Tundang, Seni Pantun dan Gendang

Pemilihan presiden tak lama lagi
Tanggal dua calon kita pileh
Dua pasang calon unggulan pemimpin negeri
Pilihlah dengan hati nurani


Sebait puisi itu dilantunkan Eddy Ibrahim, seorang seniman Tundang (Pantun dan Gendang), mengawali pertemuannya dengan saya belum lama ini.

Darah seni sudah mengalir pada diri Eddy Tundang panggilan akrabnya sejak kecil. Kala itu tangannya yang mungil dengan mahir menari-nari di atas kanvas, tak disangka saat dewasa meskipun masih menggeluti seni, laki-laki bertubuh subur ini berpindah ke Seni Tundang.

“Kalau orang tua saya bukan seniman bahkan beliau mubalig, mungkin turunan dari paman-paman saya,” aku Eddy yang juga pernah berguru menabuh drum pada Lamiri, ayah dari Hendry Lamiri biolis grup Arwana.
Ia juga sempat menekuni seni menabuh drum dan bergabung dengan beberapa band lokal sebelum akhirnya menggeluti Tundang. Dari seni Tundang yang digelutinya telah membawa Edy dan Sanggar Pusaka yang dikelolanya menjelajahi beberapa festival maupun duta Kalbar. Salah satunya adalah mengikuti Extravagansa di Jakarta tahun lalu.

Seni Tundang, meskipun sangat dekat dengan Budaya Melayu, namun menurut Eddy tak dibatasi etnis dan agama atau budaya tertentu. Ia mengalir begitu saja kepada siapa saja yang mau mempelajari dan menekuninya.

Seni Tundang sendiri katanya merupakan sarana kritik sosial, untuk mengeluarkan unek-unek sehingga diharapkan ada kritik sosial. Seseorang yang berbuat keliru menurutnya kadang tak merasa keliru meskipun ia telah diberitahu, namun saat disindir dengan pantun (Edy lebih suka menyebutnya syair karena tak ada sampiran) orang itu baru merasa.

“Bahkan saat kita manggung di salah satu tempat yang tak perlu saya sebutkan ban mobil pinjaman untuk mengangkut teman-teman digemboskan, ya mau apa lagi,” katanya terkekeh sambil mengatakan pantunnya lebih tepat dikatakan syair karena semua isi dan tak ada sampiran.

Laki-laki ramah yang tinggal di Sungai Burung Kabupaten Pontianak ini juga mengungkapkan Tundang secara tak sengaja digagasnya pada tahun 1992. Saat itu sedang ada MTQ di Kabupaten Sanggau, Edi yang bergabung dengan salah satu sanggar turut mengisi beberapa acara.

Saat itu sedang jeda waktu karena juri mempersiapkan untuk mengumumkan pemenang. Saat itulah salah seorang pejabat di Sanggau menanyakan kepadanya bagaimana kalau dibuat suatu acara.
Kemudian dalam waktu yang singkat itu ia membuat beberapa pantun dan diselingi dengan gendang. Ternyata apa yang digagas tersebut mendapatkan tanggapan serius dari penonton saat itu. Hinggalah seni ini berkembang dan hidup hingga sekarang ini.

Kini Sanggar Pusaka, yang merupakan kepanjangan dari Pusat Usaha Seni Amanah dan Karya yang dipimpinnya menekuni Seni Tundang ini. Selain itu juga menekui seni lain, baik tari, tarik suara, hingga bela diri.

Sejumlah pemuda-pemudi bergabung dan menangani sanggar ini. Mereka terdiri dari anak sekolah dan ada juga yang putus sekolah. Meskipun menggeluti bidang seni, para pekerja seni ini juga kadang-kadang dibekali dengan keagamaan. Tak jarang Eddy mengundang guru agama untuk memberikan pencerahan kepada para teman-temannya.

Soal fungsi gendang, pada zaman dahulu menurut dia hal ini adalah alat komunikasi seperti gong, kentongan dan lainnya. Namun kini alat-alat ini mulai ditinggalkan seiring dengan kemajuan teknologi informasi. Sehingga dengan Tundang diharapkan dapat mengingatkan kembali masyarakat Kalbar akan fungsi alat ini.
Kini sejak 12 tahun lalu Tundang digagas sudah banyak kelompok yang juga membuat atau ada kemiripan dengan seni ini.

“Saya berencana mendaftarkan Tundang pada Hak Kekayaan Intelektual, karena saya merasa yang pertama kali menggagas seni model ini. Kalau seni pantun itu ada dalam khasanah budaya, begitupun dengan gendang, namun kalau pantun dan gendang saya kira baru ini,” kata laki-laki yang saat ini juga sedang mempersiapkan 12 lagu khas Melayu untuk dibuat dalam VCD.

Sejumlah festival dan pagelaran pernah diikutinya baik di Kalbar maupun tingkat nasional. Dalam waktu dekat ini juga akan mengadakan pagelaran di Sei Ambawang dalam rangka pilpres tahap dua.
“Kami mengucapkan terima kasih banyak kepada Kepala Desa yang menjadi pembina kami, kepada Kadis Kebudayaan dan Pariwisata Pontianak bapak Drs Imansyah serta Kadis di Pemprov Kalbar serta bupati dan yang tak bisa disebutkan satu-persatu, karena dengan bantuan merekalah maka kami bisa eksis hingga sekarang ini,” katanya merendah.

Setiap kali akan pementasan ia selalu melakukan study untuk mengetahui latar belakang kegiatan dan apa yang diinginkan oleh penyelenggara. Semua isu baik di daerah maupun nasional selalu diikuti oleh seniman yang tak lupa melakukan kaderisasi ini, termasuklah tahun ajaran baru seperti yang dibuatkannya pantun seperti berikut ini.


Tahun ajaran baru sudah kita masuki
Para calon murid berbondong daftarkan diri
Tetapi aneh dan sangat ironi
Mau sekolah biaya sangat tinggi


Kami kasihan kepada kaum tani
Ingin menyekolahkan anak terpaksa tak jadi
Biaya besar kemanakah harus cari
Haruskan jual kebun atau jual padi



NB: Tulisan ini pernah dimuat di Harian Equator Pontianak, 25 Juli 2004

[ read the rest of this entry » ]

Monday, July 26, 2004 |