Lestarikan Budaya Lewat Pameran Batik

Selama seminggu, 28 Juni-5 Juli Wastraprema, Lembaga Pencinta Kain Adati Indonesia menggelar pameran batik dan wayang di Museum Textil, Jakarta. Puluhan lembar kain batik maupun wayang ditampilkan dalam pameran tersebut. Para ibu-ibu pencinta batik turut menampilkan batik yang dibuat tahun 1928.

Nian Djoemena, pemerhati batik mengatakan, pameran batik bermotif wayang ini cukup unik karena batik bermotif wayang memang tidak biasa. Sebagian besar batik yang dipamerkan memang didesain untuk koleksi dan pajangan. Ada beberapa berupa kain panjang. Batik pun tak harus berwarna kusam karena di pesisir muncul warna cerah dan pilihan motif beragam. “Di kawasan ini batik dipengaruhi Hindu Jawa tetapi tidak mendalam,” kata Nian Djoemena, penulis buku Kaligrafi on Batik yang akan mengadakan seminar batik di Jepang.

Menurut Nian, batik yang pertama ada di Sumatera adalah di Jambi, bukan Bengkulu seperti sangka banyak orang. Dari keluarga bangsawan di Jambi-lah batik muncul dalam bentuk kaligrafi halus. “Lebih halus daripada kaligrafi Jogjakarta.”

Batik Jambi yang memakai kaligrafi ini sempat tidak muncul karena Belanda memukul mundur bangsawan Jambi yang menguasai proses pembatikan. Sejak itu batik kaligrafi Jambi tak lagi banyak ditemui. Tetapi masih ada keluarga bangsawan yang mempertahankan. Inilah yang diangkat Nian Djoemena dalam bukunya.

Pada pameran batik tersebut puluhan batik dan wayang ditampilkan dan dipajang. Para pecinta batik betah berlama-lama untuk melihat tekstur, gambar maupun warna batik.
Diantaranya ditampilkan juga batik ukuran 9 x 2 meter yang memperoleh penghargaan Museum Rekor Indonesia sebagai batik terpanjang di dunia. Angka 9 diartikan sebagai sembilan wali sedangkan angka 2 diartikan sebagai dua kalimat syahadat.

Batuk yang terbuat dari katun ini bermotif cerita wayang alas amer. Cerita ini diambil dari wayang Babat Alas Wanamarta, dimana dicritakan tentang pendirian negara amerta mulai dari penebangan hutan Amer. Untuk membuatnya dibutuhkan waktu enam bulan oleh 17 orang pembatik Trusmi Cirebon. Saat ini batik ini menjadi koleksi Bapak Kastura, seniman asli Trusmi Cirebon yang teah banyak menciptakan dan mengkreasikan motif Cirebon.

Jika ditilik, kata batik berasal dari bahasa Jawa "amba" yang berarti menulis dan "titik". Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan "malam" (wax) yang diaplikasikan ke atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna (dye), atau dalam Bahasa Inggrisnya "wax-resist dyeing".

Situs Wikipedia Indonesia menyebutkan, batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya batik cap yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini.
Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak mega mendung, dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki.

Ragam corak dan warna Batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing. Awalnya, batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan juga pada akhirnya, para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh orang Cina, yang juga mempopulerkan corak phoenix. Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik, dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru. Batik tradisonal tetap mempertahankan coraknya, dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan masing-masing.□

*Diterbitkan Borneo Tribune, 5 Juli 2007

Saturday, April 7, 2007 |

0 komentar: