnya hanya istilah saja. Sebab meskipun tak kuliah di kelas, kami oleh instruktur yang kebetulan minggu pertama masih Jannet ditugaskan untuk membuat tulisan, membaca buku dan artikel.

Artikelnya tak hanya bahasa Indonesia ada juga yang berbahas Inggris. Diantaranya ada “Kegusaran Tom Wolfe” oleh Septiawan Santana Kurnia; “The Girl of the Year” oleh Tom Wolfe; “Dua Jam Bersama Hasan Tiro“ oleh Arif Zulkifli; “A Boy Who Was Like a Flower” oleh Anthony Shadid.

Ada juga “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” oleh Chik Rini; “In Cold Blood” karya Truman Capote dan kliping dari harian The New York Times pada 1959 “Wealthy Family, 3 of Family Slain; “The Armies of the Night” karya Norman Mailer dimana Mailer.

Kemudian ada juga “Tikungan Terakhir” (laporan kematian wartawan Rudi Singgih) oleh Agus Sopian; “It’s an Honor” oleh Jimmy Breslin.

Sementara untuk mata kuliah Andreas Harsono pada minggu kedua ada The Elements of Journalism karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. “Media Bias in Covering the Tsunami in Aceh” karya Andreas Harsono.

“The Ethnic Origins of Religious Conflict in North Maluku Province, 1999-2000” oleh Chris Wilson, “Indonesia’s Unknown War and the Lineages of Violence in West Kalimantan” oleh Jamie S. Davidson dan Douglas Kammen; “Patterns of Collective Violence in Indonesia (1990-2003)” oleh Ashutosh Varhney, Rizal Panggabean, Mohammad Zulfan Tadjoeddin.

“Hiroshima” karya John Hersey. “Menyusuri Jejak John ‘Hiroshima’ Hersey”oleh Bimo Nugroho; “Orang-orang di Tiro” karya Linda Christanty; “Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan” karya Alfian Hamzah; “Republik Indonesia Kilometer Nol” karya Andreas Harsono; “Tujuh Kriteria Sumber Anonim” serta “Ten Tips for Better Interviews. Jadi kesempatan tersebut selain untuk lihat-lihat juga sekalian meliput.

Puas keliling di Monas, kami kemudian masuk di dalam. Naik lip hingga di puncak monas. Naik gampang, sedikit yang antri tapi giliran turun alamak, ngantri dan lama lagi. Tiba di atas foto-foto dulu, lihat kiri-kanan. Giliran yang turun lama sekali, berjejal dan berhimpit-himpitan. Di tengah situasi seperti itu ada pula muda-mudi yang coba berciuman. "Sabar sedikit bah, di rumah kek atau tempat sepi," gerutuku.

Saat kami berkunjung di Monas ada pula rombongan bule yang ikut melihat. Tampaknya seperti pegawai kedutaan besar, sebab membawa pengawal orang Indonesia dari PDL. Puas lihat-lihat ia diberi kesempatan duluan untuk turun. "Maaf ya kami duluan, terima kasih," kata seorang guidenya beramah-tamah. Mereka yang ngantri hanya bisa menggerutu dalam hati.

"Jangan lama-lama di sini. Kalau gempa bahaya, saya tak bisa bayangkan," kata Frans Obon, mengajak kami turun. Belakangan aku tahu ia memiliki pengalaman sendiri saat terjadi gempa di Flores tahun 1993. Cukup banyak juga yang meninggal, saat kejadian ia masih tidur siang di Seminari Tinggi Ledalero, Flores. Untung cepat melompat hingga selamat. Asramanya saja rata dengan tanah. Satu temannya bahkan meninggal dunia ditimpa balok kayu di kepala bagian belakang.

Kami kemudian turun di lantai dua, di sebuah tempat yang dikenal dengan cawan Monas. Usai melihat-lihat Jakarta dari Monas, kami mengunjungi musium di lantai dasar Monas. Cukup banyak pengunjung dan diaromanya juga asik. Ada beberapa pengunjung baik dari Indonesia bahkan dari luar yang datang. "Aku pikir bahasa Inggris, rupanya bahasa Jepang," kata Dayu yang coba mengikuti rombongan pengunjung yang dipandu seorang guide.

Usai berkeliling kami Monas kami siap-siap pulang. Perut sudah keroncongan dan perlu diisi. Sebelumnya Dayu dan Nana Solat dulu di Mushola yang masih di lingkungan Monas. Kesempatan ini kami bertiga gunakan untuk meluruskan kaki. Uh enak sekali. Apalagi aliran minuman isotonik membahasi tenggorokan yang kering.*


Saturday, June 23, 2007 |

0 komentar:

Kategori

Powered By Blogger

Total Pageviews